Sabtu, 24 Oktober 2009

Hombo Batu Tradisi Nias Tanoniha


Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam . Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja.
Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dsb. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi ! 2 meter.
Dahulu, melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: Masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh.
Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya.
Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Itu juga makanya, para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Di satu sisi, mereka meminta dan bahkan ada yang setengah memaksa wisatawan untuk menyaksikan atraksi ini, namun di sisi lain mereka tidak mau melompat tanpa dibayar. Bahkan ada juga yang meminta sampai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 sekali melompat, tergantung bargaining. Para pelompat telah mempunyai kelompok dan jaringan supaya tidak menjual murah.
Sekarang ini harganya berkisar Rp 50.000 sekali melompat. Namun kalau wisatawan tidak menunjukkan minat dan menolaknya, para pelompat pun akhirnya dapat menerima harga yang lebih murah. Dari pada tidak dapat uang, lebih bagus melompat saja.
Tradisi lompat batu yang telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler dan mampu membuat Nias dikenal oleh suku bangsa lain, kelihatannya sudah kurang digemari oleh generasi baru karena tingkat kesulitan untuk menguasainya. Selain itu, atraksi lompat batu juga sudah berubah fungsi. Di daerah-daerah tujuan wisata, para pemuda baru mau melompat, kalau bayarannya sesuai. Sudah tidak ada lagi olah raga melompat batu yang gratis. Yang ada adalah lompat batu komersil. Karena itu, dikuatirkan, jika turisme mati, maka tradisi lompat batu akan punah.
Jika Lompat batu punah, rumah adat rusak, megalit hilang dan dijual, burung Beo Nias punah, nilai-nilai budaya masyarakat sebagai kontol sosial yang luhur mati, apa lagi yang menjadi daya tarik Nias? Apa lagi keunikannya? Semuanya hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang sulit diulang kembali.

2 komentar:

  1. hi,

    saya sedang mencari bahan penulisan untuk blog saya tentang suku Nias. saya mau meminta ijin untuk meng copy gambar anda di atas untuk diposting di blog saya www.indonesia-tourism.com/blog

    link dari gambar tersebut akan terhubung ke blog anda ini.


    terimakasih

    BalasHapus

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe