Sabtu, 31 Oktober 2009

Sandwich Tamböyö dari Nias Tanöniha

Oleh Bondan Winarno

Kunjungan saya ke Nias bertepatan dengan acara perkawinan abang Gerda Gulo, teman dari Bank Dunia, di Gunungsitoli. Tentu saja, kesempatan baik itu tidak saya sia-siakan. Rangkaian acara dimulai dari rumah pengantin pria. Setelah semua anggota keluarga berkumpul, jamuan makan siang digelar. Setelah makan siang, pengantin pria berangkat ke rumah pengantin perempuan dengan berjalan kaki, diiring semua anggota keluarga besar.

Di rumah pengantin perempuan, semua anggota keluarga dari pihak ini pun sudah siap menyambut. Acara pertama adalah fanunu manu yang secara harafiah berarti pemukulan gong sebagai tanda selamat datang. Masing-masing pemuka keluarga dari kedua belah pihak menyampaikan maksud dan tujuan kehadiran, serta ucapan selamat datang.

Acara ini diikuti penyampaian mas kawin. Dari bisik-bisik yang saya dengar, bila pengantin pria adalah seorang pegawai negeri sipil, mas kawinnya minimum seratus juta rupiah. Bila pengantin pria datang dari Jakarta dan mempunyai kedudukan sosial yang tinggi, mas kawinnya bisa berlipat ganda.

Setelah penyerahan mas kawin, hidangan pun disajikan. Seperti telah saya kemukakan dalam tulisan minggu lalu, hidangan simbolis dalam acara besar seperti ini adalah simbi, yaitu bagian rahang babi yang berlemak. Daging dan lemak babi rebus ini diedarkan bersama minuman lokal yang disebut brandy, dan dimakan sebagai appetizer.

Selain disajikan sebagai simbi, ada lagi tiga masakan babi yang disuguhkan. Yang pertama adalah sop babi, dengan bagian-bagian tulang, kulit, dengan wortel dan kentang. Hidangan lain adalah babi kecap yang dimasak seperti semur kental. Sajian ketiga adalah cincang. Dilihat dari penampilannya, cincang sangat mirip dengan saksang di Tapanuli, yaitu daging dan lemak babi dicincang, lalu dimasak dengan darahnya dan berbagai macam bumbu.

Setelah acara makan-makan usai, acara famortu pun dimulai. Pengantin pria menyampaikan salam kepada para ibu-ibu dari pihak mempelai perempuan. Ibu-ibu ini kemudian memberi berbagai nasihat kepada pengantin pria.

Acara terakhir adalah fame barui hada, yaitu pemberian babi adat yang keesokan harinya disembelih untuk pesta perkawinan yang akan dihadiri oleh lebih banyak orang. Setelah acara ini usai, pengantin perempuan keluar dari rumah, disandingkan dengan pengantin pria, kemudian diusung dengan tandu ke rumah pengantin pria. Keesokan harinya, pesta besar pun digelar.

Bila Anda boleh makan babi

Masyarakat Nias memang mayoritas beragama Kristen dan Katholik. Karena itu, pilihan aman bagi teman-teman Muslim adalah rumah-rumah makan Padang yang untungnya cukup banyak hadir di Nias, khususnya di Gunungsitoli. Selain babi yang tersedia luas, banyak juga kedai-kedai yang menjajakan makanan dari daging B1 (anjing). Orang Nias menyebutnya sebagai asu, sama dengan nama hewan itu dalam bahasa Jawa.

Beberapa orang juga menyebutnya dengan istilah Manado, yaitu erwe atau RW, singkatan dari rintek wu’uk yang artinya bulu pendek – sebagai antonim dari babi yang bulunya lebih panjang. Di warung-warung B1 biasanya juga tersedia tuak mentah (legen), tuak (setelah disuling), maupun minuman lokal beralkohol yang disebut brandy.

Bila Anda boleh makan babi, salah satu tempat makan yang direkomendasikan di Gunung Sitoli adalah Kedai Mie Yuni di Lagundri, tidak jauh dari Pasar Ya’awohu. Ketika saya melongok ke dapur, Yuni yang masih menangani langsung pemasakan mi itu langsung malu. “Ah, orang Jakarta lebih pintar masaknya. Saya malu,” kilahnya.

Cara memasak mi gorengnya memang unik. Pertama, potongan daging babi ditumis dengan bumbu-bumbu, lalu dimasukkan rajangan sawi dan ditambah air. Setelah mendidih, dimasukkan mi telor yang penampangnya sedikit lebih besar daripada spaghetti. Pemasakan dilanjutkan sampai mi-nya cukup tanak.

Sekalipun rasanya enak, tetapi – bagi saya – sawi yang overcooked di dalam masakan ini merupakan nilai negatif. Tetapi, begitulah kesukaan orang di tempat lain. Dengan analogi yang sama, saya juga tidak menyukai minestrone (sup sayur) di Italia yang selalu dimasak sampai sayurnya “mati dua kali”.

Toby

Di Jalan Kelapa, Gunungsitoli juga ada penjual pisang goreng terkenal. Namanya Pisgor Asun. Tetapi, Asun sudah mewariskan ketrampilannya kepada Toby, anaknya, yang kini meneruskan usaha itu bersama istrinya. Info ini saya peroleh dari JS-er asal Nias, Herlin Adeline. Info lain saya peroleh dari JS-er Indra Fakhrudi, yang kebetulan sedang berdinas di Pulau Nias untuk jangka panjang.

Terus-terang, sebetulnya tidak ada yang istimewa dari Pisgor Toby ini. Pisang kepok diiris-iris lalu dimekarkan sehingga membentuk kipas, dan dicelupkan ke dalam adonan tepung beras. Pisang bertepung ini digoreng dalam dua tahap. Pertama, digoreng setengah matang dulu. Setiap ada pembeli, pisang digoreng lagi agar tersaji panas dan kriuk (crispy).

Tetapi, Toby juga punya sajian khusus yang belum pernah saya jumpai di tempat lain, yaitu ketupat pisgor. Ketupat pulut (ketan) di belah dua, kemudian diratakan di atas pisang goreng, dilumuri santan kental sisa masakan ketupat. Hasilnya adalah sandwich pisang goreng dengan ketan yang pulen dan gurih. Ada sedikit kemiripan dengan menu sarapan orang Minang, yaitu ketan kukus yang disantap dengan lauk pisang goreng atau talas goreng.

Orang Nias menyebut ketupat sebagai tambeye (e pepet). Selain ketupat pulut, ada juga ketupat beras. Tetapi, ketupat beras pun dimasak dalam santan, sehingga teksturnya lebih lembut dan rasanya lebih gurih. Tambeye nasi ini nikmatnya dimakan dengan pangek ikan.

Berbeda dengan di Ranah Minang, pangek ikan di Nias tidak memakai santan, karena itu kuahnya lebih melimpah dan encer. Ikan yang banyak diolah menjadi pangek adalah ikan putih yang bentuknya mirip bawal. Ikan jenis ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama pompano.

Pangek ikan nias memakai irisan kuncup bunga kincung (rias, kecombrang, honje) dalam jumlah banyak, serta irisan asam potong (asam kandis). Kedua jenis bahan ini menghasilkan rasa asam yang sangat indah. Bahkan, menurut saya, lebih unggul daripada tom yam kung yang selama ini kita kenal. Mak nyuss lah, pokoke. Asam, pedas, sssuegerrrr . . .

Toby juga menyajikan pisang bakar yang istimewa. Pisang kepok dibakar di atas bara arang, lalu dipenyet, ditaburi kelapa parut dengan garam, kemudian disiram gula merah cair. Menurut saya, seharusnya jajanan ini lebih dikedepankan daripada pisang goreng yang generik. Pisang bakar Toby setingkat di atas gedang plenet semarang maupun pisang epe makassar.

Ada lagi satu makanan khas Nias yang sayangnya tidak sempat saya cicipi. Namanya boboto yaitu masakan dari fillet ikan kakap atau kerapu. Daging ikan dilayukan – menurut istilah setempat dibusukkan – selama dua malam, lalu ditaburi gongsengan kelapa parut dengan bumbu-bumbu, dibungkus dalam daun singkong, kemudian dikukus dalam daun singkong.

Sampai di sini, deskripsi itu membuat boboto menjadi sangat mirip dengan bothok-nya orang Jawa. Untuk membuatnya lebih sip lagi, boboto ini kemudian dipanggang atau dibakar. Sayangnya, makanan ini sudah jarang dibuat, sehingga harus dipesan secara khusus bila ingin mencicipinya.

Ah, setidaknya itu akan menjadi alasan bagus untuk datang lagi ke Nias. Ya’aho wu!

*) Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya.
(Email : bondanw@gmail.com)

Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe