Selasa, 25 Agustus 2009

Pemerintahan Adat Tradisional Nias Tanõniha

Pemerintahan asli suku Nias adalah bentuk pemerintahan adat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu: 
1.Banua yang dipimpin oleh Salawa (istilah Nias bagian Utara) atau Si’ulu (istilah Nias bagian Selatan). 
2.Õri yaitu merupakan perluasan dari BANUA yang dipimpin oleh Tuhenõri atau Si’ulu. 

Dalam setiap kesatuan masyarakat Hukum, baik tingkat BANUA maupun tingkat ÕRI terdapat satu badan Pemerintahan adat (eksekutif) dengan susunan sebagai berikut: 
1.Sanuhe (asal kata: Tuhe): Sanaru’õ / Samasindro, artinya yang mendirikan atau ketua. 
2.Tambalina: Wakil dari Sanuhe. 
3.Fahandrona: Juru bicara atau setara dengan Humas di zaman sekarang. 4.Sidaõfa sampai dengan sifelendrua: Para anggota dari dewan pimpinan tersebut. 

Keempat pilar ini secara simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam rumah adat Nias. Dewan pimpinan dalam bahasa Nias di kenal dengan istilah SITE’OLI. Baik di tingkat BANUA maupun di tingkat ÕRI semua SITE’OLI (Dewan Pimpinan) disebut SALAWA. 
Yang berkedudukan dan berfungsi di BANUA di sebut SALAWA MBANUA dan yang berkedudukan di tingkat ÕRI di sebut SALAWA NÕRI. Masyarakat umum dewasa ini mengenal istilah SANUHE (yang kini di sebut Ketua) untuk tingkat BANUA yang lazim disebut SALAWA dan di tingkat ÕRI disebut TUHE NÕRI. Pemerintahan adat suku Nias juga mengenal adanya lembaga legislatif yang di sebut FONDRAKÕ, yaitu suatu badan musyawarah dari tokoh – tokoh adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai bidang kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat (dapat berupa kelompok marga) dalam suatu wilayah tertentu dengan sangsi-sangsinya yang yuridis dan sakral yang sangat keras. Embrio dari Fondrakõ Ono Niha telah dimulai sejak penyerahan pemukiman pertama oleh nenek moyang HIA WALANGI ADU di GOMO SAHAYAHAYA. 

Suku Nias mengakui bahwa induk FONDRAKÕ seluruh Ono Niha adalah FONDRAKÕ BÕRÕNADU di Gomo; dari sanalah kemudian berkembang berbagai FONDRAKÕ di daerah Nias yang sudah barang tentu telah mengalami berbagai perobahan dan bervariasi menurut keadaan lingkungan masing-masing. Misalnya di Nias bagian Selatan istilah Fondrakõ sama dengan Famadaya Harimao / Famadaya Saembu; sekalipun demikian sanksi dan ritus dari apa yang telah di-rakõ pada FONDRAKÕ induk tidak diubah karena jiwanya sangat sakral serta ada hubungannya dengan kepercayaan tradisionil Suku Nias pada waktu itu yang masih menyembah berhala atau agama animisme. Bila pada suatu daerah pemukiman yang belum mencanangkan Fondrakõ terjadi bala seperti penyakit yang menyerang manusia, penyakit hewan piaraan, hama tanaman atau daerah itu diperangi oleh sekelompok manusia dari wilayah yang lain, maka para tua-tua adat mencari sebab musabab bala itu. Tua-tua adat mencari di antara mereka siapa keturunan yang dituakan; orang itulah yang didukung untuk menjadi TUHE WONDRAKÕ, sedang yang lain-lain menjadi staf dan pendukung yang mutlak dan setia. Segala biaya pelaksanaan dipikul bersama. Bila di daerah itu bemukin berpuluh-puluh kelompok yang berdekat-dekatan dan berbatasan tanah perladangannya dan terdiri dari beberapa mado, maka kelompok-kelompok ini akan menjadi suatu daerah/lingkungan SI SAMBUA FONDRAKÕ; keturunan yang dituakan tadi menjadi TUHE WONDRAKÕ (TUHE NÕRI WONDRAKÕ). FONDRAKÕ dapat disebut FONDRAKÕ BAUWU NENE kalau fondrakõ itu dilaksanakan di suatu lapangan yang berpasir atau di pinggir laut / sungai. 
Kalau pelaksanaan itu dilakukan pada sebuah bukit/gunung (hili) maka fondrakõ itu disebut FONDRAKÕ BAUWU HILI. Kalau ia dilakukan di bawah sebatang kayu yang dikeramatkan seperti ewo (beringin) maka disebut FONDRAKÕ BA MBÕRÕ GEWO; dan kalau dilakukan di bawah pohon fõsi maka disebut FONDRAKÕ BA MBÕRÕ WÕSI. 

Fondrakõ inilah Fondrakõ terbesar (induk) bagi mereka yang terlingkup dalam wilayah itu tadi. Seperti diterangkan di bagian pertama tulisan ini, daerah Fondrakõ itu terdiri dari beberapa kampung atau desa, yang disebut banua yang di dalamnya bergabung beberapa banua hada (desa adat) yang masing-masing mempunyai sanuhe dan stafnya. Para yang dituakan dari masing-masing kampung tadi menghimpun tua-tua kampungnya dan melaksanakan pula fondrakõ itu di dalam kampungnya. Fondrakõ ini di sebut Fondrakõ ba Mbalõ Mbanua. Karena di dalam kampung atau desa tadi telah ada beberapa banua hada, maka masing-masing banua hada melaksanakan pula pengumuman dan pelaksanaan fondrakõ itu dalam kelompok masing-masing, inilah yang disebut Fondrakõ Barõ Nadu. Ada kalanya orang-orang yang serumpun tetapi tidak se-banua hada, mempererat persaudaraan / pertalian kekeluargaan mereka dengan melakukan persepakatan fondrakõ yang disebut Fondrakõ ba Ngafulu yang turut dihadiri oleh para fadono dan famili terdekat. 

Keturunan dari orang yang memancangkan fondrakõ itu pada pertama kalinya yang meneruskan pelaksanaan fondrakõ itu di kemudian hari. Bila di kemudian hari dirasa perlu meninjau beberapa materi Fondrakõ misalnya karena terjadi bala, maka merupakan keharusan bagi keturunan pemancang Fondrakõ itu melakukan musyawarah untuk melaksanakan Manotou Fondrakõ. Dan apabila nilai-nilai hukum yang telah dipatok sanksinya terlalu berat, maka diadakanlah peninjauan yang disebut Mombuwu (melonggarkan, memgurangi – Red). 
Perlu kiranya diterangkan bahwa Fondrakõ Ono Niha berlandaskan lima dasar utama yaitu: 

1. Fo’adu – Pemujaan patung 
2. Fangaso Fa’ehowu – Pemilikan harta terberkati 
3. Fo’õlõ’õlõ – pembudidayaan keindahan (kesenian) 
4. Fobarahao – urusan kemasyarakatan 
5. Bõwõ masimasi – hubungan dalam pengasihan 

Pelaksanaan dasar yang lima itulah yang dihukumkan dan menjadi ketentuan – ketentuan yang wajib dita’ati oleh seluruh warga, dan ancaman-ancaman hukum yang bersifat sakral dan nyata turut diserukan dan diumumkan, dibarengi dengan pelaksanaan ritusnya. 
Pengumuman ancaman/sanksi yang sifatnya sakral itu adalah sebagai berikut. 

Pada suatu lapangan tempat melaksanakan musyawarah Fondrakõ itu dipersiapkan: 
a. Sebuah unggun api, yang terdiri dari kayu diho semata-mata; lebar, tinggi dan panjangnya masing-masing 5 hasta. 

b. Sebuah patung berkala Fondrakõ yang diperbuat dari kayu Esõni yang disebut Golu Wondrakõ. Di hadapan berhala ini, didirikan sebuah tonggak batu yang menyerupai meja bundar; di atas bundaran itu diletakan sebuah piring / pinggan besar, yang disebut Figa Lame. Di atas pinggan ini, diletakkan: • Lauru (kulak) yang telah ditetapkan sebagai contoh bagi seluruh daerah itu. • Di dalam lauru, ditegakkan afore dan digantungkan Fali’era (timbangan) bersama-sama saga ni’omanumanu dan saga bua geu serta balõ gondrekhata. • Di dalam bulatan yang terpegang oleh Siraha Golu Wondrakõ, diletakkan hamo-hamo gana’a (emas yang menyerupai pasir / abu, hasil dari pengikiran, bulu surai babi yang dipotong sebagai sesajen dengan segala isi rongga dada babi (hati, jantung, paru-paru, limpa dan buah pinggang). • Seperangkat lengkapan sirih (sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau). 

c. Di sebelah kiri unggun, dipancangkan sebuah patung berhala lain, yang dibuat dari sebatang jelatang yang masih hidup, yang disebut Siraha Lato. Pada batang patung berhala jelatang ini, diikatkan: - 9 batang lidi kelapa bekas serangan halilintar - 1 buah mayang kelapa yang masih kuncup - 1 ekor ayam jantan berbulu hitam/merah - 1 ekor anjing jantan berbulu hitam/merah - 1 buah kapak yang panjangnya sejengkal Setelah siap seluruhnya, maka imam (ere) fondrakõ mengumumkan semua apa yang telah ditetapkan sambil memukul fondrahi (sejenis tambur) sambil berseru: 

Mi’erõnu ono wobanua, mi’erõnu ono mbarahao, yae mege goroisa langi, yae mege goroisa luo, oroisa lowalangi ba ndrege, oroisa lowalangi luo zaho, oroisa fangazõngazõkhi, oroisa fangehangehao …. dst. Selanjutnya ia menjejerkan segala hukum, segala ukuran, segala takaran, hubungan antar manusia, cara memiliki harta dan lain sebagainya. Kemudian Ere Fondrakõ mengucapkan hukuman-hukuman bagi pelanggar, sebagai berikut: 

Bõi gõ manawõ Fondrakõ: haniha zanawõ, ya afatõ waha.
Bõi gõ sumui wondrakõ: haniha zanui, ya ateu mbagi.
Bõi nõnõ wondrakõ: haniha zonõnõ, ya asila dõdõ, ya aboto dalu. 
Bõi alõsi wondrakõ: haniha zangalõsi, ya asila hulu ya aeru waha. 
Bõi ra'u ba bõi osilõ’õgõ wondrakõ: haniha zondra’u ba sangosilõ’õgõ fondrakõ, ba danõ lõ mowa’a, ya lõ molehe ba mbanua, aetu nungo gõtõ-gõtõ, ya gõ mate lõ lewatõ, ya si taya lõ mi'ila zau.  

Terjemahan bebas:
Jangan melanggar fondrakõ (hukum adat) – yang melanggar semoga patah pahanya.
Jangan membelakangi / menyepelekan fondrakõ – siapa yang menyepelekan semoga lehernya putus. Jangan menambah fondrakõ – yang menambah semoga terbelah jantungnya, semoga pecah perutnya Jangan mengurangi fondrakõ - siapa yang mengurangi semoga punggungnya terbelah, semoga pahanya mengecil.
Jangan menyangkal fondrakõ - siapa yang menyangkal semoga tak berakar di bumi, tak bertunas di langit, putus keturunannya, mati tiada berkubur, hilang tak berkabar. 

d. Selanjutnya, Ere wondrakõ menghampiri Siraha Lato, sambil mengarahkan telapak tangannya di atas benda-benda ritus (lidi, mayang kelapa, ayam, anjing dan kapak) yang berada pada Siraha Lato mengucapkan mantera-mantera antara lain: Noso zanawõ fondrakõ, sumange zanawõ oroisa, ya mõi lifilifi wondrakõ, ya mõi lifilifi goroisa ya ondria mane nibõzi likhe, ya mondria mane sõfu latowa; ba dõla zanawõ fondrakõ, ba dõla zilalõi oroisa Aoha gõlõ nuwu wo’ere, aoha gõlõ nuwu mbesoa; d.s.t.

Selanjutnya Ere wondrakõ mengambil lidi yang 9 batang, mematah-matahkannya, di atas unggun api diho yang sedang menyala, meremas-remas lidi itu sambil membaca mantera-mantera lifi-lifi (kutukan) wondrakõ, yang berbunyi: 
“Ya’e wamaedo zanawõ fondrakõ, ya’e wamaedo zanawõ oroisa”, (ini contoh pelanggar, ini contoh pelanggar perintah – red.) lantas lidi yang diremas-remas itu dicampakkan kedalam unggun api. Lidi itu sebentar saja telah hangus dilalap api. Demikianlah selanjutnya, mayang kelapa yang masih kuncup dibuang bulat – bulat ke dalam unggun api sambil mengumpamakan mayang itu badan orang yang melanggar fondrakõ; dan sebentar saja mayang itu meledak dan isinya bertaburan ke dalam api. Selanjutnya, sebungkal timah dilebur sampai cair dan langsung dituangkan ke dalam kerongkongan ayam melalui paruhnya sambil memutar dan mematahkan leher, sayap dan kakinya lalu dibuang ke dalam api unggun sambil membacakan mantera-mantera kutuk yang mengumpamakan ayam itu sebagai diri orang yang melanggar fondrakõ. 
Kemudian anjing, yang sudah dipersiapkan, kakinya diikat dan langsung dibuang hidup-hidup ke dalam api unggun, sambil membacakan mantera dan mengumpamakan bahwa anjing yang dibakar hidup-hidup itu, sebagai orang yang melanggar fondrakõ. 
Terakhir, kapak tadi ditanamkan ke batang kelapa. Sebuah godam yang dibuat dari kayu manawa (alaban), sambil membacakan mantera-mantera, martel kayu (godam)- bagofahõ mae laoyo matua – dihantamkan pada punggung kapak itu secara bergantian oleh seluruh tua-tua adat yang hadir di tempat itu, sampai akhimya kapak tadi terbenam ke dalam batang kelapa atau batang kayu itu, yang menggambarkan kematian tanpa kubur orang yang melanggar fondrakõ. 

e. Setelah semuanya itu selesai, Ere wondrakõ menuangkan air dingin pada figa lame yang berisi hamo-hamo gana’a; air ini disiramkan pada ukuran timbangan takaran dan terakhir disiramkan / dituangkan pada kaki Golu Wondrakõ. Selanjutnya sisa air dingin tawar itu, disiramkan kepada khalayak ramai yang hadir, sambil mengucapkan mantera mantera pemberkatan agar semua warga menaati hukum-hukum yang tertera di dalam fondrakõ itu. 

Sumber: Buku Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe