Selasa, 22 Maret 2011

Syair Tradisional Nias Tanoniha








Leluhur manusia berasal dari Teteholi Ana’a. Teteholi Ana’a ada di atas, yawa ba mbanua, atau di langit. Itulah paham mitologis masyarakat Nias yang terdapat dalam tradisi lisan berbentuk syair. Syair itu disebut hoho.Di kawasan selatan Nias, hoho berisi kisah Salawa Holia, raja Teteholi Ana’a. Tiga putra raja, yaitu Hia Ŵalani Adu, Gözö Helani Tanö, dan Ho, pada suatu hari diturunkan oleh Salawa Holia ke Tanö Niha (bumi Nias). Penurunan para putra raja itu disebutkan dalam salah satu bait hoho (Hämmerle, 1986: 94).

Idada raya Hia, Idada löu Gözö, 
Idada Ho ba Ndroi Gidö, Ya’ia börö zanatulö!

[Ia menurunkan Hia di bagian selatan, Ia menurunkan Gözö di bagian utara, Ia menurunkan Ho di sungai Gidö, Dialah sumber perdamaian!]

Menurut hoho di kawasan utara, raja Teteholi Ana’a adalah Sirao Uŵu Zihönö. Sirao menurunkan pula putranya. Putra yang selamat tiba di Tanö Niha: Hia Ŵalangi Adu, Gözö Helahela Danö, Daeli Sanau Talinga, dan Hulu Börözebua. Cucu Sirao, Balugu Silögu Mbanua, belakangan diturunkan, sebagaimana disebutkan dalam salah satu bait hoho (Mendröfa, 1981: 137).

Me ladada ba ndraso sebua, ni failo ba ndraso noyo.
Ya’ia Mbalugu Silögu Mbanua, Donga gaŵeda Ina Siraso. 
Hiyambanua khöra nina mbanua,Hiyambanua khöra mbanua saro.

[Waktu diturunkan di dataran subur, di dataran Oyo nan jaya. Ialah Balugu Silögu Mbanua, suami nenek puteri Siraso. Hiyambanua tempatnya bermukim, Hiyambanua kota nan jaya.]

Semua hoho mite asal-usul manusia mengandung pola, semacam pakem, yaitu töla hoho (inti hoho). Ada tiga elemen töla hoho, yaitu Teteholi Ana’a (kayangan), penghuni Teteholi Ana’a, dan ladada (penghuni kayangan diturunkan ke bumi). Berpatokan pada töla hoho, ere hoho (penutur hoho) dapat leluasa mengembangkan syair hoho, sesuai kemampuannya mengolah cerita dan bahasa, serta keterampilannya memainkan alat musik. Memang, hoho dituturkan dengan melagukan syairnya, diiringi musik. Syair hoho menunjuk alat musik yang dimainkan ere hoho.

Da’ubözi ŵondrahi akhea, da’ubözi ŵondrahi hoya.

[Kubunyikan tambur aren, kubunyikan tambur nibung.]

Ketika akan menabur bibit, setiap petani membawa bibit, diserahkan kepada ere (ulama) agar Dewi Bibit memberkati bibit tersebut. Ere memimpin litani pemujaan Dewi Bibit dengan syair pembuka (Mendröfa, 1981:187-8).

He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samoŵua, soga möi moriŵu tanömö, möiga mangayaigö töŵua, mabe’zi zarasara likhe, matanö zi sambuasambua.

[Hai Siraso sumber hasil, hai Siraso sumber buah. kami tiba menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang. kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.]

Pemujaan Dewi Bibit bukan mite asal-usul manusia. Syair tersebut bersifaf religi atau doa. Kategorinya hoho juga, disebut fo’ere.

Selain mite dan religi, hoho berisi sejarah, hukum adat, tata kemasyarakatan, dan cerita rakyat (Lase, 2011:157). Ketika upacara selingkaran hidup (kelahiran, perkawinan, kematian), pesta adat owasa, maupun fondrakö (musyawarah hukum adat), orang Nias aktif bersyair. Syair tersebut misalnya: bölihae (syair yang dinyanyikan pihak pengantin pria dalam perjalanan menuju rumah pengantin wanita, yang dimaksudkan agar jangan merasa lelah), hendri-hendri (pantun yang berisi perumpamaan atau nasihat).

Hoho ba zi mate (hoho pada orang meninggal) diiringi tarian di seputar jenazah. Hoho tersebut bukan mite (myth), melainkan berisi dongeng (folktale). Dikisahkan seorang bernama Laŵaendröna mencari hidup abadi. Laŵaendröna berhasil menemukan tempat itu, di bulan. Meski hanya dongeng, hoho ini dituturkan dalam upacara ritual kematian, suatu tradisi yang dipraktikkan pada zamannya. Belakangan, bait ke-13 hoho ba zi mate menjadi amaedola (pepatah) Nias, penghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian (Mendröfa, 1982:199).

Tenga simate nihalö nemali, tenga simate nihalö mbaloho.

[Bukan mati dilarikan maling, bukan mati dilarikan penyamun.]

Pepatah dan falsafah hidup orang Nias banyak dituangkan dalam bentuk syair. Prinsip persahabatan, misalnya, terlihat pada salah satu syair (Daeli, 1988:15).

Solau khömö talau khönia, solau khögu talau doho. 
Böi tuli’ö ndraodo ba zanaere, ba lö utuli’ö ndra’ugö ba mbaho.

[Yang mengkhianatimu kita balas padanya, yang mengkhianatiku kita balas dengan menombak.
Aku jangan didorong ke lembah, dan engkau tidak kujatuhkan ke jurang.]

Untuk menghibur diri, orang Nias juga punya tradisi syair. Syair tersebut bukan bagian utama upacara adat. Dia berupa nyanyian atau tarian rakyat, misalnya faöndru (nyanyian dalam tarian folaya, diawali nyanyian tunggal, lalu diikuti bersama), maena (nyanyian dan tarian bersama dalam suasana gembira), mbölö-mbölö (nyanyian seseorang dalam suasana sedih, tanpa iringan musik), adolu (nyanyian seseorang yang meratapi nasib, diselingi sigu atau suling), lailö (syair yang dilagukan untuk menghilangkan sepi atau kejenuhan).

Lailö lebih bersifat kontemplatif, menceritakan diri atau nasib sendiri. Syair ini didendangkan ketika menanti sesuatu, misalnya menunggu banjir surut, ketika berada di kebun, dapat pula saat pemuda atau pemudi ingin mengungkapkan cinta. Contoh salah satu bait lailö adalah senandung hati seorang anak yatim (Andrea, 1923:222).

Hiza furi zatua furi nama, hiza furi zi sagötö föna. 
Abu dödögu fangerangera, akao ndra’o ŵangolangolaya. 
Me lö samaeri lö ama, me lö satua samobaŵa lala.


[Beginilah nasib tanpa orangtua, beginilah tak seperti dulu lagi. Susah hatiku memikirkannya, suntuk aku menempuhnya. Karena tiada pemelihara tiada bapak, karena tiada orangtua penuntun jalan.]

Lebih jauh, selain syair upacara adat dan pelipur lara, ada pula hoho hasil kreasi perseorangan. Ere hoho Fözi Dzihönö dari Pulau Sigata, Nias Selatan, misalnya. Tahun 1927-1928 dia menuturkan 664 bait hoho (Maier, 1990). Hoho tersebut berisi kisah seorang pemuda dan putri-pamannya. Sebelum sang pemuda mengawini putri-pamannya itu, sang putri diperkosa orang, hamil dan melahirkan bayi. Kisah tragis tersebut adalah dongeng (folktale), karya imajinasi pribadi seseorang yang dituturkan berbentuk hoho.

Ada banyak konteks syair dalam budaya Nias. Dia media upacara adat dan ritual, hiburan, pengiring tarian, ekspresi diri, ataupun komunikasi tradisional orang Nias.
(Victor Zebua)


Bacaan:

Daeli, Fa’ano, Pengaruh Nilai-nilai Budaya Nias Terhadap Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia, Seminar Kebudayaan Nias dan Kualitas Manusia, Ikatan Keluarga Nias (IKN) Yogyakarta, Juni 1988.
Andrea, Lailö, dalam A. Pieper (ed.), Realiënboek, Missiondruckerei, Lagoeboti, 1923.
Hämmerle, Johannes M., Famatö Harimao, Yayasan Pusaka Nias, 1986.
Laiya, Sitasi Z., Siswanto Zagötö, Happy Laiya, Selamat Zagötö & Amita Zagötö, Kamus Nias-Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985.
Lase, Apolonius, Kamus Li Niha Nias – Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2011.
Maier, Henk, Stories from Nias W.L. Steinhart and Fözi Dzihönö, dalam Daniëlle Lokin, Nias Tribal Treasures: Cosmic reflection in stone, wood and gold, Volkenkundig Museum Nusantara, Delft, 1990
Mendröfa, B. Ama Wohada, Pepatah Nias dan Artinya, Medan, 1982.
Mendröfa, Sökhiaro Welther, Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981.

2 komentar:

  1. Mantab! posting berikutnya ditunggu... saohagolo Pak Laia. Yaahowu.

    BalasHapus
  2. No siga-siga da'a Pak Laia. Tehegö khögu da'u sali ... Saohagölö. Ya'ahowu

    BalasHapus

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe