Selasa, 25 Agustus 2009

Pemerintahan Adat Tradisional Nias Tanõniha

Pemerintahan asli suku Nias adalah bentuk pemerintahan adat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu: 
1.Banua yang dipimpin oleh Salawa (istilah Nias bagian Utara) atau Si’ulu (istilah Nias bagian Selatan). 
2.Õri yaitu merupakan perluasan dari BANUA yang dipimpin oleh Tuhenõri atau Si’ulu. 

Dalam setiap kesatuan masyarakat Hukum, baik tingkat BANUA maupun tingkat ÕRI terdapat satu badan Pemerintahan adat (eksekutif) dengan susunan sebagai berikut: 
1.Sanuhe (asal kata: Tuhe): Sanaru’õ / Samasindro, artinya yang mendirikan atau ketua. 
2.Tambalina: Wakil dari Sanuhe. 
3.Fahandrona: Juru bicara atau setara dengan Humas di zaman sekarang. 4.Sidaõfa sampai dengan sifelendrua: Para anggota dari dewan pimpinan tersebut. 

Keempat pilar ini secara simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam rumah adat Nias. Dewan pimpinan dalam bahasa Nias di kenal dengan istilah SITE’OLI. Baik di tingkat BANUA maupun di tingkat ÕRI semua SITE’OLI (Dewan Pimpinan) disebut SALAWA. 
Yang berkedudukan dan berfungsi di BANUA di sebut SALAWA MBANUA dan yang berkedudukan di tingkat ÕRI di sebut SALAWA NÕRI. Masyarakat umum dewasa ini mengenal istilah SANUHE (yang kini di sebut Ketua) untuk tingkat BANUA yang lazim disebut SALAWA dan di tingkat ÕRI disebut TUHE NÕRI. Pemerintahan adat suku Nias juga mengenal adanya lembaga legislatif yang di sebut FONDRAKÕ, yaitu suatu badan musyawarah dari tokoh – tokoh adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai bidang kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat (dapat berupa kelompok marga) dalam suatu wilayah tertentu dengan sangsi-sangsinya yang yuridis dan sakral yang sangat keras. Embrio dari Fondrakõ Ono Niha telah dimulai sejak penyerahan pemukiman pertama oleh nenek moyang HIA WALANGI ADU di GOMO SAHAYAHAYA. 

Suku Nias mengakui bahwa induk FONDRAKÕ seluruh Ono Niha adalah FONDRAKÕ BÕRÕNADU di Gomo; dari sanalah kemudian berkembang berbagai FONDRAKÕ di daerah Nias yang sudah barang tentu telah mengalami berbagai perobahan dan bervariasi menurut keadaan lingkungan masing-masing. Misalnya di Nias bagian Selatan istilah Fondrakõ sama dengan Famadaya Harimao / Famadaya Saembu; sekalipun demikian sanksi dan ritus dari apa yang telah di-rakõ pada FONDRAKÕ induk tidak diubah karena jiwanya sangat sakral serta ada hubungannya dengan kepercayaan tradisionil Suku Nias pada waktu itu yang masih menyembah berhala atau agama animisme. Bila pada suatu daerah pemukiman yang belum mencanangkan Fondrakõ terjadi bala seperti penyakit yang menyerang manusia, penyakit hewan piaraan, hama tanaman atau daerah itu diperangi oleh sekelompok manusia dari wilayah yang lain, maka para tua-tua adat mencari sebab musabab bala itu. Tua-tua adat mencari di antara mereka siapa keturunan yang dituakan; orang itulah yang didukung untuk menjadi TUHE WONDRAKÕ, sedang yang lain-lain menjadi staf dan pendukung yang mutlak dan setia. Segala biaya pelaksanaan dipikul bersama. Bila di daerah itu bemukin berpuluh-puluh kelompok yang berdekat-dekatan dan berbatasan tanah perladangannya dan terdiri dari beberapa mado, maka kelompok-kelompok ini akan menjadi suatu daerah/lingkungan SI SAMBUA FONDRAKÕ; keturunan yang dituakan tadi menjadi TUHE WONDRAKÕ (TUHE NÕRI WONDRAKÕ). FONDRAKÕ dapat disebut FONDRAKÕ BAUWU NENE kalau fondrakõ itu dilaksanakan di suatu lapangan yang berpasir atau di pinggir laut / sungai. 
Kalau pelaksanaan itu dilakukan pada sebuah bukit/gunung (hili) maka fondrakõ itu disebut FONDRAKÕ BAUWU HILI. Kalau ia dilakukan di bawah sebatang kayu yang dikeramatkan seperti ewo (beringin) maka disebut FONDRAKÕ BA MBÕRÕ GEWO; dan kalau dilakukan di bawah pohon fõsi maka disebut FONDRAKÕ BA MBÕRÕ WÕSI. 

Fondrakõ inilah Fondrakõ terbesar (induk) bagi mereka yang terlingkup dalam wilayah itu tadi. Seperti diterangkan di bagian pertama tulisan ini, daerah Fondrakõ itu terdiri dari beberapa kampung atau desa, yang disebut banua yang di dalamnya bergabung beberapa banua hada (desa adat) yang masing-masing mempunyai sanuhe dan stafnya. Para yang dituakan dari masing-masing kampung tadi menghimpun tua-tua kampungnya dan melaksanakan pula fondrakõ itu di dalam kampungnya. Fondrakõ ini di sebut Fondrakõ ba Mbalõ Mbanua. Karena di dalam kampung atau desa tadi telah ada beberapa banua hada, maka masing-masing banua hada melaksanakan pula pengumuman dan pelaksanaan fondrakõ itu dalam kelompok masing-masing, inilah yang disebut Fondrakõ Barõ Nadu. Ada kalanya orang-orang yang serumpun tetapi tidak se-banua hada, mempererat persaudaraan / pertalian kekeluargaan mereka dengan melakukan persepakatan fondrakõ yang disebut Fondrakõ ba Ngafulu yang turut dihadiri oleh para fadono dan famili terdekat. 

Keturunan dari orang yang memancangkan fondrakõ itu pada pertama kalinya yang meneruskan pelaksanaan fondrakõ itu di kemudian hari. Bila di kemudian hari dirasa perlu meninjau beberapa materi Fondrakõ misalnya karena terjadi bala, maka merupakan keharusan bagi keturunan pemancang Fondrakõ itu melakukan musyawarah untuk melaksanakan Manotou Fondrakõ. Dan apabila nilai-nilai hukum yang telah dipatok sanksinya terlalu berat, maka diadakanlah peninjauan yang disebut Mombuwu (melonggarkan, memgurangi – Red). 
Perlu kiranya diterangkan bahwa Fondrakõ Ono Niha berlandaskan lima dasar utama yaitu: 

1. Fo’adu – Pemujaan patung 
2. Fangaso Fa’ehowu – Pemilikan harta terberkati 
3. Fo’õlõ’õlõ – pembudidayaan keindahan (kesenian) 
4. Fobarahao – urusan kemasyarakatan 
5. Bõwõ masimasi – hubungan dalam pengasihan 

Pelaksanaan dasar yang lima itulah yang dihukumkan dan menjadi ketentuan – ketentuan yang wajib dita’ati oleh seluruh warga, dan ancaman-ancaman hukum yang bersifat sakral dan nyata turut diserukan dan diumumkan, dibarengi dengan pelaksanaan ritusnya. 
Pengumuman ancaman/sanksi yang sifatnya sakral itu adalah sebagai berikut. 

Pada suatu lapangan tempat melaksanakan musyawarah Fondrakõ itu dipersiapkan: 
a. Sebuah unggun api, yang terdiri dari kayu diho semata-mata; lebar, tinggi dan panjangnya masing-masing 5 hasta. 

b. Sebuah patung berkala Fondrakõ yang diperbuat dari kayu Esõni yang disebut Golu Wondrakõ. Di hadapan berhala ini, didirikan sebuah tonggak batu yang menyerupai meja bundar; di atas bundaran itu diletakan sebuah piring / pinggan besar, yang disebut Figa Lame. Di atas pinggan ini, diletakkan: • Lauru (kulak) yang telah ditetapkan sebagai contoh bagi seluruh daerah itu. • Di dalam lauru, ditegakkan afore dan digantungkan Fali’era (timbangan) bersama-sama saga ni’omanumanu dan saga bua geu serta balõ gondrekhata. • Di dalam bulatan yang terpegang oleh Siraha Golu Wondrakõ, diletakkan hamo-hamo gana’a (emas yang menyerupai pasir / abu, hasil dari pengikiran, bulu surai babi yang dipotong sebagai sesajen dengan segala isi rongga dada babi (hati, jantung, paru-paru, limpa dan buah pinggang). • Seperangkat lengkapan sirih (sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau). 

c. Di sebelah kiri unggun, dipancangkan sebuah patung berhala lain, yang dibuat dari sebatang jelatang yang masih hidup, yang disebut Siraha Lato. Pada batang patung berhala jelatang ini, diikatkan: - 9 batang lidi kelapa bekas serangan halilintar - 1 buah mayang kelapa yang masih kuncup - 1 ekor ayam jantan berbulu hitam/merah - 1 ekor anjing jantan berbulu hitam/merah - 1 buah kapak yang panjangnya sejengkal Setelah siap seluruhnya, maka imam (ere) fondrakõ mengumumkan semua apa yang telah ditetapkan sambil memukul fondrahi (sejenis tambur) sambil berseru: 

Mi’erõnu ono wobanua, mi’erõnu ono mbarahao, yae mege goroisa langi, yae mege goroisa luo, oroisa lowalangi ba ndrege, oroisa lowalangi luo zaho, oroisa fangazõngazõkhi, oroisa fangehangehao …. dst. Selanjutnya ia menjejerkan segala hukum, segala ukuran, segala takaran, hubungan antar manusia, cara memiliki harta dan lain sebagainya. Kemudian Ere Fondrakõ mengucapkan hukuman-hukuman bagi pelanggar, sebagai berikut: 

Bõi gõ manawõ Fondrakõ: haniha zanawõ, ya afatõ waha.
Bõi gõ sumui wondrakõ: haniha zanui, ya ateu mbagi.
Bõi nõnõ wondrakõ: haniha zonõnõ, ya asila dõdõ, ya aboto dalu. 
Bõi alõsi wondrakõ: haniha zangalõsi, ya asila hulu ya aeru waha. 
Bõi ra'u ba bõi osilõ’õgõ wondrakõ: haniha zondra’u ba sangosilõ’õgõ fondrakõ, ba danõ lõ mowa’a, ya lõ molehe ba mbanua, aetu nungo gõtõ-gõtõ, ya gõ mate lõ lewatõ, ya si taya lõ mi'ila zau.  

Terjemahan bebas:
Jangan melanggar fondrakõ (hukum adat) – yang melanggar semoga patah pahanya.
Jangan membelakangi / menyepelekan fondrakõ – siapa yang menyepelekan semoga lehernya putus. Jangan menambah fondrakõ – yang menambah semoga terbelah jantungnya, semoga pecah perutnya Jangan mengurangi fondrakõ - siapa yang mengurangi semoga punggungnya terbelah, semoga pahanya mengecil.
Jangan menyangkal fondrakõ - siapa yang menyangkal semoga tak berakar di bumi, tak bertunas di langit, putus keturunannya, mati tiada berkubur, hilang tak berkabar. 

d. Selanjutnya, Ere wondrakõ menghampiri Siraha Lato, sambil mengarahkan telapak tangannya di atas benda-benda ritus (lidi, mayang kelapa, ayam, anjing dan kapak) yang berada pada Siraha Lato mengucapkan mantera-mantera antara lain: Noso zanawõ fondrakõ, sumange zanawõ oroisa, ya mõi lifilifi wondrakõ, ya mõi lifilifi goroisa ya ondria mane nibõzi likhe, ya mondria mane sõfu latowa; ba dõla zanawõ fondrakõ, ba dõla zilalõi oroisa Aoha gõlõ nuwu wo’ere, aoha gõlõ nuwu mbesoa; d.s.t.

Selanjutnya Ere wondrakõ mengambil lidi yang 9 batang, mematah-matahkannya, di atas unggun api diho yang sedang menyala, meremas-remas lidi itu sambil membaca mantera-mantera lifi-lifi (kutukan) wondrakõ, yang berbunyi: 
“Ya’e wamaedo zanawõ fondrakõ, ya’e wamaedo zanawõ oroisa”, (ini contoh pelanggar, ini contoh pelanggar perintah – red.) lantas lidi yang diremas-remas itu dicampakkan kedalam unggun api. Lidi itu sebentar saja telah hangus dilalap api. Demikianlah selanjutnya, mayang kelapa yang masih kuncup dibuang bulat – bulat ke dalam unggun api sambil mengumpamakan mayang itu badan orang yang melanggar fondrakõ; dan sebentar saja mayang itu meledak dan isinya bertaburan ke dalam api. Selanjutnya, sebungkal timah dilebur sampai cair dan langsung dituangkan ke dalam kerongkongan ayam melalui paruhnya sambil memutar dan mematahkan leher, sayap dan kakinya lalu dibuang ke dalam api unggun sambil membacakan mantera-mantera kutuk yang mengumpamakan ayam itu sebagai diri orang yang melanggar fondrakõ. 
Kemudian anjing, yang sudah dipersiapkan, kakinya diikat dan langsung dibuang hidup-hidup ke dalam api unggun, sambil membacakan mantera dan mengumpamakan bahwa anjing yang dibakar hidup-hidup itu, sebagai orang yang melanggar fondrakõ. 
Terakhir, kapak tadi ditanamkan ke batang kelapa. Sebuah godam yang dibuat dari kayu manawa (alaban), sambil membacakan mantera-mantera, martel kayu (godam)- bagofahõ mae laoyo matua – dihantamkan pada punggung kapak itu secara bergantian oleh seluruh tua-tua adat yang hadir di tempat itu, sampai akhimya kapak tadi terbenam ke dalam batang kelapa atau batang kayu itu, yang menggambarkan kematian tanpa kubur orang yang melanggar fondrakõ. 

e. Setelah semuanya itu selesai, Ere wondrakõ menuangkan air dingin pada figa lame yang berisi hamo-hamo gana’a; air ini disiramkan pada ukuran timbangan takaran dan terakhir disiramkan / dituangkan pada kaki Golu Wondrakõ. Selanjutnya sisa air dingin tawar itu, disiramkan kepada khalayak ramai yang hadir, sambil mengucapkan mantera mantera pemberkatan agar semua warga menaati hukum-hukum yang tertera di dalam fondrakõ itu. 

Sumber: Buku Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987)

Jumat, 14 Agustus 2009

Penanggalan Waktu Tradisional Nias Tanöniha


Orang Nias tempo doeloe tidak mengenal jam. Pembagian dan penamaan waktu mereka mengacu aktivitas sehari-hari: bertani, beternak, kerja domestik (memasak, makan, tidur), dan fenomena alam. Pukul 00.00 disebut talu mbongi (tengah malam). Nama waktu lainnya: miwo manu siföföna (ayam berkokok pertama kali; 02.00-02.30), möi zamölö (penyadap aren pergi menyadap; 05.00), muhede riwi (jangkrik berbunyi; 05.30-06.00), dan tumbu luo (matahari terbit; 06.00).

Usai fajar menyingsing disebut ahulö wongi, mofanö niha ba halöwö (pagi sekali, orang pergi bekerja; 06.30). Ada sejumlah istilah hingga tengah hari, laluo (tengah hari; 12.00), manuge manu (ayam hinggap di kandang; 17.00-18.00), mörö niha (orang pergi ke tempat tidur; 22.00), dan saraö tö mbongi (malam tinggal ‘sepertiga’ lagi; 23.00).

Itulah kalender harian tradisional Nias. Fanötöi ginötö (penamaan waktu) yang lebih rinci dan lengkap disajikan E. Halawa di Ungkapan Waktu dalam Tradisi Masyarakat Nias (2007) di Nias Online. Artikel tersebut merujuk tulisan Agner Møller yang dikutip Hämmerle (1999) dan percakapan Halawa dengan sejumlah orangtua Ono Niha (orang Nias).

Selain kalender (sistem penentuan dan pembagian waktu) harian, orang Nias punya kalender tahunan. Kalender itu relatif berbeda dibanding kalender Gregorian yang ditetapkan Paus Gregorius XIII tahun 1582 M. Kalender Gregorian mengacu kedudukan surya (matahari) terhadap vernal equinok (titik rasi Aries) tanggal 21 Maret (Raharto, 1995: 45). Sementara kalender tahunan tradisional Nias mengacu posisi bintang Sara Wangahalö.

Dongeng Bintang
Di langit malam ada tiga bintang yang terlihat cukup terang dan letaknya sejajar, yaitu: Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), dan Mintaka (delta Orionid). Di dekatnya terdapat bintang lain, seperti: Betelgeuse, Meissa, Bellatrix, Saiph, Rigel, dan lainnya. Semua bintang tersebut membentuk rasi atau konstelasi (sekumpulan bintang). Orang Yunani kuno mengimajinasikan rasi bintang ini berbentuk orang yang tengah membawa sebilah pedang (Pramesti, 2007). Mereka menamakannya Orion, nama seorang pemburu dalam mitologi Yunani (Gbr-1).

Gambar 1 – Rasi Orion

Rasi Orion dikenal di pelbagai peradaban kuno. Bagi orang Jawa, rasi Orion menyerupai waluku (alat bajak sawah), sehingga disebut lintang (bintang) Waluku. Orang Sumeria melihatnya mirip domba, orang Mesir menganggapnya wujud Osiris (Dewa Kematian) yang tengah membawa tongkat komando. Dalam tradisi rakyat (folklor) Nias, sebagian bintang penyusun rasi Orion ini disebut Sara Wangahalö (Harefa, 1939: 116; Zebua, 1996: 67).

Sejumlah dongeng Sara Wangahalö dicatat Agner Møller di buku Den Gamle Tidsregning på Nias tahun 1976 (Hämmerle, 1999: 128). Møller, dokter asal Jerman*, bekerja di Tanö Niha (Tanah Nias) tahun 1923-1927 (Mittersakschmöller, 2007). Dia mengumpulkan 15 versi dongeng Sara Wangahalö berbahasa Nias logat selatan, tengah, dan utara. Artinya, dongeng Sara Wangahalö (Sarawalaho dalam teks Nias Selatan) terdapat di kawasan yang relatif luas di Tanö Niha.

Satu versi dongeng berkisah perihal Ndröma (Hämmerle, 1999: 131). Ndröma dan istrinya Simarimbaŵa memiliki sebelas orang anak. Pada suatu hari anak-anak Ndröma pergi berburu. Sepulang berburu, saat mereka tiba di rumah, pintu rumah tidak dibukakan. Anak sulung bertanya, mengapa ayahnya tidak membuka pintu. Karena tidak ada jawaban, maka dipotongnya jari-jarinya dan diletakkannya di atas tangga. Lalu mereka pergi seraya berseru, “Karena ayah tidak mengizinkan kami masuk, kami pergi, kami akan menjadi Sarawalaho”.

Setelah anaknya pergi, hati Ndröma iba. Sambil membawa obor, bersama istri dan budaknya, dia mencari anaknya. Namun mereka tak pernah bertemu, para anak telah menjelma menjadi ndröfi si Felezara (bintang Sebelas). Ndröma, sawuyu (budak), dan Simarimbaŵa menjelma pula menjadi ndröfi si Tölu (bintang Tiga)

Tokoh versi lain Balugu Hatölu dan istrinya Boworia (Hämmerle, 1999: 137-8). Kesebelas anak mereka: Lölömatua Ita Bara, Lökhö Sitölu, Lökhö Famaigi, Lökhö Fangila, Lökhö Angi, Döfi Famaigi, Döfi Fangila, Mondröi, Döfi Balazi, Ondröita, dan Fagohi Döfi. Dalam versi ini: bintang Sebelas jelmaan para anak Hatölu, sedang bintang Tiga jelmaan Hatölu, Boworia, dan Sibahu Barazo Laoya (istri Lölömatua Ita Bara).

Bintang Tiga inilah Alnitak-Alnilam-Mintaka versi Nias. Sementara bintang Sebelas adalah sebelas bintang di dekatnya, disebut juga döfi Zara (döfi = bintang, tahun; zara dari felezara = sebelas) alias ndröfi Sara (bintang Sara). Dalam perspektif Ono Niha, bintang-bintang penyusun rasi Orion adalah representasi tokoh cerita, bukan citra benda sebagaimana imajinasi orang Yunani, Jawa, Sumeria, dan Mesir.

Ndröfi Sara
Sebagai dongeng (folktale), Sara Wangahalö termasuk folklor lisan. Namun sebagai bintang, Sara Wangahalö dikategorikan folklor adat kebiasaan, satu dari tiga kelompok folklor menurut Danandjaja (2003: 28). Bintang ini berperan penting dalam adat-istiadat rakyat (folk customs) Nias, sebagaimana ditulis Harefa (1939: 116).

“… Pada zaman poerbakala, apabila moelai bertanam padi diladang atau disawah, orang toea-toea memeriksa bintang dilangit. [...] Dengan melihat tinggi letak bintang itoe dilangit waktoe malam hari, dapat diketahoei waktoe mana dimoelai bertanam padi diladang atau disawah soepaja pertahoenan padi banjak hasilnja. [...] Bintang itoe diseboet dalam bahasa Nias: Sara wangahalö artinja bintang jang memberi tanda bilamana memoelai bertanam padi diladang atau disawah.” [sic]

Ketika bintang Sara muncul di ufuk timur, orang Nias turun ke hutan-belukar (Zebua, 1996: 67). Mereka mamohu tanö nowi atau mamago tanö (menandai tanah huma-ladang). Tanah yang dipilih dibersihkan agar dapat ditanami. Masa menanam padi berlangsung ketika posisi bintang Sara setinggi matahari pukul delapan hingga sepuluh. Masa menuai saat bintang Sara di langit sebelah barat, setinggi matahari pukul dua hingga empat sore. Bintang ini kelak hilang di ufuk barat, kemudian muncul kembali di ufuk timur.

Karena bintang Sara menjadi penanda musim wangahalö (pertanian), maka dia disebut Sara Wangahalö. Satu siklus penampakan (peredaran) Sara Wangahalö, mulai dari terbit di ufuk timur hingga terbit kembali di ufuk timur, berlangsung 12 kali bulan terang. Artinya, kurun waktu satu siklus bintang ini berlangsung 12 bulan.

Posisi Sara Wangahalö ditentukan berdasar posisi matahari. Menurut kearifan lokal Nias, satu jam ‘waktu edar’ matahari setara dengan satu bulan ‘waktu edar’ Sara Wangahalö. Karena matahari beredar dari timur ke barat selama 12 jam dalam sehari, maka ‘kurun waktu jam’ posisi matahari identik dengan ‘kurun waktu bulan’ posisi Sara Wangahalö. Menurut Zebua (1996: 67), Sara Wangahalö terbit di ufuk timur awal April, dan terbenam di ufuk barat akhir Maret. Dengan demikian, kurun waktu satu siklus peredaran Sara Wangahalö relatif dapat dipadankan dengan kurun waktu setahun kalender Gregorian (Gbr-2).


Gambar 2 – Peredaran Sara Wangahalö

Sekitar awal April Sara Wangahalö terbit di ufuk timur, terlihat saat matahari terbenam. Dua bulan kemudian, bila bintang ini berada pada posisi matahari pukul delapan (sekitar Juni), orang mulai menanam padi (Harefa, 1939: 117; Zebua, 1996: 67). Diyakini, periode terbaik menanam padi sampai Sara Wangahalö berada pada posisi matahari pukul sepuluh (sekitar Agustus). Sementara periode terbaik menuai saat posisi Sara Wangahalö berada pada posisi matahari pukul dua hingga empat sore, terlihat saat matahari terbit (sekitar Desember-Februari).

Tenggang waktu usai mamasi (musim menuai padi) hingga terbenamnya Sara Wangahalö di ufuk barat (sekitar Februari-Maret) dipakai untuk pembersihan lahan. Lahan itu kemudian dijadikan ladang ubi yang lazim digarap oleh kaum wanita (Laiya, 1980: 60; Zebua, 1996: 67). Periode ini disebut inötö otalua halöwö saukhu (periode senggang kawasan pertanian), dimanfaatkan untuk penyelenggaraan berbagai acara penting masyarakat tradisional Nias, seperti: perkawinan, pendirian rumah, pesta owasa, maupun fondrakö.

Itulah peran Sara Wangahalö. Satu tahun kalender Ndröfi Sara (Tahun Bintang Sara Wangahalö) terdiri dari 12 periode bulan. Kurun waktu satu periode (siklus) bulan adalah jumlah dari 15 hari bulan terang dan 15 hari bulan mati, sehingga satu bulan terdiri dari 30 hari. Artinya, kurun waktu satu tahun kalender Ndröfi Sara tidak tepat betul dibanding satu satu tahun kalender Gregorian. Kalender tahunan Gregorian berlangsung rata-rata 365,2425 hari (Raharto, 1995: 45), sedang kalender tahunan tradisional Nias 360 hari.

Tradisi Bulan
Kurun waktu satu bulan pasti berlangsung 30 hari. Masyarakat tradisional Nias memiliki nama hari sepanjang satu siklus bulan. Hal ini dicatat Ernst Ludwig Denninger tahun 1870 (Hummel & Telaumbanua, 2007: 50) dan Agner Møller tahun 1976 (Hämmerle, 1999: 140).

Hari pertama tiap bulan adalah hari ketika bulan sabit mulai terlihat di ufuk barat saat matahari terbenam. Bulan sabit ini disebut hilal dalam kalender Hijriah yang ditetapkan Khalifah Umar bin Khatab (Raharto, 1999: 40). Selama 15 hari, setiap hari penampakan bulan berubah hingga menjadi tuli (purnama). Kelimabelas hari itu berturut-turut disebut: Sambua Desa’a, Dombua Desa’a, Tölu Desa’a, Öfa Desa’a, Melima Desa’a, Me’önö Desa’a, Mewitu Desa’a, Mewalu Desa’a, Meziwa Desa’a, Fulu Desa’a, Mewelezara Desa’a, Melendrua Desa’a, Feledölu Desa’a, Fele’öfa Desa’a, dan Tuli.

Selanjutnya bulan masuk fase mati selama 15 hari. Secara berurutan hari-hari bulan mati disebut: Sulumo’o (Samuza Akhömi), Mendrua Akhömi, Medölu Akhömi, Mendröfa Akhömi, Melima Akhömi, Me’önö Akhömi, Mewitu Akhömi, Mewalu Akhömi (Börö Zikho), Meziwa Akhömi (Zikho), Mewulu Akhömi (Börö Mugu), Mewelezara Wa’aekhu (Angekhula), Felendrua Wa’aekhu (Börö Ndriwakha), Sambua-lö Aekhu (Talu Ndriwa), Aekhu Mbawa (Ahakhöwa), dan Fasulöta (Fasulöna).

Masyarakat tradisional Nias tidak mengenal nama hari dalam seminggu, sehingga tidak memiliki kalender mingguan (Hummel & Telaumbanua, 2007: 49-50). Nama-nama hari mereka berdurasi sebulan (kalender bulanan). Dengan demikian, hakekat hari dalam kalender bulanan tradisional Nias adalah tanggal. Penanggalan itu berguna terutama untuk menentukan ‘hari baik’, hari yang dianggap dapat memberi kesejukan, keberuntungan, dan kebahagiaan.

Menurut Zebua (1996: 68), hari (tanggal) yang baik mulai Mewalu Desa’a hingga Melendrua Desa’a. Ono Niha melakukan segala sesuatu kegiatan pada hari-hari itu. Namun di pelbagai kawasan, periode tersebut tidak sama. Peribahasa Nias mengatakan, “Sara nidanö sambua ugu-ugu, sambua mbanua ba sambua mböwö”; satu sungai satu bunyi arusnya, satu kampung lain adatnya (Mendröfa, 1982: 45).

Sebagian masyarakat memilih Mendröfa Desa’a, Mewalu Desa’a, dan Melendrua Desa’a sebagai hari baik menanam tumbuhan (Hummel & Telaumbanua, 2007: 50). Tumbuhan tertentu, singkong misalnya, ditanam saat Tuli agar umbinya tumbuh sebesar bulan purnama. Di Hilimondregeraya, Nias Selatan, kegiatan menanam justru dilarang pada saat: Mendröfa Desa’a, Mewalu Desa’a, Fulu Desa’a, dan Mewelezara Desa’a (Hämmerle, 1999: 24).

Ritus fondrakö wamunu niha diselenggarakan sebelum Mewelezara Desa’a (Hämmerle, 1995: 229). Mewelezara Desa’a dan hari setelahnya dianggap hari sial bagi pelaku ekspedisi pengayauan. Di kawasan selatan Nias, hari baik melaksanakan tradisi lachai (sunat) adalah: Fulu Desa’a, Melendrua Desa’a, dan Tuli (Suzuki, 1959: 85).

Meski memiliki kalender bulanan yang sama, terdapat pelbagai kepercayaan rakyat (folk belief) perihal ‘hari baik’. Mengapa demikian? Sebuah pertanyaan menantang bagi para peneliti yang berminat pada kebudayaan Nias.

Kalender bulanan tradisional Nias termasuk folklor adat istiadat. Berkaitan dengan bulan, Ono Niha juga memiliki folklor lisan berbentuk dongeng dan mite. Dongeng bulan Nias adalah kisah Lawaendröna yang dilantunkan saat upacara ritual kematian (Thomsen, 1981; Zebua, 2008). Dongeng tersebut dapat dilihat di artikel Kisah Lawaendröna Manusia Bulan di Nias Online. Sementara mite bulan berkisah perihal seorang dewa (Mendröfa,1981: 108).

Menurut salah satu mitologi Nias, di teteholi ana’a (kayangan) ada seorang dewa yang dapat merubah-ubah wujudnya. Dewa itu bernama Malio Sibaya Mbaŵa. Bila di bumi Tanö Niha telah terjadi banyak ketidakadilan dan kejahatan, maka marahlah Malio Sibaya Mbaŵa. Dia berubah menjadi ular raksasa. Lalu ular raksasa yang marah itu pelan-pelan menelan bulan, sebagai peringatan atas perilaku manusia. Terjadilah gerhana bulan.

Saat gerhana bulan manusia berteriak-teriak, “Biha Tua, Fuli Tua” (Sudah Nenek, Kembali Nenek), seraya membunyikan segala macam benda. Maksudnya agar ular raksasa tidak menelan bulan dan bulan dikembalikan seperti semula. Hingga tahun tujuhpuluhan orang Nias masih membunyikan gendang, tambur, maupun kentongan ketika terjadi gerhana bulan (Halawa, 2009). Usai peristiwa gerhana para raja adat segera menelusuri pelanggaran hukum dan melakukan reformasi agar manusia kembali ke koridor yang benar.

Sumber : Nias online (Victor Zebua)

Bacaan

1. Danandjaja, James, Folklor Amerika Cermin Multikultural yang Manunggal, Pustaka Utama Grafiti, cet.1, 2003
2. Halawa, E., Ungkapan Waktu dalam Tradisi Masyarakat Nias, www.niasonline.net, Juli 2007
3. Halawa, E., Faktor-Faktor Penyebab Keterbelakangan dan Kemiskinan Masyarakat Nias, www.niasonline.net, Februari 2009
4. Hämmerle, Johannes M., Hikaya Nadu, Yayasan Pusaka Nias, 1995
5. Hämmerle, Johannes M. (ed), Nidunö-dunö ba Nöri Onolalu, Yayasan Pusaka Nias, 1999
6. Harefa, Faogöli, Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfonds Residentie Tapanoeli, 1939
7. Hummel, Uwe & Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu: A Socio-Historical Study on the Encounter between Christianity and the Indigenous Culture on Nias and the Batu Islands, Indonesia (1865-1965) , Doctoral Thesis Utrecht University, 2007
8. Laiya, Bambowo, Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias – Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1980
9. Mendröfa, B. Ama Wohada, Pepatah Nias dan Artinya, Medan, 1982
10. Mendröfa, Sökhiaro Welther, Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981
11. Mittersakschmöller, Reinhold, Research Fields in 1920s/30s Ethnophotography: Nias and the Batu Islands, www.nirn.org, Juli 2007
12. Pramesti, Orion, Pemburu Perkasa di Langit Malam, http://langitselatan.com, Juni 2007
13. Raharto, Moedji, Kalender Bulan dan Kalender Surya, dalam Adriana Wisni Ariasti dkk (penyunting), Perjalanan Mengenal Astronomi, UPT Observatorium Bosscha ITB, 1995
14. Suzuki, Peter, The Religious System and Culture of Nias, Indonesia, ‘S Gravenhage, 1959
15. Thomsen, Martin, Ein Totengesang von der insel Nias, Bijdragen tot de Taal-, Lan- en Volkenkunde 137 (443-455), 1981
16. Zebua, F., Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996
17. Zebua, Victor, Kisah Lawaendröna Manusia Bulan, www.niasonline.net, September 2008

Sumber foto: http://io81.com/wp-content/uploads/2007/10/orion.jpg

Minggu, 02 Agustus 2009

Wahana Kepercayaan Tradisional Nias Tanoniha


Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud, misalnya: berbagai jenis patung, (Adu Nama, Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö dll) yang dibuat dari bahan batu atau kayu dan juga percaya pada pohon tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dll. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan politheisme.
Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana misalnya: Dukun atau pemimpin agama kuno (Ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (Hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pember-halaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.
Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha dan sebagainya. Sesama manusia juga di-ilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: Sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli danö. Artinya: Paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan. Kepercayaan dalam bentuk ani-misme-politheisme ditinggalkan oleh masyarakat setelah para misionaris menyebarkan agama di Nias. Pembuatan patung-patung dilarang, karena hanya dipandang dari sisi teologis saja, sementara pesan moral dan nilai seni di dalam berbagai patung (ukiran dan pahatan) itu tidak dihiraukan.
Pemusnahan patung-patung secara besar-besaran dilakukan pada masa adanya gerakan ‘Fangesa Dödö Sebua’ (pertobatan massal) sejak tahun 1916 sampai dengan tahun 1930 yang dimotori oleh para misionaris Kristen dari Eropa yang menganut pandangan “Christ against Culture” (Kristus menentang Kebudayaan).
Puluhan tahun kemudian, baru disadari, bahwa tindakan pemusnahan wahana religi kuno yang dilakukan pada masa lalu merupakan ‘kesalahan yang sangat merugikan suku bangsa’ yang sama artinya dengan pemusnahan bukti sejarah perkembangan masyarakat Nias, penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah generasi zaman itu.
51

Nomor Inventaris : 03-0138
Nama / Name
Nias : Fondrahi
Indonesia : Tambur
English : Long drum
Asal / Origin : Siwalawa, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This fondrahi used to be bitten by traditional priest or shaman (Ere) during conveying a request or praise to deity (world creator) accompanied by the sound of this instrument. Today, it’s merely used as a common musical instrument.
Tambur ini biasanya dipakai oleh imam tradisional atau dukun (Ere) pada saat ia menyampaikan permohonan atau puji-pujian kepada dewa yang diucapkan dalam bentuk syair (Hoho) dengan iringan bunyi alat musik ini. Sekarang hanya digunakan sebagai alat musik saja. Terbuat dari pohon nibung yang telah dilubangi dengan cara mengeruk daging hingga tembus dari kedua sisi. Pada salah satu ujung yang memiliki diameter lingkaran yang lebih besar ditutup dengan kulit kambing atau kulit ular, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Panjang 73 cm dengan diameter 23,3 cm.
52

No. Reg. : 03-0115
Nama / Name
Nias : Takula
Indonesia :
English : Wooden Headgear
Asal / Origin : Maenamölö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This was worn by traditional priest or shaman (Ere) in renewal and ratifying of law rite ceremony called fondrakö. This headgear symbolized the new face or new spirit of human being that could integrate the mankind with the creator (God).
Takula ini dibuat dari bahan kayu dengan tinggi 134 cm. Bentuknya seperti topeng manusia, mempunyai dua tanduk berbentuk ‘V’ di atas kepalanya. Ini dipakai oleh pemuka agama kuno atau imam tradisional (Ere) pada puncak upacara pembaharuan hukum dan pengesahan hukum yang disebut Fondrakö. Takula ini melambangkan wajah atau jiwa manusia yang baru, sehingga dipandang dapat bertindak sebagai penghubung (mediator) antara manusia dengan penciptanya.
53

Nomor Inventaris : 03-3374
Nama / Name
Nias : Adu Harimao
Indonesia : Patung Harimau
English : Tiger figure
Asal / Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
In ancient time, according to Nias belief in Maenamölö region Southern Nias, sort of this statue was marched by many people and constituted a sacred rite once every seven or fourteen years. It’s thrown away in the river. They believed that all sins and violence they committed during the previous years would wash away together with tiger figure.
Pada zaman dahulu sebelum agama baru masuk, menurut kepercayaan masyarakat Nias di wilayah Maenamölö, Nias Selatan, patung seperti ini diusung dan diarak sekali setiap tujuh tahun sebagai salah satu upacara religi kuno yang sakral. Upacara tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao.’ Setelah patung tersebut diarak, kemudian dipatahkan dan dibuang ke dalam sungai atau air terjun dengan keyakinan bahwa segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat pada tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung harimau tersebut. Famatö Harimao (pematahan patung harimau), tidak ada hubungannya dengan hewan harimau yang sesungguhnya tidak terdapat di Nias. Patung yang diarak pada zaman dahulu tidak seperti ini. Namanya Adu Harimao, tetapi anatominya seperti bentuk anjing berkepala kucing. Pada penutupan (akhir) upacara Famatö Harimao, hukum dan peraturan kemasyarakatan juga ditetapkan dan disyahkan layaknya seperti dalam Fondrakö (upacara pembaharuan, penetapan dan pengesahan hukum).
Karena dewasa ini, masyarakat telah memiliki agama dan hukum yang baru, maka upacara Famatö Harimao tidak dilaksanakan lagi. Dalam usaha pelestarian dan revitalisasi budaya lokal, maka tradisi kuno ini sering dilakukan di Nias Selatan pada moment-moment tertentu, namun upacara ini bukan lagi ‘Famatö Harimao’ namanya tetapi diubah menjadi ‘Famadaya Harimao’ (perarakan patung harimau).
54

No. Reg. : 03-3461
Nama / Name
Nias : Adu Sarambia
Indonesia :
English : A mother figure with her descendent
Asal / Origin : Telukdalam, Nias Selatan
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
A mother figure with her descendent is made for a mother who had completely held her feast of merit (fa’ulu/owasa) in her lifetime. It was made after the mother passed away.
Patung seorang ibu bersama keturunannya yang terbuat dari kayu. Adu Sarambia dibuat untuk seorang ibu yang telah melakukan segala proses adat dalam bentuk pesta (Fa’ulu/owasa) dalam hidupnya. Tangannya terentang seolah-seolah sedang menari dengan mengenakan busana tradisional untuk menyambut para tamu yang menghadiri pesta. Pada lengan kanannya ada pundi-pundi tempat sirih (Bola Nafo).
55

Nomor Inventaris : 03-2992
Nama / Name
Nias : Adu Nina
Indonesia : Patung Leluhur
English : A mother figure
Asal / Origin :
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This statue is called Adu Nina or Adu Zatua, which was made of wood. Adu Nina used to be made after a mother passed away instead of the real mother. Her children believed that the spirit of their mother still stayed inside the wooden idol.
Patung ini disebut Adu Nina atau Adu Zatua yang dibuat dari kayu. Adu Nina dibuat setelah seorang ibu meninggal dunia sebagai pengganti dirinya. Anak-anaknya percaya bahwa arwah ibu mereka masih tinggal di dalam patung tersebut, sehingga kalau mereka hendak memohon sesuatu, mereka datang kepada patung ibu dengan membawa sesajen. Tinggi 38,4 cm dengan tebal 4,7 cm.
56

Nomor Inventaris : 03-2994
Nama / Name
Nias : Adu Nama
Indonesia : Patung Leluhur
English : Ancestor’s figure
Asal / Origin : Hilinakhe, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This statue is called Adu Nama or Adu Zatua, which was made of wood. Adu Nama used to be made after a father passed away instead of the real father. His children believed that the spirit of their father still stay inside the wooden statue.
Patung ini disebut Adu Nama atau Adu Zatua yang dibuat dari kayu. Adu Nama dibuat setelah seorang ayah meninggal dunia sebagai pengganti dirinya. Anak-anaknya percaya bahwa arwah ayah mereka masih tinggal di dalam patung tersebut, sehingga kalau mereka memohon sesuatu, mereka datang menyembah Adu Nama dengan membawa sesajen. Tinggi 35 cm dan tebal 9 cm.
57

Nomor Inventaris : 03-2787
Nama / Name
Nias : Adu Furugö
Indonesia :
English :
Asal / Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
Wooden ancestor figure of some lineage.
Patung leluhur dari beberapa keturunan. Terbuat dari kayu. Lebar 27,7 cm dan tinggi 111,2 cm.
58

Nomor Inventaris : 03-2748
Nama / Name
Nias : Adu Siraha
Indonesia : Patung Siraha
English : Siraha Figure
Asal / Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This is made of wood. It’s idolized and was believed could prevent disaster.
Patung ini asli, terbuat dari kayu. Disembah dan dipercayai dapat menolak bala. Lebar 7,7 cm, tinggi 45 cm dan tebal 5,1 cm.
59
Nomor Inventaris : 03-02375
Nama / Name
Nias : Adu Siraha Horö
Indonesia : Patung Siraha Horö
English : Siraha Horö Figure
Asal / Origin : Bawòmataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This statue was original and was made for religious purpose. The other use of this figure was for apologizing as ancestors made a blunder such as: cutting off human head. As they came back from head hunting, they used to apologize to Adu Siraha Horö before staying with their family. They did this to avoid disaster.
Patung ini dibuat untuk tujuan ritual. Biasanya terbuat dari kayu Manawa Danö, Manawa Mbanua atau Ma’usö. Tinggi 151,9 cm dengan tebal 9.0 cm. Kegunaan dari patung ini yaitu: Sebelum para leluhur pergi berburu kepala manusia, mereka meminta restu dari patung ini sambil memukul Fondrahi (tambur) dan mengatakan:
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga bergemuruh,
Ya’oto ono la’i,
Aku anak yang satria,
Ya’oto simacua,
Aku pria perkasa,
Möi ndraga ba danö,
Kami akan pergi ke medan perang,
Möi ndraga mamunu niha,
Kami akan pergi membunuh orang,
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga bergemuruh,
Ombakha’ö na te’ala,
Beritahukanlah kalau kalah,
Ombakha’ö göi na möna.
Beritahukan juga kalau menang.
Juga diberhalakan untuk memohon penga-mpunan jika mereka telah melakukan kesalahan yang sangat besar seperti membunuh orang pada saat berperang atau pada saat mereka baru pulang dari perburuan kepala manuasia. Mereka harus terlebih dahulu menghadap Adu Siraha Horö untuk memohon pengampunan sebelum bergabung dengan keluarga. Tujuannya untuk menghindari bencana.
Dalam ritus ini yang bersangkutan menyandarkan tubuhnya pada patung Siraha Horö sambil mengatakan ‘Ohe khöu horögu!’ (Bawalah untukmu dosa-dosaku). Tradisi ini sudah tidak dipraktekkan lagi sejak agama baru masuk di Nias.
60

Nomor Inventaris : 04-0187
Nama / Name
Nias : Adu Lawölö
Indonesia : Patung Lawölö
English : Protective figure
Asal / Origin : Hililaora, Lahusa
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Adu Lawölö was normally made of wood or stone. The stone Protective Figure was put in front of house, whereas wooden Protective Figure was placed in the house. The protection and power were asked from this statue if the enemies came. Adu Lawölö is also called Adu Nama (father figure).
Patung Lawölö biasanya dibuat dari batu atau dari kayu. Patung Lawölö dari batu diletakkan di pekarangan rumah, halaman kampung (ewali) atau di gerbang masuk desa (Bawagöli) sehingga disebut juga Lawölö Mbanua, sedangkan yang dibuat dari kayu diletakkan di dalam rumah. Kepada patung ini diminta perlindungan, pertahanan dan kekuatan bila ada musuh (Emali) kampung. Patung Lawölö juga sering disebut Adu Nama (patung ayah).

Wahana Religi (2)
Budaya, Museum
Ornamen
Pusaka yang paling dikenal di Nias adalah rumah-rumah tradisional yang terdiri atas beberapa tipe antara lain:
1. tipe rumah tradisional Nias Selatan yaitu: Omo Nifolasara, Omo Tuho dan Omo Sala;
2. tipe rumah tradisional Nias Tengah, meliputi semua jenis rumah tradisional di wilayah Gomo hingga perbatasan Lölöwa’u;
3. tipe rumah tradisional Idanögawo;
4. tipe rumah tradisional Nias Utara dan Barat, yaitu Omo Laraga;
Pada rumah-rumah tersebut diukir berbagai ornamen yang biasanya diadopsi dari flora dan fauna yang ada di sekitar mereka. Keadaan alam dengan berbagai gejalanya menjadi sumber inspirasi kreativitas. Beberapa jenis fauna yang sering diukir atau di pahat sebagai ornamen dan sekaligus menjadi simbol dengan makna implisit berupa pesan moral dan ekspresi jiwa serta perasaan pemilik dan pembuat, misalnya: buaya, monyet, beberapa jenis burung (enggang, elang dll.), ikan, ular, monster (Lasara), ayam jago, rusa, cicak, dan sebagainya. Sedangkan yang diadopsi dari jenis flora misalnya: pohon Fösi, Nandrulo, Endruo, pohon Tori’i-Tora’a (sejenis pohon yang berhubungan dengan mitos-mitos asal-usul masyarakat Nias), pakis (Wöli-wöli) dll. Ukiran-ukiran itu dikombinasikan dengan manusia yang mengenakan pakaian dan berbagai bentuk perhiasan. Ada juga ornamen lain yang sering dijumpai yaitu ‘Ni’ogolilimo’ sejenis lingkaran dengan pola bintang (mata angin) di tengahnya dalam bentuk daun-daun sehingga kelihatannya seperti belahan jeruk yang dipotong pada pertengahannya.
Selain flora dan fauna sebagai sumber inspirasi, mereka juga mengukir (memahat) sesuatu berdasarkan pengalaman dan penglihatan aneh mereka setiap hari, seperti yang sering diukir pada Balö Hulu dan Hagu Laso di dalam rumah tradisional. Selain pada rumah-rumah tradisional, ornamen tersebut juga sering dipahat pada batu megalit, bahkan juga pada peralatan sehari-hari, misalnya pada peralatan pertanian dan rumah tangga.
61

Nomor Inventaris : 03-2875
Nama / Name
Nias : Adu mbinu
Indonesia : Patung kepala manusia
English : Cut off human head
Asal / Origin : Hili’otalua, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
A cut off human head that depicts an ancient tradition of people in some areas in Nias. It is not applied anymore.
Patung kepala manusia yang dibuat dari kayu. Patung tersebut menggambarkan tradisi kuno yang dulu dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Nias yaitu berburu kepala manusia (Mangai Högö, Binu). Cara memenggal kepala manusia seperti yang terlihat pada patung tersebut. Tradisi ini telah lama ditinggalkan terlebih setelah agama baru masuk di Nias dan setelah Indonesia merdeka ditambah lagi dengan adanya kesadaran karena kemajuan pendidikan. Panjang 74,5 cm dan tinggi 11,3 cm.
62

Nomor Inventaris : 03-0765
Nama / Name
Nias : Hagu laso
Indonesia : Relief
English : Relief of wooden carving
Asal / Origin : Onohondrö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
Relief of wooden carving on the wall of Southern Nias traditional house.
Papan dinding rumah tradisional Nias Selatan yang telah diukir dengan berbagai ornamen ciri khas Nias.
63

Nomor Inventaris : 83-0267
Nama / Name
Nias : Balö Hulu
Indonesia : Relief
English : Relief of wooden carving
Asal / Origin : Gomo
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A relief of wooden carving in traditional house of Gomo. By such carving, the owner expresses something to the community particularly for visitors.
Ukiran dalam rumah tradisional dengan posisi menghadap ke bawah seolah-olah sedang terbang. Biasanya, di atas Balö Hulu diletakkan patung orang tua (Adu Zatua). Melalui ukiran semacam ini, pemilik rumah mengekspresikan berbagai hal kepada masyarakat terutama kepada tamu berdasarkan simbol (lambang). Pemilik rumah juga meyakini bahwa dengan adanya ukiran tersebut mereka dapat mengetahui sesuatu yang belum terjadi melalui firasat yang muncul dari kekuatan berbagai ukiran yang ada pada Balö Hulu.
64

Nomor Inventaris : 03-2088
Nama / Name
Nias : Ora Vo
Indonesia : Tangga
English : Wooden ladder
Asal / Origin : Lawindra, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A wooden ladder to go up to rafter above the hearth in southern traditional houses.
Tangga kayu untuk naik ke kasau yang berada di atas dapur rumah tradisional Nias Selatan. Pada setiap jenjang ada ukiran manusia dan ornamen lainnya. Lebar 12,5 cm, tinggi 153,8 cm dan tebal 3,0 cm.

Sistem Adat Perkawinan Nias Tanoniha

Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?

Pengantar
Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Tetapi Böwö ini telah melahirkan problem baru yang tidak selalu disadari oleh masyarakat Nias sendiri. Keganjilan penerapan Böwö ini juga dirasakan oleh mereka yang pernah tinggal (berkunjung) di Pulau Nias. Dan tidak heran jika kebanyakan orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karenanya ketika mereka mau (baca: akan) menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan. Dan, tentu hal ini adalah kesan buruk! Ada apa dengan sistem adat perkawinan Nias? Yang salah “sistemnya” atau “masyarakat
Niasnya”?
Arti Böwö
Etimologi böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan, entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga, dsb., lalu kita beri fegero kepada tetangga kita (makanan, baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat hajatan itu kita beri juga kepada tetangga kita secara cuma-cuma). Ini adalah aktualisasi kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di sekitar kita, juga untuk mempererat persaudaraan. Oleh karenanya tak heran jika masyarakat Nias menyebut orang yang ringan tangan sebagai niha soböwö sibai. Jadi, arti sejati böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian orangtua kepada anaknya!
Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Indikasi pengomersialan böwö sebenarnya gampang kita lihat. Misalnya, istilah böwö bergeser menjadi gogoila (goi-goila: ketentuan). Malah kata gogoila yang lebih familiar dikalangan tokoh adat Nias saat ini. Untuk mencapai “ketentuan” tentu ditempuh cara “musyawarah”(yang dimediasi oleh siso bahuhuo) dan sepengetahuan saya, dalam musyawah itu terjadi “tawar-menawar” berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak mempelai laki-laki. Jadi, böwö semakin direduksi maknanya: lebih dekat pada konotasi ekonomis (ibarat aktivitas jual-beli) dan bukan pada konotasi budaya. Dan saya percaya, jika pernyataan ini kita lemparkan ke orangtua kita atau ke “orang zaman dahulu”, pasti salah satu jawabannya adalah: da’ana hada Nono Niha (ini adalah adat Nias). Pernyataan semacam itu tentu mengokohkan dimensi statis budaya Nias juga mereduksi nilai-nilai sakral budaya Nias! Padahal seharusnya, budaya itu dinamis sesuai perkembangan zaman. Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk adat. Ariflah menerapkan adat yang tidak membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal. Mengapa? Karena sistem perekonomian Nias masih barter. Artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu di-uangkan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah (misalnya, seekor babi yang diameternya 8 alisi harganya bisa mencapai Rp 900. 000 - Rp 1 Juta).
Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda bayangkan berapa juta. Belum lagi beras, dan emas (balaki, firö famokai danga, misalnya). Padahal mencari uang di Nias sangat susah. Mata pencaharian mayoritas masyarakat Nias adalah bersawah/berladang dan menyadap karet (dari pohon havea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya dikelola dengan baik: ada irigasi, lengkap pestisida pembasmi hama padi. Setahu saya, rata-rata sawah di Nias tidak ada irigasi yang dibangun oleh pemerintah atau yang dibangun oleh swasta. Pengairan sawah di Nias cuma mengandalkan hujan! Sedangkan menyadap karet, juga ada masalah. Karet bisa diharapkan menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba kita bayangkan jika musim hujan, mau makan apa masyarakat Nias? Singkatnya, mengumpulkan dan mencari uang di Nias yang puluhan juta, bisa bertahun-tahun.
Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor bawi wangowalu (babi pernikahan), seekor babi khusus untuk fabanuasa (babi yang disembelih untuk dibagikan ke warga kampung dari pihak mempelai perempuan) , seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki), dan masih banyak lagi babi-babi yang disembelih.
Selain yang disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö“. Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan), seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor untuk “sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk “mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan, biasanya babi ini di-uang-kan dan uang itu dibagikan kepada masyarakat kampung), seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan), seekor untuk balö ndela yang diberikan kepada siso bahuhuo, dsb (dan jika pas hari “H” perkawinan, ibu atau ayah atau paman, atau sirege dari pihak saudara perempuan menghadiri pesta perkawinan, maka mereka-mereka ini juga harus difolaya, biasanya seekor hingga tiga ekor babi). Dan masih ada pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a (ritual memberi berlian atau emas), berupa famokai danga kepada nenek dan ibu mempelai perempuan; juga fame’e laeduru ana’a khö ni’owalu (pemberian cincin kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas). Singkatnya, jika adat itu diterapkan pada zaman sekarang, maka Anda harus menyediakan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah hanya untuk membeli babi dan emas belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Kalau kita melihat uraian di atas, böwö itu dibagi-bagi. Dan, kadangkala dalam pembagian semacam ini muncul berbagai macam perseteruan, permasalahan.
Akibat Böwö yang Mahal
a. Akibat Negatif
Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya böwö di Nias. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar dan alami (terutama di Kecamatan Mandrehe).
Pertama, akibat negatif dari böwö yang mahal adalah kemiskinan dan pemiskinan. Alasannya boleh dilihat dalam uraian akibat negatif berikutnya.
Kedua, akibat mahalnya böwö, orangtua si anak bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anaknya, tapi mereka bekerja untuk membayar utangnya, membayar böwö yang dibebankan kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum sempat terbayarkan oleh orangtua si anak mesti si anak harus bersedia membayarnya. Mahalnya böwö semakin diperparah sejak masyarakat Nias mengenal uang, karena böwö juga diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi nilai böwö yang harus ia bayar, tidak ada pilihan lain baginya selain meminjam. Anda tahu yang namanya pinjaman pasti ada bunganya perbulan. Dan, lingkaran semacam inilah yang menyebabkan banyak keluarga Nias hanya bekerja untuk membayar bunga utangnya.
Ketiga, mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang berani melakukan pembunuhan hanya karena tidak dibayarkan kepadanya böwö yang sudah dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat fatal dari böwö yang mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani menghabiskan nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh memilukan sekaligus memalukan.
Keempat, akibat keempat ini masih ada kaitannya dengan akibat kedua di atas tadi. Kerapkali mempelai laki-laki jika menikah, apalagi dari keluarga yang pas-pasan (tidak mampu), terpaksa menjual tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam sejumlah uang atau menyusun kongsi (kalau di Mandrehe, pas acara femanga ladegö, pihak dari mempelai laki-laki mengajak semua pihak untuk membantunya dan pada saat itu babi mesti disembelih sebagai tanda pemberitahuan kepada orang-orang yang akan menolongnya/yang mau memberikan kongsi). Jangan salah, jika meminjam uang, bunga bukan main bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini. Masyarakat Nias seolah melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau seperti seorang yang menggali lobang, ia sendiri yang jatuh ke dalamnya. Coba kita bayangkan, tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di mana keluarga baru ini mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari? Mungkin ada yang masih rendah hati : menjadi kuli kepada orang lain. Dan, hal ini adalah «perbudakan» yang disengaja, yang kita buat sendiri walaupun sebenarnya bisa kita hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak menerapkan sistem böwö yang mahal.
Kelima, jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang» sudah bisa dipastikan bahwa para orangtua tidak mungkin bisa menyekolahkan anaknya. Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi, berkembang, dinamis jika terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena böwö yang mahal itu. Melihat penerapan böwö yang tidak menguntungkan itu, sebaiknya para orangtua yang berasal dari Nias (apalagi mereka yang masih menerapkan böwö yang mahal) mesti menyadari apa tugas pokok jika sudah membentuk keluarga. Selain itu, mesti disadari: apa arti böwö yang sebenarnya. Saya rasa ada benarnya jika böwö adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Nias secara turun-temurun. Boro-boro si orangtua menyekolahkan anaknya, utang böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi kendala bagi orang Nias sendiri untuk mencetak generasi penerus yang berpendidikan. Dan, jika demikian, jangan kaget jika berapa puluh tahun lagi Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber daya manusianya.
Keenam, apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti tidak. Bagaimana suasana hati Anda jika memiliki utang? Pasti tidak tenteram, apalagi kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman. Jika demikian, orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam dalam kegelapan, bukan lagi kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö). Ketidak-tenteraman hati seperti ini bisa merembes ke sasaran lain: suami-istri sering bertengkar, suami menyalahkan istrinya yang memang pihak penuntut böwö; orangtua dan anak saling bertengkar, berkelahi; orangtua sering memarahi anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga di Nias yang “makanan” sehari-harinya adalah “broken home”, perseteruan. Lalu kapan sebuah keluarga mempraktekkan cinta sebagai suami-istri, jika situasinya seperti ini? Marilah kita menjawabnya sendiri-sendiri!
Ketujuh, böwö identik dengan pemberian sejumlah harta benda, sejumlah uang, sejumlah babi yang harus ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki. Nah, jika demikian, apa bedanya sistem böwö Nias ini dengan perdagangan perempuan dan perdagangan anak? Menurut saya, jika para orangtua memiliki motif bahwa böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya, maka pada saat itu mereka termasuk dalam lingkaran perdagangan anak mereka sendiri. Dan hal ini bertentangan dengan hak azasi manusia! Tendensi perdagangan anak dalam system perkawinan Nias sebenarnya sudah mulai kelihatan. Misalnya, mempelai perempuan sering disebut sebagai böli gana’a (pengganti emas). Jadi seolah-olah perempuan itu sama dengan barang!
b. Akibat Positif
Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu mengumpulkan semua kerabatnya (seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya, bahu-membahu menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.
Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan, menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö) dan mendapat rezeki.
Kedua, fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini bisa jadi menumbuhkan kesadaran akan “tanggung jawab” yang sejati dari para fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabö’ösa, fadonosa atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Dalam sistem adat Nias (khususnya di Mandrehe) mempelai laki-laki memiliki kewajiban untuk selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara mempelai perempuan (saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o). Misalnya, jika salah seorang saudara dari mempelai perempuan menikah, si mempelai laki-laki mesti membantunya. Di satu sisi ini baik. Tetapi di sisi lain, hal ini membebankan.
Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di Nias tidak mudah cerai (tetapi jangan-jangan karena orang Nias sendiri memang tidak biasa bercerai).
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.
Problem Solving
Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang perlu direfleksikan (baca: diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias, niha khöda.
Tesis Pertama, lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap diterapkan? Kalau menurut saya secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias. Ritual dalam arti: penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada ibu mertua, kepada nenek, kepada penatua adat, dst.. Jadi, dimensi kultik dan etis budaya Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, malah seharusnya kita dilestarikan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.), fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini justru tarian maena semakin hari semakin tidak dikenal lagi oleh generasi muda Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu tarian rakyat Nias yang kalau dilestarikan secara benar menjadi ciri khas dan kebanggaan Nias.
Setiap orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun, jika para orangtua Nias belum menyadari bahwa böwö itu sangat membebankan maka saya kurang tahu sampai kapan masyarakat Nias akan menyadari bahwa pola pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke lembah kemiskinan. Pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu diperebutkan antara pihak paman, talifuso, dan juga so’ono (dari pihak saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironisnya (masih terjadi) babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial bung dan apa bedanya dengan “perdagangan anak”? ini bukan melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman dahulu kala (dan mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).
Tesis kedua, setiap orangtua yang berpendidikan mencoba menjadi pilar untuk mengubah tradisi Nias yang justru membebankan. Mula-mula para orangtua itu mesti melakukan penyuluhan kepada anaknya dan oleh karena itu juga jangan mereka terapkan böwö yang mahal kepada anak mereka sendiri. Tidak selamanya bahwa budaya itu positif dan manusiawi. Misalnya, budaya orang-orang Eskimo yang menyembelih orangtua mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan mereka ini memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua mereka dari penyakit tua yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan tindakan itu adalah salah satu bentuk perwujudan penghormatan kepada orangtua. Budaya Mangayau di Kalimantan (tradisi memenggal kepala orang, dan ternyata hal ini terjadi di Nias pada zaman dahulu). Seperti kita tahu bahwa menghilangkan nyawa orang lain, bertentangan dengan hukum kodrat yang dikenal oleh orang Kristen, terutama dalam gagasan Santo Thomas Aquinas: Hukum kodrat adalah pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari Allah yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu adalah hak Allah.
Tesis ketiga, tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat Nias yang masih menerapkan böwö yang mahal. Sebagai orang Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada Pastor Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis, berkewarganegaraan Belanda), yang cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang Nias (terutama di Kecamatan Sirombu dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal tidak membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama Katolik yang cukup berhasil “menekan” jumlah besarnya böwö dengan cara-cara yang persuasif. Namun, perjuangan beliau bukan tanpa hambatan. Ada beberapa orang Nias yang pernah melontarkan kata-kata pedas, mencoba menentang kebijakan Pastor Mathias, sang pencinta Nias itu. Tetapi Pastor Mathias menanggapi dengan tindakan yang diwarnai kerendahan hati: ia tidak pernah berprasangka negatif (tidak su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar biasa!
Tesis keempat, Dinas Pendidikan Kabupaten Nias dan Nias Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana jika penyuluhan tentang böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau semacam pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak mandeg pada ke-statis-an melainkan berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu didelegasikan kepada para guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Semoga! (sumber: niasisland.com)

Sabtu, 01 Agustus 2009

Peralatan Tradisional Nias Tanoniha

Peralatan Tradisional Nias Tanoniha

Peralatan Rumah Tangga dan Pertanian
Masyarakat tradisional Nias dalam memper-tahankan hidup, bergantung pada alam dengan bercocok tanam secara berpindah-pindah. Lahan-lahan pertanian dibuka dan dikerjakan dengan peralatan yang sangat sederhana. Setelah hasil kebun dipanen dan tanah tidak produktif lagi, mereka pindah membuka lahan baru.
Ketergantungan pada alam dan kekuatan sendiri sangat dominan dalam masyarakat tradisional Nias. Berbagai peralatan rumah tangga dan pertanian dibuat sendiri dengan menggunakan bahan-bahan yang sangat sederhana. Peralatan ini digunakan bukan sekedar sebagai peralatan sehari-hari, tetapi juga merupakan sarana ekspresi seni pada zaman itu. Alat-alat rumah tangga dan pertanian merupakan hasil perpaduan antara daya kreativitas dan kesenian khas yang tinggi. Ukiran-ukiran yang terdapat pada peralatan tersebut menunjukkan, bahwa para leluhur memiliki darah seni dan mencintai keindahan, karena itu mereka menciptakan sesuatu yang artistik.
Daya kreasi dan kesenian masyarakat yang disebut kuno, sebenarnya tidak pantas disebut kuno, karena apa yang telah mereka hasilkan dengan peralatan yang sangat sederhana kurang mampu direproduksi oleh generasi baru yang merasa diri mereka telah meraih kemajuan. Daya kreasi dan kesenian yang cukup tinggi telah dimatikan oleh peralatan hasil teknologi canggih yang hanya menciptakan masyarakat yang konsumtif yang cenderung malas berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru secara alami.

8
Nomor Inventaris : 03-1247
Nama / Name
Nias : Fuyu
Indonesia : –
English : –
Asal / Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A tool for making fire. Made of two pieces of wood.
Fuyu adalah alat untuk menghasilkan api dari bahan kayu. Terdiri atas dua bagian. Bagian bawah sebagai alas, telah dilubangi sedikit. Pada bagian yang telah dilubangi, diletakkan pangkal sepotong kayu bulat dalam posisi berdiri. Bagian atas ditekan dengan tempurung kelapa, lalu diputar dengan menggunakan tali yang telah dililit pada pertengahan kayu bulat tadi. Pergesekkan bagian bawah dan atas, menghasilkan bunga api. Di sekelilingnya diletakkan serbuk kayu yang berbara. Serbuk itu, kemudian dituang ke lantai dan diletakan ‘Rabo’ (serabut tumbuhan yang sudah dikeringkan atau sesuatu yang cepat terbakar) di atasnya, lalu dihembus supaya bernyala. Panjang 25,7 cm dengan tebal 6,9 cm.

9
Nomor Inventaris : 03-0703
Nama / Name
Nias : Töri / Hambo
Indonesia : Kipas
English : Fan
Asal / Origin : Hililaora, Lahusa
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description:
A manual fan for ejecting the empty grain.
Kipas yang terbuat dari kayu ringan yang telah ditipiskan dan berbentuk bulat, dipergunakan untuk mengipas padi yang dijemur agar gabah yang kosong bisa tersingkir dari gabah yang berisi. Pada pinggirnya telah dibuat pegangan. Tebal 59 cm dengan diameter 35 cm.

10
Nomor Inventaris : 03-0679
Nama / Name
Nias : Kisa
Indonesia : Gilingan padi
English : Rice mill
Asal / Origin : Gunungsitoli
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Wooden rice mill.
Kisa merupakan salah satu alat untuk menggiling padi, fungsinya sama dengan lesung dan alu. Dibuat dari kayu bulat. Terdiri atas dua bagian, yaitu bagian atas sebagai penggiling, di bagian tengah dibuat lubang seperti lesung hingga tembus ke bawah sebagai tempat sumbu/poros. Bagian bawah berbentuk cekung dan pada salah satu sisi dibuat pegangan untuk memutar.
Bagian kedua sebagai landasan bagian atas. Bentuknya seperti kerucut dan beralur-alur ke samping, sehingga jika bagian atas diputar maka kulit padi yang ada di dalamnya akan terkelupas dan keluar melalui alur. Pada bagian bawah dibuat kaki sebagai penahan agar tidak goyang pada waktu digunakan. Tinggi 52, 7 cm.

11
Nomor Inventaris : 03-1296
Nama / Name
Nias : Lösu
Indonesia : Lesung
English : Rice Mortar
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description:
A wooden coaster in pounding rice with a wooden pounder.
Alas untuk menumbuk padi dengan alu. Dibuat dari kayu yang telah dilubangi pada pertengahannya, berbentuk cekung, namun tidak tembus sampai ke bawah sebagai tempat gabah yang hendak dijadikan beras. Kemudian ditumbuk dengan alu kayu. Panjang 40,5 cm, lebar 28 cm dan tinggi 30,5 cm.

12
Nomor Inventaris : 03-2669
Nama / Name
Nias : Halu
Indonesia : Alu
English : Rice Pounder
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A wooden rod to pound rice on the wooden mortar.
Kayu batangan yang bulat untuk menumbuk padi di dalam lesung. Karena sering dipakai, maka kedua ujungnya terbentuk menjadi setengah bulatan. Panjang 140,5 cm.

13
Nomor Inventaris : 03-2723
Nama / Name
Nias : Niru
Indonesia : Nyiru
English : –
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description:
This is used to winnow rice, nut, etc.
Dipergunakan untuk menampi beras, kacang dsb. Dianyam dari rotan yang telah terlebih dahulu dibelah-belah menjadi 0,5 cm. Di sekeliling pinggirnya telah dililit dengan rotan bulat supaya kuat dan dapat dipegang. Panjang 71,5 cm.

14
Nomor Inventaris : 03-1276
Nama / Name
Nias : Nali
Indonesia: Takaran
English : Measurement
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Measurement of rice, grain and nut. It contains 375 gram of rice.
Takaran beras, gabah, dan kacang. Dibuat dari tumbuhan jalar ‘Tutura atau Tura-tura.’ Volumenya: 375 gr beras. Tinggi 9,8 cm dengan diameter 9,7 cm.

15
Nomor Inventaris : 03-1848
Nama / Name
Nias : Kata
Indonesia : Takaran
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Measurement of rice grain and nut. It contains 500 gram of rice.
Takaran beras, gabah dan kacang. Volumenya: 500 gram beras. Dibuat dari batang kayu yang telah dikeruk bagian dalam pertengahannya hingga berbentuk cangkir dengan tinggi 10,4 cm dan diameter 10,85 cm.

16
Nomor Inventaris : 03-0706
Nama / Name
Nias : Hinaoya
Indonesia : Takaran
English : Measurement
Asal / Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Measurement of rice, grain and nut. It contains 750 gram of rice.
Takaran beras, gabah, dan kacang. Volumenya: 750 gram beras. Dibuat dari ruas bambu dengan berbagai ukiran di sekelilingnya. Tinggi 16,8 cm dengan diameter 11 cm.

17
Nomor Inventaris : 03-2235
Nama / Name
Nias : Tumba
Indonesia : Takaran
English : Measurement
Asal / Origin : Tetehösi, Idanögawo
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Measurement of rice, grain and nut. It contains 1500 gram of rice.
Takaran beras, gabah, dan kacang. Dibuat dari kayu yang telah dikeruk bagian dalam pertengahannya hingga berbentuk liter. Pada pinggirnya telah dibuat pegangan. Volumenya: 1500 gram beras. Tinggi 15,5 cm, dengan diameter 16,7 cm.

18
Nomor Inventaris : 03-2077
Nama / Name
Nias : Lauru
Indonesia : Takaran
English : Measurement
Asal / Origin : Sohaya-Lazagadolu,
Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Measurement of rice, grain and nut. It contains 7500 gram of rice.
Takaran beras, gabah dan kacang. Dianyam dari batang tumbuhan jalar ‘Tutura atau Tura-tura.’ Volumenya: 7500 gram beras. Tinggi 24,2 cm dengan diameter lingkaran 28,1 cm.

19
Nomor Inventaris : 03-0132
Nama / Name
Nias : Bowoa Wakhe
Indonesia : Gerabah
English : Pottery
Asal / Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A rice cooker which was made of clay and mixed with river’s sand.
Gerabah untuk memasak nasi. Terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan pasir halus dari sungai. Dibentuk dengan menggunakan sebuah batu bulat dan kayu sebagai palu pemukul. Setelah terbentuk, baru dibakar dalam api sabut kelapa yang sudah kering. Penggunaan periuk tanah ini sudah jarang dan diganti dengan alat-alat hasil teknologi modern. Tinggi 18,70 cm dengan diameter 30 cm.
20

Nomor Inventaris : 03-1133
Nama / Name
Nias : Bowoa Migö
Indonesia : Gerabah
English : Pottery
Asal / Origin : Hilizaria, Lölömatua
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description:
A jar for serving meal of courtesy.
Tempat daging babi yang hendak dibawa kepada orang yang dihormati, misalnya: orang tua (Sadono), paman (Sibaya), mertua (Matua) dsb. Terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan pasir halus dari sungai. Dibentuk dengan menggunakan satu batu bulat dan satu palu kayu sebagai pemukul. Setelah terbentuk baru dibakar dalam api sabut kelapa yang sudah kering. Tinggi 28,9 cm dengan lingkaran 31,85 cm.

21
Nomor Inventaris : 03-1115
Nama / Name
Nias : Gala
Indonesia : Baskom
English : Giant wooden bowl
Asal / Origin : Ambukha-Ulunoyo, Lölömatua
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A giant wooden bowl for refrigerating the coconut oil after moving from refining.
Tempat mendinginkan minyak kelapa yang baru dimasak dalam penyulingan. Dibuat dari kayu. Kadang kala dipakai juga sebagai tempat bahan makanan yang lain. Tinggi 12,5 cm dengan lingkaran 26 cm.

22
Nomor Inventaris : 03-0781
Nama / Name
Nias : Balelöha
Indonesia : Dulang
English : Wooden plate
Asal / Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A giant wooden plate for serving pork in big party.
Tempat daging babi pada pesta adat yang besar. Bentuknya seperti dulang. Tinggi 5,5 cm, panjang 69 cm dengan diameter 80 cm.

23
Nomor Inventaris : 03-0492
Nama / Name
Nias : Bakhölö Gowi
Indonesia : Baskom
English : Wooden mortar
Asal / Origin : Lahusa, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Wooden mortar for mashing sweet potatoes with a wooden pounder.
Baskom (Bakhölö) ini terbuat dari kayu yang sudah dikeruk permukaannya hingga menyerupai bentuk palungan. Dipergunakan sebagai tempat menumbuk ubi hingga halus dengan meng-gunakan penumbuk (Fanutu) dari bahan kayu seperti alu kecil. Panjang 33 cm, lebar 16,7 cm dan tinggi 15 cm.

24
Nomor Inventaris : 03-2522
Nama / Name
Nias : Cucu Gowi / Fanutu Gowi
Indonesia :
English : Pounder
Asal / Origin : Ambukha-Amorosa, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Wooden pounder for mashing sweet potatoes in a wooden mortar.
Fanutu ini dipergunakan untuk menumbuk ubi di dalam Bakhölö. Terbuat dari kayu bulat seperti alu kecil dengan panjang 40 cm.

25
Nomor Inventaris : 03-1900
Nama / Name
Nias : Sou-sou (To’ene asi: Koro-koro)
Indonesia : Gayung
English : Bailer
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A bailer for bailing water or soup out of a jar.
Sou-sou ini dipergunakan untuk menggayung air atau kuah dari periuk. Terbuat dari tempurung kelapa yang sudah dibersihkan dengan diameter 13,5 cm. Pada pinggirnya telah dilubangi sebagai tempat menyangkutkan kait kayu sebagai pegangan dengan panjang 46 cm.

26
Nomor Inventaris : 03-1683
Nama / Name
Nias : Töwa
Indonesia : Karung
English : Sack
Asal / Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A sack for standing crops.
Dianyam dari bahan serat kulit kayu (Houra). Dipergunakan sebagai tempat menyimpan hasil-hasil pertanian. Panjang 41,7 cm dan lebar 37 cm.

27
Nomor Inventaris : 03-2282
Nama / Name
Nias : Nöu/Söu Uli Zaku
Indonesia : Kerudung
English : Veil
Asal / Origin : Amorosa, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A veil that is often used by peasants as they work in garden to protect them from rain and sun burn.
Kerudung yang sering dipakai oleh para petani pada saat kerja di kebun untuk melindungi mereka dari hujan dan panas terik. Terbuat dari kulit pelepah rumbia. Tinggi 18,5 cm dengan lingkaran 60,5 cm.

28
Nomor Inventaris : 03-2146
Nama / Name
Nias : Ba’a Sebua
Indonesia : Lumbung
English : Wooden container
Asal / Origin : Buluko Satua, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A wooden mow for storing dried grain.
Tempat menyimpan gabah kering. Terbuat dari pohon kayu besar yang telah dikeruk bagian dalam pada pertengahannya. Tinggi 108 cm dengan diameter 29,5 cm.

29
Nomor Inventaris : 03-1423
Nama / Name
Nias : Ndraga
Indonesia : Keranjang
English : Basket
Asal / Origin : Hili’amaetaniha, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A bamboo basket for standing crops.
Tempat hasil-hasil pertanian yang terbuat dari bambu yang telah terlebih dahulu dibelah-belah, lalu dianyam. Para ibu selalu memikulnya setiap mereka pergi ke kebun. Tinggi 46 cm, lebar 22 cm dengan diameter 38,3 cm

30
Nomor Inventaris : 03-1032
Nama / Name
Nias : Tufo
Indonesia : Tikar
English : Mat
Asal / Origin : Tögizita, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A sleeping mat in stars and triangle pattern.
Terbuat dari daun pandan (Sinasa) yang terlebih dahulu dibelah-belah, direndam dalam air panas selama beberapa menit, kemudian direndam lagi dalam air dingin selama satu malam. Setelah dikeringkan baru dianyam. Dipergunakan sebagai alas tidur. Panjang 158 cm dan lebar 69,5 cm dengan corak Ni’ondröfi (seperti bintang) dan Ni’ohulayo (segi tiga).

31
Nomor Inventaris : 03-0149
Nama / Name
Nias : Ta’awa
Indonesia : Kendi
English : Goude
Asal / Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A jar for storing seeds of plant.
Tempat menyimpan bibit tanaman. Diambil dari kulit buah labu tua yang telah dikeringkan dan daging atau isinya dikeluarkan. Sekelilingnya telah dililit dengan rotan dan pada bagian bawahnya telah diikat lilitan bambu sebagai alasnya. Tinggi 30,4 cm dengan lingkaran 27 cm.
32
Nomor Inventaris : 03-0970
Nama / Name
Nias : Sa’era
Indonesia : Sarung piring
English :
Asal / Origin : Sohaya-Lazagadolu, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A vine case for storing porcelain plate.
Tempat menyimpan piring keramik. Dibuat dari batang tumbuhan jalar ‘Tutura atau Tura-tura’. Tinggi 29 cm dengan diameter 25,5 cm.

33
Nomor Inventaris : 08-0008
Nama / Name
Nias : Figa Zino
Indonesia : Piring
English : Porcelain
Asal / Origin : Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This was made in China and is used to serve a meal for courtesy.
Piring ini diperkirakan dibuat di China dan dipergunakan sebagai tempat menyajikan makanan penghormatan secara adat. Pada dasar piring terdapat cap ikan berwarna biru. Tinggi 4,30 cm, tebal 0,30 cm dengan diameter 26 cm.

34
Nomor Inventaris : 03-1274
Nama / Name
Nias : Boro
Indonesia : Bor kayu
English : Bore
Asal / Origin : Hilimaera, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Wood perforator.
Alat untuk mengebor kayu. Matanya terbuat dari besi (paku). Panjang 5,5 cm dengan lingkaran 17 cm.

35
Nomor Inventaris : 03-1232
Nama / Name
Nias : Rimbe
Indonesia :
English : Adz
Asal / Origin : Hare-hare, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A tool to chisel the inside part of wood.
Alat untuk mengeruk daging kayu. Matanya terbuat dari besi dengan posisi melengkung ke bawah dan salah satu sisinya ditajamkan. Panjang 54 cm, lebar 5,4 cm dan tebal 0,6 cm.

36
Nomor Inventaris : 03-1294
Nama / Name
Nias : Fato niha
Indonesia : Kapak
English : Axe
Asal / Origin : Lawa-lawaluo, Gomo
Deskripsi / Description :
For cutting and splitting a tree or wood.
Untuk memotong dan menebang pohon atau membelah kayu. Matanya terbuat dari besi dimana salah satu sisinya ditajamkan dan sisi yang lain ditancapkan pada sebatang kayu sebagai pegangan. Panjang 23,5 cm, lebar 7,0 cm dengan tebal 0,9 cm.

37
Nomor Inventaris : 03-1231
Nama / Name
Nias : Kakambana
Indonesia : Kumparan
English : Coil
Asal / Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This is made of wood and is used as yarn troll.
Terbuat dari kayu dan dipergunakan sebagai tempat penggulungan benang. Benang yang digulung di dalamnya dicelup ke dalam cat warna hitam yang dibuat dari bahan alami, kemudian diletakkan di atas kayu untuk mendapatkan bekas garis sebagai patokan pemotongan atau pembentukan. Biasanya dipakai oleh tukang kayu. Panjang 17 cm dan tinggi 5,3 cm.

38
Nomor Inventaris : 03-2210
Nama / Name
Nias : Bago Goholu / La’uma
Indonesia : Palu
English : Hammer
Asal/Origin : Ambukha, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A hammer for pounding the bark as cloth material.
Palu kayu yang dipakai untuk menumbuk serat kulit kayu sebagai bahan baju, cawat, dll. Panjang 35,9 cm dengan diameter 5,7 cm.

39
Nomor Inventaris : 03-1749
Nama / Name
Nias : Si’o
Indonesia : Tongkat
English : Stick
Asal/Origin : Buluko Satua, Nias Tengah.
Deskripsi / Description :
A rod that is used as stick and also as a rod to measure the length of a pig (Afore).
Tongkat ini terbuat dari batang rotan yang telah dibuat skala ukur tertentu sebagai patokan untuk mengukur besarnya babi. Pada ujung atasnya telah dilengkungkan sebagai pegangan jika digunakan sebagai tongkat (Si’o). Panjang 97,5 cm.

40
Nomor Inventaris : 03-2233
Nama / Name
Nias : Hie mbawi
Indonesia : Timbangan
English : Balance
Asal/Origin : Idanögawo
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A balance particularly for pork.
Timbangan daging babi. Terbuat dari kayu. Pada kedua sisinya telah digantung dua buah piringan kayu sebagai alas daging yang hendak ditimbang. Pada piringan yang satu diletakkan daging dan pada piringan yang lain diletakkan batu ukur (Batu hie) sebagai penyeimbang. Panjang 62,8 cm dan tinggi 14,5 cm.

41
Nomor Inventaris : 03-2397
Nama / Name
Nias: Hie mbago
Indonesia : Timbangan
English : Balance
Asal/Origin : Hilisatarö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A balance particularly for tobacco.
Timbangan khusus untuk tembakau yang terbuat dari kayu dan pada kedua ujungnya telah digantung dua buah tempurung kelapa sebagai alas tembakau yang hendak ditimbang. Panjang 27 cm dan tinggi 8,0 cm.

42
Nomor Inventaris : 03-3220
Nama / Name
Nias : Fole nafo
Indonesia : Gobek
English : Betelnut pounder
Asal/Origin : Hilinawalö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A tool that is used to pound betelnut by the old people, who have no teeth to chew up.
Alat yang dipergunakan oleh para orang tua yang sudah tidak mempunyai gigi untuk menumbuk sirih, pinang dan ramuan lain untuk membuat puan. Terdiri atas dua bagian. Bagian pertama sebagai penumbuk yang terbuat dari besi, sedangkan ujung atasnya sebagai pegangan terbuat dari gading. Bagian yang satu lagi sebagai alas menumbuk terbuat dari gading. Tinggi 13,5 cm dengan diameter 3,1 cm.

43
Nomor Inventaris : 03-1031
Nama / Name
Nias : Bola nafo
Indonesia : Pundi-pundi
English : A purse for betel nut
Asal/Origin : Hilizihönö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A purse for standing equipment and material of betel nut.
Tempat peralatan dan bahan sirih. Dibuat dari daun pandan (Sinasa) yang telah dibersihkan dan dibelah-belah. Kemudian direndam dalam air panas selama beberapa menit, lalu direndam lagi dalam air dingin selama satu malam. Setelah itu dijemur di bawah sinar matahari, baru dianyam. Tinggi 19,5 cm dan lebar 24,5 cm.

44
Nomor Inventaris : 03-0574
Nama / Name
Nias : Fandru Aramba si öfa talinga
Indonesia : Lampu
English : Lamp
Asal/Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Made of brass. Its fuel is coconut oil or grease of pork. Normally Found in royals’ houses.
Terbuat dari bahan kuningan. Mempunyai empat sumbu dengan posisi saling berseberangan dan bahan bakarnya adalah minyak kelapa atau minyak babi. Terdapat di rumah-rumah para bangsawan. Penutupnya berbentuk kepala dua ayam jago yang bertolak belakang. Dinamakan Fandru Aramba karena bahannya diambil dari pecahan-pecahan gong (Aramba) dari kuningan, kemudian dilebur dan dibentuk kembali menjadi lampu (Fandru). Lebar 11,2 cm, tinggi 11,5 cm dengan diameter 7,0 cm.

45
Nomor Inventaris : 03-1434
Nama / Name
Nias : Fondruru / Ambukha
Indonesia : Puputan
English : Bellows
Asal/Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A wooden bellows to flame fire as the smiths are forging metal.
Pompa angin untuk menyembur api pada saat para pandai besi menempa logam. Terbuat dari papan kayu persegi panjang. Panjang 60,7 cm, lebar 23 cm dan tinggi 19 cm.

46
Nomor Inventaris : 03-2371
Nama / Name
Nias : Folazi döwu
Indonesia : Pemeras Sari Tebu
English : Sugar cane press
Asal/Origin : Hililaora, Lahusa
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A sugar cane press that was made of wood. It’s also often used to press coconut juice. A female carving is often found on it, intending to get the more sugar cane or coconut juice.
Pemeras sari tebu yang terbuat dari kayu. Sering juga dipergunakan untuk memeras santan kelapa. Pada Folazi Döwu sering terdapat ukiran wanita, maksudnya supaya sari tebu atau santan kelapa bisa bertambah banyak seperti air susu ibu yang tak pernah berhenti selama menyusui. Pada pertengahannya telah dilubangi sebagai tempat sangkutan kayu pemeras tebu atau kelapa. Tinggi 120 cm.

47
Nomor Inventaris : 03-2534
Nama / Name
Nias : Fogao
Indonesia : Parutan
English : Scrapper
Asal/Origin : Solotu, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This is used for scrapping coconut.
Dipergunakan untuk memarut kelapa. Terbuat dari kayu, berkaki empat seperti bentuk monyet. Matanya terbuat dari besi. Panjang 41 cm dan tinggi 30,80 cm.

48
Nomor Inventaris : 03-0162
Nama / Name
Nias : Daro-daro salawa ahe
Indonesia : Bangku
English : A raised feet wooden seat.
Asal/Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Tempat duduk yang dibuat dari batang kayu bulat berbentuk piala. Tinggi 42 cm, tebal 3,3 cm dengan diameter 32,7 cm.

49
Nomor Inventaris : 03-0461
Nama / Name
Nias : Taböla / Tawöla
Indonesia : Peti
English : Treasure Chest
Asal/Origin : Orahili, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A container for storing finery and other costly things.
Peti untuk menyimpan perhiasan dan barang-barang berharga lainnya. Terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang. Panjang 62,5 cm, lebar 27,5 cm dan tinggi 31 cm.

50
Nomor Inventaris : 03-2440
Nama / Name
Nias : Bari gana’a
Indonesia : Peti
English : Treasure chest
Asal/Origin : Mandrehe
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A treasure chest for storing gold or the other costly things.
Kotak untuk menyimpan emas atau barang-barang berharga lainnnya. Terbuat dari kayu bulat yang telah dikeruk bagian dalamnya dan berbentuk tabung yang juga mempunyai penutup dari kayu. Tinggi 44 cm dengan diameter 35 cm

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe