Kamis, 31 Desember 2009

GERAKAN SADAR LINGKUNGAN

GERAKAN SADAR LINGKUNGAN

I. DIRUMAH

01. Mengusahakan sistem pengolahan sampah di rumah, dengan menyediakan tong-tong khusus untuk sampah kering maupun basah.
02. Jangan biarkan air kran terus mengalir selagi mencuci piring atau gosok gigi.
03. Waspadailah kebocoran dan segera menambalnya.
04. Gunakan “Shower” atau pancuran mandi dengan tombol aliran pelan, agar hemat.
05. Matikan lampu, kipas angin dan A.C. bila tidak digunakan.
06. Gunakan bola lampu pijar, yang terbaik adalah neon.
07. Kurangi penggunaan produk-produk yang sekali pakai langsung buang [seperti piring kertas, gelas plastik].
08. Gunakan kalender bekas untuk catatan atau sampul notes. Gunakan lagi kertas bekas bungkus kado dan pitanya.
09. Hindari penggunaan pestisida. Ini selain membunuh serangga, juga merusak pernafasan kita.
10. Carilah pembersih yang tidak beracun. Pembersih yang diperdagangkan banyak merusak lingkungan.
11. Siramkanlah air bilasan terakhir pada tanaman.

12. Hindarilah menyiram tanaman berumput pada siang hari, karena penguapan lebih banyak.
13. Potonglah rumput yang mulai panjang. Dalam musim kemarau biarkan potongan itu tinggal disitu, untuk menahan kelembaban dan sebagai pupuk.
14. Jangan menggunakan pelepasan balon-balon pada pesta, karena jika jatuh di laut/danau akan di sangka sebagai makanan oleh binatang air.
15.Anggaplah tanaman sebagai anugerah, karena menghisap CO dan mengeluarkan O .
16. Bila makan buah-buahan berbiji, kumpulkan biji itu dan tanamlah dalam persemaian, jika tak punya lahan untuk itu, sumbangkan kepada yang punya.
17. Buatlah hutan mini di rumah Anda, bila ada sedikit lahan.
18. Pembuatan lahan parkir hendaknya sedapat mungkin berupa rumputan atau blok-blok yang bisa disusupi rerumputan.
19. Membakar sampah hendaknya dihindari, khususnya untuk barang-barang plastik.
20. Pilihlah calon-calon pejabat pemerintah yang menyenangi lingkungan hidup.

II. SAAT BERBELANJA
21. pilihlah sistem pembungkus yang bisa di daur ulang. Lebih baik pembungkus dari gelas atau kertas daripada plastik yang sulit di daur ulang.
22. Hindari kemasan yang berlebihan. Jangan membeli daging atau sayuran yang dikemas dalam foam trays [gabus putih] atau plastik. Lebih baik membeli dalam kemasan besar daripada kemasan sekali makan.
23. Jangan membeli aerosol [penyemprot ruangan].
24. Jangan suka membeli barang-barang yang terbuat dari kerang, gading, kura-kura, kulit ular karena bisa memusnahkan species yang bersangkutan.
25. Gunakan tas yang bisa dipakai lagi kalau belanja. Tolaklah bungkus ekstra untuk barang-barang yang kita beli.

III. SAAT BEPERGIAN
26. Kurangi penggunaan kendaraan bensin/solar, dan perbanyaklah berjalan kaki atau bersepeda untuk jarak-jarak dekat.
27. Jagalah mesin mobil agar dalam kondisi dan kemampuan pembakaran yang baik.
28. Gantilah olie mesin dan bersihkan filter secara teratur.
29. Sedapat mungkin jangan gunakan bensin campur.
30. Hindarilah pengeluaran banyak gas dari mobil Anda.

IV. SAAT DI KANTOR
31. Sediakan di setiap pos kerja sebuah kotak pendaur ulang kertas bekas.
32. Pergunakanlah kedua sisi kertas bolak-balik.
33. Gunakan lagi amplop yang masih bisa dipakai.
34. Gunakan kertas daur ulang dan tanpa pemutih.
35. Tidak merokok di sembarang tempat.
36. Bentuklah “Panitia Lingkungan Hidup” di kantor Anda.
37. Tulislah surat kepada pejabat pemerintah untuk melaksanakan, mendukung dan memberlakukan hukum yang menantang untuk hidup sadar lingkungan.

Dipersembahkan oleh Serikat Puteri Kasih

Sr. Anna W. Soepraptiwi,DC
St Catherine's Provincial House
Temple Road
Dunardagh
BlackRock Co.
Dublin
IRELAND
Phone [353] 1. 288 2896
Mobile +353871411309
@ : annawdc@gmail.com

Kamis, 24 Desember 2009

Selamat Natal 25 Desember 2009 & Tahun Baru 1 Januari 2010

YAAHOWU FANUNUFANDRU 25-12-2009 BA DOFI SI BOHOU 1-1-2010
YA MUTOLO ITA AMA BA YA MUROROGO ITA BA NGAWALO HALOWODA, YAADUHU!
Semoga Terang Lilin Natal selalu Menyertai kita dalam menyonsong tahun yang baru

Selasa, 22 Desember 2009

Rahasia Hidup Beruntung

Professor Richard Wiseman dari University of Hertfordshire Inggris, mencoba meneliti hal-hal yang membedakan orang2 beruntung dengan yang sial. Wiseman merekrut sekelompok orang yang merasa hidupnya selalu untung, dan sekelompok lain yang hidupnya selalu sial-bermasalah. Memang Ternyata memang orang yang beruntung bertindak berbeda dengan mereka yang sial.

Berdasarkan hasil penelitian yang diklaimnya "scientific" ini, Wiseman menemukan 4 faktor yang membedakan mereka yang beruntung dari yang sial. Keempat faktor tersebut adalah:

1) Sikap Terhadap Peluang
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan? Ternyata orang-orang yg beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalam an baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Sebaliknya, kelompok Orang yang sial memiliki perasaan dan sikap yang lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan- kemungkinan baru. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan.

2) Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika.
Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan "hati nurani" (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari "good feeling". Yang barangkali sulit bagi orang yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur. Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam.

3) Selalu berharap kebaikan akan datang..
Orang yang beruntung ternyata selalu bersikap positif terhadap kehidupan. Berprasangka dengan optimis bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain.

4) Mengubah hal yang buruk menjadi baik
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tes nya Prof Wiseman meminta peserta untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Dan peserta diminta mengutarakan reaksi mereka. Reaksi orang dari kelompok sial umunya adalah: "wah sial bener ada di tengah2 perampokan begitu". Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: "untung saya ada disana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan dapet duit". Apapun situasinya orang yg beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan.

Jadi, menurut Profesor Richard Wiseman => rahasia orang yang berUntung adalah cukup sederhana. Dikatakannya, hampir semua orang normal juga bisa beruntung. Termasuk Anda. Apakah sudah Siap mulai menjadi si Untung?
First, Open your Mind, and Enjoy your life……

Selasa, 01 Desember 2009

The Power of One

Bahwa ada kekuatan dalam diri satu orang, kalau kita memulai dari tempat di mana kita berada, menggunakan apa yang kita miliki, melakukan apa yang kita bisa .... Maka kita juga akan bisa melakukan hal-hal yang luar biasa!

Hakim-Hakim 3:31 "Sesudah dia, bangkitlah Samgar bin Anat; ia menewaskan orang Filistin dengan tongkat penghalau lembu, enam ratus orang banyaknya. Demikianlah ia juga menyelamatkan orang Israel."

Hakim-Hakim 5:6 "Dalam zaman Samgar bin Anat, dalam zaman Yael, kafilah tidak ada lagi dan orang-orang yang dalam perjalanan terpaksa menempuh jalan yang berbelit-belit."

Hanya ada dua ayat dalam Alkitab yang menyinggung kehidupan Samgar. Samgar hanya petani sederhana....tidak ada orang yang memperhitungkan dia sebagai seorang pahlawan yang besar. Akan tetapi, petani sederhana ini, seorang diri membunuh 600 orang Filistin + menyelamatkan seluruh bangsa! Hal ini membangkitkan semangat bagi kita yang merasa diri hanya orang biasa saja. Bahwa ada kekuatan dalam diri satu orang, kalau kita memulai dari tempat di mana kita berada, menggunakan apa yang kita miliki, melakukan apa yang kita bisa .... Maka kita juga akan bisa melakukan hal-hal yang luar biasa!

#1: (Saudara harus) MULAI DARI TEMPAT SAUDARA BERADA
Samgar adalah orang biasa yang menjalani hidup yang biasa saja. SAUDARA, jangan menunggu kondisi jadi sempurna, mulai tepat dari tempat Saudara berada!

Mulai kerjakan persiapan, mulai kerjakan perencanaan, mulai MELANGKAH KELUAR + lakukan sesuatu dalam kehidupan Saudara -tepat dari tempat di mana Saudara berada sekarang!

Tidak ada gunanya kalau kita berkata: "Suatu hari kelak, aku akan membuat perbedaan + memberikan dampak pada dunia! Suatu hari kelak, aku akan memiliki takdir ilahi!"

Pemimpin sejati selalu mulai dari tempat di mana mereka berada sekarang!

Kalau Saudara pelajar, Saudara bisa memberikan pengaruh yang positif bagi teman sekelas + guru kalian di sekolah. Kalau Saudara penjual asuransi, Saudara bisa menolong client Saudara menjatuhkan pilihan yang bijak yang menguntungkan keluarganya. Kalau Saudara seorang businessman, Saudara bisa menyediakan suatu pelayanan yang meningkatkan standar kehidupan komunitas Saudara. Kalau Saudara fulltimer, Saudara memiliki pengaruh yang sangat kuat pada anggota gereja lainnya.

#2: (Saudara harus) GUNAKAN APA YANG SAUDARA MILIKI
Hakim-Hakim 3:31 "...ia menewaskan orang Filistin dengan tongkat penghalau lembu..."
Menurut para sarjana dan arkeolog, tongkat penghalau lembu Samgar panjangnya 2,5 m. Kalau mau dipakai senjata, hal itu pasti sangat janggal! Tapi hanya itu yang dimiliki Samgar! Seringkali kita fokus pada apa yang kita tidak miliki sehingga kita lupa untuk fokus pada apa yang telah kita miliki!

Apa yang digambarkan oleh tongkat penghalau lembu:
IMPIAN Saudara
Impian adalah suatu hal yang dahsyat! Impian membuat kita memiliki pengharapan + memampukan kita untuk bisa membayangkan masa depan yang lebih baik! Impian memberi kita motivasi, energi + memberi kita keberanian untuk mengambil resiko.

Jangan berpikir kecil-impian Saudara harus gagah + berani! Samgar punya impian membebaskan bangsanya dari terror + penjajahan orang Filistin.Dia mengambil tongkat penghalau lembu+ membuat impiannya menjadi kenyataan.

TALENTA Saudara
Talenta apa yang telah Tuhan berikan pada Saudara? Mencari uang? Menyanyi? Melukis? Mendesign software komputer? Menjalankan website?Talenta dalam mengajar anak? Mendorong semangat orang tua? Pelayanan meja? Cuci piring? Setiap Saudara punya semua talenta yang Saudara butuhkan! Apapun talenta Saudara, pakai creativitas untuk mengembangkannya.

#3: (Saudara harus) LAKUKAN APA YANG SAUDARA BISA

Hakim-Hakim 3:31 "Sesudah dia, bangkitlah Samgar bin Anat; ia menewaskan orang Filistin..."

Samgar tidak seperti Yosua atau Otniel atau Ehud yang telah menghancurkan puluhan ribu musuh. Dia hanya melakukan yang bisa dia lakukan -600 orang Filistin ... itu yang terbaik yang bisa dikerjakannya!

Tetapkan sasaran yang bisa dikerjakan...dan waktu Saudara mengerjakan sebaik mungkin, maka hal tsb cukup! Hati-hati dengan sikap atau roh agamawi yang membuat Saudra selalu merasa belum cukup dalam melakukan sesuatu!

Shamgar MELAKUKAN LANGKAH IMAN:
- Mulai di mana dia berada,
- Menggunakan apa yang dia punya.
- Melakukan apa yang dia bisa!

... dan hal tsb lebih dari cukup bagi Kerajaan Sorga! Alkitab mencatat bahwa dia sendirian bisa mengalahkan 600 orang Filistin. Ada kekuatan luar biasa dalam setiap kehidupan kita! Amin

Minuman Yang Memperburuk Diet

Tak cuma makanan yang bisa menyumbangkan angka tinggi pada timbangan berat tubuh Anda, tetapi juga minuman. Minuman apa yang bisa mempengaruhi bobot tubuh Anda, dan apa yang tidak?

Yang merusak diet:
Minuman berenergi
Minuman berenergi dan untuk olahraga adalah bom kalori, seperti soda. Minuman berenergi memang memiliki nutrisi tambahan, tapi Anda pun masih bisa mendapatkan vitamin dan mineral yang sama dalam makanan berkalori rendah. Orang-orang yang serius untuk mengurangi berat badan seharusnya tetap mempertahankan hidrasi tubuhnya dengan air ketimbang minuman khusus olahraga.

Soda
Setiap kali Anda menenggak sebotol soda, Anda mengonsumsi ratusan kalori kosong. Menurut Center for Science in the Public Interest, Amerika Serikat, minuman ringan berkarbonasi adalah sumber kalori terbesar dalam menu makanan masyarakat Amerika. Untuk sebagian orang, berpindah ke minuman soda rendah kalori (diet soda) adalah cara lain, namun tak terbukti apakah perpindahan tersebut bisa mengurangi berat tubuh. Bagi beberapa orang, diet soda bisa meningkatkan keinginan untuk tetap mengkonsumsi makanan manis.

Yang membantu diet:
Air putih
Mengganti minuman ringan berkarbonasi dengan air putih akan memangkas ratusan kalori per hari, dan keuntungannya tidak sebatas itu saja. Meminum 2 gelas air putih sebelum makan besar bisa membuat perut merasa kenyang lebih cepat, sehingga tak perlu makan sebanyak biasanya. Sebagai tambahannya, riset terbaru menunjukkan bahwa meminum banyak air bisa berpengaruh positif bagi metabolisme Anda.

Kopi hitam
Ketika Anda butuh dorongan kafein, kopi adalah pilihan yang lebih baik ketimbang soda atau minuman berenergi lainnya. Kopi hitam adalah minuman yang bebas kalori dan kaya akan antioksidan. Studi lain mengatakan, bahwa mengonsumsi kopi dalam jumlah cukup (sekitar 3-4 cangkir per hari) bisa membantu mood dan konsentrasi, sekaligus menurunkan risiko diabetes tipe 2, serta beberapa tipe kanker.

Teh hijau
Teh hijau adalah pilihan terbaik ketika Anda mencari untuk sedikit kafein. Tak hanya bebas kalori, beberapa peneliti bahkan mengatakan bahwa ekstrak teh hijau bisa menstimulasi pengurangan berat tubuh melalui aksi phytochemical-nya. Ini merupakan zat yang ada di tumbuhan yang bisa membantu tubuh membakar kalori dan meluruhkan lemak secara sementara. Keuntungan ini hanya berlangsung beberapa jam, jadi akan sangat membantu jika Anda bisa meminum teh hijau dua kali per hari.

Jus sayuran
Jus sayuran memiliki nutrisi yang sama dengan jus buah, tapi dengan jumlah kalori yang hanya setengahnya. Jus sayuran dengan bulir-bulirnya kaya akan serat, serta mampu menahan rasa lapar.

Yang harus diperhatikan:

Jus buah
Jus buah memiliki kalori yang sama dengan soda, namun jus buah memiliki lebih banyak isi, tak hanya nutrien. Hal ini menimbulkan dilema. Anda butuh vitamin dan antioksidan tanpa tambahan gula. Untuk amannya, disarankan untuk mengonsumsi jus yang terbuat dari 100 persen buah. Hindari yang sudah ditambahkan pemanis. Lihat label untuk persentase jus asli. Anda juga bisa mengurangi kalori dengan mencampur jus dan air.

Smoothies
Senang memesan smoothie di restoran? Coba buat sendiri, campurkan pisang, strawberry, dan blueberry untuk membuat smoothie. Campuran tersebut terdiri atas vitamin dan mineral yang cukup kuat untuk membantu tubuh melawan penyakit. Smoothie buatan sendiri cukup baik untuk tubuh karena Anda bisa mengontrol isinya –susu rendah lemak dan buah segar adalah yang Anda butuhkan. Smoothie yang Anda pesan dari restoran sudah mengandung es krim, madu, atau pemanis lainnya untuk membuat kalori yang terkandung di dalamnya kian tinggi.

Susu rendah lemak
Mengonsumsi makanan yang kaya kalsium baik untuk tubuh, namun kalsium tidak akan membantu Anda mengurangi berat tubuh, seperti yang ditemukan oleh para peneliti. Beberapa studi sebelumnya mengatakan, bahwa kalsium justru bisa menunda tubuh untuk membakar lemak, namun hanya sedikit bukti yang mendukung klaim ini. Kekurangan kalsium dalam tubuh justru bisa memicu kenaikan produksi sel lemak. Untuk mendapatkan manfaat kalsium tanpa mengonsumsi lemak ekstra, pilihlah susu rendah lemak, yoghurt, dan keju.

(SUMBER: Kompas.com)

Kamis, 26 November 2009

Benua Atlantis Ditemukan di Indonesia?


Ada yang mengatakan bahwa banyak orang di Amerika atau di luar negeri yang tidak mengenal Indonesia . Katanya mereka hanya tahu Bali dan Nias, tapi Indonesia itu di mana sih? konon tanya mereka. Tapi perkembangan terbaru sedikit beda; mempromosikan Indonesia akhir-akhir ini mestinya ibarat mendayung perahu ke hilir, yang didorong arus sungai dari belakang. Banyak kemudahan yang didapat secara gratis.

Bukan hanya akibat kedatangan Hillary Rodam Clinton, tapi terutama oleh ulah Prof. Arysio N. dos Santos yang menerbitkan buku yang menggemparkan: “Atlantis the Lost Continents Finally Found”.

Di mana ditemukannya?
Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia! Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa.

Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu. Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Caribea, sampai ke kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata.

Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya. Dia mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology.

Buku Santos sewaktu ditanyakan ke ‘Amazon.com’ seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa. Bukunya ini terlink ke 400 buah sites di Internet, dan websitenya sendiri menurut Santos selama ini telah dikunjungi sebanyak 2.500.000 visits.

Ini adalah iklan gratis untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke dunia luar, yang tidak memerlukan dana 1 sen pun dari Pemerintah RI. Sebagaimana dapat diikuti dari websitenya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World).

Sampai saat ini belum dapat dideteksi apakah sang ahli falsafah ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fable, science fiction, ataukah sebenarnya dia menceritakan sebuah kisah sejarah. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut?

Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga.

Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius. Para dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang sedemikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu.

Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang diceritakan dalam bahasa setempat.

Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11.600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat.

Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari species mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua species manusia : Neandertal dan Cro-Magnon. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, pulau Sumatera, pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.

article by: Hadi Kristadi

Sabtu, 21 November 2009

Salam "YAAHOWU" Nias Tanoniha


Kalau kita ke pulau Nias pasti kita mendengar ucapan Ya’ahowu, demikian sesama orang Nias kalau bertemu diawali dengan ucapan Ya’ahowu. Memang harus demikian. Ya’ahowu adalah salam dalam bahasa daerah Nias. Masalahnya, apakah pengucap atau pemakai salam Ya’ahowu pernah berpikir arti dan makna Ya’ahowu secara bentuk kata (morfologi) ? Karena kata Ya’ahowu sesuatu yang lumrah dan biasa diucapkan oleh masyarakat Nias, lalu untuk apa berpikir sejauh itu, bagi awam merupakan hal yang wajar, tetapi bagi kaum intelektual tidak demikian karena sifat intelektual selalu mencari tahu dan mendapatkan tau akan sesuatu. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis menyajikan kepada pembaca uraian kata Yaahowu ditinjau dari segi ilmu bahasa pada umumnya dan dari segi morfologi pada khususnya.

Yaahowu terdiri dari 3 kata yang sudah dipadukan sehingga mendapat bentuk kata baru dan mempunyai arti tersendiri pula. Ketiga kata itu ialah: 1. Howu, 2. A, dan 3. Ya. Pertama, howu dalam bahasa daerah Nias berarti bagian yang lembut, segar dan sedang tumbuh atau berkembang pada suatu tanaman. Sebagai contoh ialah howu lewuö terjemahannya rebung, howu gae artinya bagian tengah batang pisang yang lembut, berwarna putih, segar dan sedang bertumbuh, howu nohi adalah bagian dalam pada puncak pohon kelapa yang berwarna putih, lembut, enak dimakan dan sedang bertumbuh.

Kedua, vokal ‘a’ pada kata ahowu, adalah awalan yang berfungsi menyatakan sifat dari kata yang diawalinya. Jadi bila howu duduk sebagai kata benda maka ahowu duduk sebagai kata sifat. Sehingga ahowu artinya mempunyai sifat seperti howu.

Ketiga, kata ‘ya’ adalah awalan yang berfungsi menyatakan bentuk optatif pada kata ahowu. Apa itu bentuk optatif ? Kata optatif berasal dari bahasa Latin yaitu optare artinya mengingini. Optatif dapat diterjemahkan dengan moga-moga atau sudi apalah kiranya. Bentuk optatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak ditemukan, tetapi bentuk optatif ini dapat ditemukan pada bentuk kata kerja dalam bahasa Yunani. Memang dalam bahasa Yunani bentuk optatif hanya dipakai pada kata kerja, tetapi dalam bahasa daerah Nias, selain pada kata kerja dipakai pula pada kata sifat. Contoh: “ya’i’a ia mao” artinya semoga kucing memakannya. Untuk kata sifat “Ya’atulö ndra’ugö mane marafadi” artinya semoga anda tulus seperti merpati.

Jadi Yaahowu artinya ialah semoga lembut, segar dan terus bertumbuh seperti howu.

Pada umumnya pengartian dan pemaknaan kata Ya’ahowu diterjemahkan dengan “selamat”, tapi tidak menampung persis arti yang sebenarnya sebab “selamat” pengertiannya menuju kepada terbebaskannya dari sesuatu bahaya atau maut dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan kata fahowu’õ yang dapatditerjemahkan “berkatilah” ? Kata fahowu’ö merupakan bentuk kata kerja dari kata howu, namun dengan pemahaman memberi sesuatu yang adi kodrati, yang membuat si penerima segar, berbahagia dan terus bertumbuh atau berkembang.

Kembali kepada salam Ya’ahowu, apakah berasal dari kata yang menyatakan yang kodrati yaitu howu atau menyatakan adi kodrati yaitu howu-howu ? Kepada pembaca yang budiman dipersilakan meneliti dan menimbang, namun penulis berpendapat bahwa kata Ya’ahowu berasal dari kata yang menyatakan kodrati yaitu howu dan menjadi kata sifat yaitu ahowu dan terakhir mendapat bentuk optatif yaitu Ya’ahowu.

Kepada pembaca yang budiman dipersilahkan untuk merenungkan kalau dikatakan “Pesta Ya’ahowu” apakah terdapat dalam pemahaman si pengucap bahwa pesta yang mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang terus segar, bertumbuh atau sesuatu yang terus segar berkembang, dipersilahkan untuk memberi pendapat.

Oleh: Pdt. Dal. Zendratö, STh.*
*Artikel ini muncul dalam Media Warisan (Terbitan Museum Pusaka Nias) Edisi no. 5 tahun I Juni 2000, hal. 7.

Artikel Lainnya:

Sebetulnya asli kata Ya’ahowu berasal dari salam di wilayah Nias Selatan pada zaman dahulu ” Ya’ugo, ya’ami”
Ketika seseorang tamu datang lalu disapa dengan ” He Ya’ugoa!
Ketika banyak tamu datang lalu disapa dengan ” He Ya’ami!

Di DPRD Nias tahun 50-60-an pada saat itu banyak anggota dewan dari budayawan seperti Ama Rozama Mendrofa, Ama Yana Zebua,dll mereka mencaiptakan suatu salam dalam bahsa Nias : yang digabungkan antara salam dari wilayah nias selatan dan kata Yahwe, howu-howu, sehingga terbentukalah kata ” Ya’ahowu”

Artikel Lainnya:

Dalam Soera Gamaboe’oela Li Sibohooe H. Sunderman yang terbit di Amsterdam 1911 dan dicetak ulang oleh LAI Jakarta 1984, kata “Yaahowu” (ditulis menggunakan ejaan Van Ophuysen: “Ja’ahowoe”) sekurang-kurangnya muncul 9 kali, yakni dalam Matius 5:1-12, yang lebih dikenal sebagai “Kotbah di Bukit” atau “Ucapan Bahagia”.

Ayat 3: Ja’ahowoe zi noemana tõdõ, me chõra mbanoea zoroego andrõ.
Ayat 4: Ja’ahowoe zebolo tõdõ, me ja’ira zochõ oelidanõ dania.

dst … dst.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru edisi Bahasa Indonesia, padanan "Ja’ahowu" adalah "Berbahagia", dalam Alkitab berbahasa Inggris: ‘blessed’ yang berarti: ter(di)berkati – jadi lebih dekat dengan pengertian kata Yaahowu dalam Li Niha.

Pasukan Arung Pallaka di Nias Tanoniha

Leluhur Bugis Orang Nias

Seorang anak raja Pagarruyung bernama Turanggo berlayar menuju negeri Bugis mencari isteri. Setelah berhasil mengawini puteri raja Bugis dari suku Bengguan, dia kembali ke Pagarruyung. Namun terjadi angin-ribut, mereka terdampar di Luaha Sebua, muara sungai di suatu pulau kosong. Pulau itu kemudian dinamakan Tanah Hibala yang artinya ‘tanah yang kuat’ dalam bahasa Bugis. Turanggo akhirnya menetap di pulau itu, dia beranak-pinak hingga pada raja Hibala yang memiliki dua anak, puteri (kakak) dan putera (adik).

Demikian inti pembuka cerita berjudul Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu karya Adlan Mufti (1979). Mufti memperoleh keterangan dari Dahar Alamsyah di pulau Tello tahun 1974. Waktu itu Alamsyah berumur 60 tahun. Dia adalah keturunan raja Buluaro dari suku Bengguan (Bekhua). Mufti memperkirakan legenda ini terjadi sekitar abad 12.

Selanjutnya diceritakan, semenjak lahir kedua anak raja Hibala hidup terpisah. Sang puteri (tidak diketahui namanya) tinggal di rumah bagian atas yang dinamakan mahligai, diasuh wanita pengasuh bernama Sikambang, sedang sang putera bernama Sutan Muaro tinggal bersama orang-tuanya di rumah bagian bawah.

Setelah meningkat dewasa, ketika Sutan Muaro bermain-main di halaman rumah, tanpa sengaja dia melihat sang puteri raja itu. Seketika Sutan Muaro terpesona melihat kecantikan sang puteri. Bergegas dia menemui ibunya, mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik di rumah mereka. Namun ibunya membantah. Sutan Muaro mencari-cari wanita itu, dia naik ke mahligai dan bertemu dengannya di sana. Dia menemui ibunya lagi, mengatakan bahwa wanita itu ada di mahligai. Sutan Muaro mendesak ibunya agar wanita itu dapat dijadikan isterinya.

Melihat tekad Sutan Muaro, barulah ibunya mengakui bahwa wanita itu adalah kakaknya sendiri, tidak mungkin dapat dikawininya. Namun Sutan Muaro tidak menerima keterangan ibunya. Selama ini dia tidak diberi-tahu wanita itu kakaknya dan belum pernah bergaul selayaknya kakak-adik. Dia tetap mendesak agar wanita itu dapat dikawininya. Akhirnya hal ini dilaporkan kepada raja. Raja Hibala terpaksa mengundang rakyatnya rapat. Sudah terang hadirin rapat tidak menyetujui hasrat Sutan Muaro, belum pernah terjadi dua orang bersaudara kandung dikawinkan.

Tiba-tiba sang kakak turun dari mahligai dan berkata, “Adik Sutan Muaro! Di negeri Bugis ada anak paman kita seorang wanita yang serupa sekali bentuk wajahnya dengan saya, seperti pinang dibelah dua. Pergilah adik ke negeri Bugis untuk menjumpainya, dan lihatlah mukanya. Ambillah rambut saya dan cincin saya ini. Sekiranya nanti mukanya tidak serupa dengan muka saya, rambutnya tidak sebagaimana rambut saya, dan cincin ini tidak sesuai di jarinya, maka kembalilah kau ke Tanah Hibala, dan kawinilah saya menjadi isterimu!”

Maka berangkatlah Sutan Muaro ke negeri Bugis. Setelah berlayar sekitar setahun, dia sampai di negeri pamannya itu. Namun betapa terkejut hati Sutan Muaro, karena puteri raja Bugis (pamannya) baru saja ditunangankan dengan anak raja Bayo. Dia tinggal di negeri pamannya beberapa lama. Mudahlah baginya berkenalan dengan puteri pamannya. Puteri itu cantik nian, mirip kakaknya, dia jatuh cinta. Beruntung Sutan Muaro, dia tidak bertepuk sebelah tangan, puteri pamannya membalas cintanya. Maka pada suatu malam diam-diam dua insan yang saling mencinta ini, Sutan Muaro dan puteri pamannya, berlayar menuju Tanah Hibala. Namun mereka dikejar armada raja Bugis dan anak raja Bayo. Dalam sekitar setahun pengejaran menuju Tanah Hibala itu Tuan Puteri melahirkan anak laki-laki.

Dekat pulau Tanah Hibala perahu Sutan Muaro terkepung dan terpaksa bertempur melawan armada pengejar. Dada Sutan Muaro tertembus anak panah yang dilepas anak raja Bayo. Dalam keadaan terdesak kalah, Tuan Puteri (istri Sutan Muaro) mengirim anaknya kepada sang kakek (raja Hibala) lewat seorang awak perahu. Setelah itu Tuan Puteri memohon, “Sekiranya saya memang manusia yang berasal dari orang bangsawan, mempunyai derajad yang agung dari orang biasa, jadikanlah seluruh perahu-perahu di tempat ini menjadi batu”. Sejenak kemudian seluruh perahu di kawasan itu berubah menjadi batu, dan selanjutnya menjelma menjadi pulau-pulau.

Perahu yang ditempati tuan puteri dan suaminya Sutan Muaro menjadi pulau Batu. Perahu yang ditempati ayah Tuan Puteri menjadi pulau Lorang. Perahu yang ditempati anak raja Bayo menjadi pulau Tello. Perahu yang membawa perbekalan armada Bugis menjadi pulau Biang. Dan pulau Mamole, konon berasal dari perahu kiriman raja Hibala yang membawa perbekalan untuk anaknya Sutan Muaro yang terkepung. Itulah riwayat terjadinya pulau-pulau yang namanya berasal dari bahasa Bugis.

Elemen Bugis
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh sang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang pernah terjadi, bersifat keduniawian, terjadi pada masa belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang sebagai folk history (sejarah kolektif), walaupun sejarah itu mengalami distorsi karena tidak tertulis (Danandjaja, 1984: 66).

Perkiraan Mufti bahwa legenda di atas terjadi sekitar abad 12 misalnya, tidak sesuai fakta sejarah. Kerajaan Pagarruyung didirikan oleh Adityawarman tahun 1339 (Parlindungan, 2007: 120; Muljana, 2007: 16). Kerajaan ini berpengaruh hingga tahun 1804 (Parlindungan, 2007: 510). Dengan demikian, anak raja Pagarruyung bernama Turanggo yang disebut dalam legenda di atas hidup pada abad 14 atau setelahnya. Legenda itu tentulah terjadi atau diciptakan setelah abad 14.

Menurut Hämmerle (2004), sekitar 250 tahun yang lalu orang Bugis berlabuh di pulau Simeulue, Nias, dan kepulauan Batu. Di mana mereka mendapat pulau kosong, di situ mereka memberi nama pulau bersangkutan. Keterangan ini selaras dengan isi legenda asal-mula pulau-pulau Batu. Selain itu, keterangan ini menunjukkan kedatangan orang Bugis di kepulauan Batu pada abad 18 (sekitar tahun 1750), suatu rentang waktu yang relatif jauh dibanding abad 12 sebagaimana perkiraan Mufti.

Di lain pihak, tahun 1811 Marsden melaporkan perihal kampung Buluaro yang terletak di tengah pulau Batu. Penghuni kampung ini mayoritas orang Nias, namun ada juga ras yang mirip orang Makassar atau Bugis yang berjumlah tidak melebihi seratus orang. Marsden juga melaporkan cerita kapal (perahu) yang menjelma menjadi batu.

“Upon the same authority also we are told that the island derives its name of Batu from a large rock resembling the hull of a vessel, which tradition states to be a petrifaction of that in which the Buluaro people arrived.” [Dari sumber yang sama juga diceritakan kepada kita bahwa pulau itu mengambil nama Batu dari sebuah batu besar yang menyerupai lambung kapal, yang menurut tradisi adalah kapal yang menjadi batu yang digunakan oleh orang-orang Buluaro tiba.]

Laporan Marsden mengindikasikan cerita bermotif ‘perahu yang menjelma menjadi batu’ telah beredar sekitar awal abad 19. Dikaitkan dengan kedatangan orang Bugis di kepulauan Batu pada abad 18, dapat diperkirakan legenda asal-mula pulau-pulau Batu diciptakan dalam rentang waktu akhir abad 18 hingga awal abad 19 (sekitar 8-9 generasi yang lalu).

Dapat pula diketahui, mengacu keterangan Dahar Alamsyah (informan Mufti) dan laporan Marsden, kolektif (masyarakat) pendukung legenda ini adalah masyarakat tradisional di kawasan kepulauan Batu. Masyarakat tersebut, khususnya di kampung Buluaro, berhasil menciptakan sebuah folklor berbentuk legenda yang eksplisit berisi elemen Bugis. Meski mengandung unsur pralogis, ‘perahu ajaib’ yang berubah menjadi batu atau pulau misalnya, legenda ini dapat dianggap sebagai ‘saksi sejarah’ kedatangan orang Bugis di kawasan kepulauan Batu pada abad 18.

Folklor (legenda) seperti ini tidak, atau setidaknya belum, ditemukan di kawasan kepulauan Hinako. Menurut kalangan peneliti, sebagian orang Nias di pulau Hinako dan sekitarnya juga memiliki leluhur yang berasal dari Sulawesi (Marsden, 1811; Fries, 1919: 55; Zebua, 1995: 51; Hämmerle, 2001: 213-24; Danandjaja & Koentjaraningrat, 2004: 41; Koestoro & Wiradnyana, 2007: 26).

Orang Maruwi
Tahun 1811 Marsden melaporkan bahwa penghuni pulau Hinako adalah ras yang disebut Maros atau orang Maruwi. Kata ‘maruwi’ lebih umum dikenal sebagai ‘maru’. Belakangan ‘maru’ menjadi akar nama mado (marga) orang Nias keturunan Bugis di Hinako. Menurut Fries (1919: 55), mado tersebut adalah: Maroe Ndroeri, Maroe Ao, Maroe Haŵa, Maroe Lafaoe, Maroe Abaja, dan Maroe Gadi.

Ketika Hämmerle (2001: 219) mencari informasi tentang suku Bugis di kepulauan Hinako, tahun 1980 beliau memperoleh keterangan mengenai mado keturunan Bugis dari informan yang bergelar Raja Kelapa, seorang keturunan Bugis yang berdomisili di Sirombu. Menurut Raja Kelapa, mado orang Bugis yang mendiami kepulauan Hinako adalah: Maru Ndruri, Maru Haŵa, Maru Abaya, Maru Lafao, dan Maru’ao. Kelima mado tersebut datang ke Hinako sekitar 12 generasi yang lalu (per tahun 1980). Dari keterangan itu Hämmerle memperkirakan kedatangan leluhur Bugis ke Hinako 13 generasi yang lalu (per tahun 2001) atau sekitar tahun 1675. Perkiraan ini cukup berharga dalam upaya melacak sejarah leluhur Bugis di Hinako.

Sejak tahun 1663 seorang bangsawan Bone bernama Arung Palakka dan pasukannya yang berjumlah 400 orang Bugis dari Bone dan Soppeng diterima Belanda menjadi serdadu, ditempatkan di perkampungan Angke di Batavia (Kesuma, 2004: 61; Ricklefs, 2007: 98). Pada tahun 1666 pasukan Arung Palakka membantu Cornelis Speelman menyerbu pasukan Aceh di Pariaman. Peristiwa tersebut menimbulkan dugaan Kesuma (2004: 96), ada anggota pasukan Arung Palakka yang tertinggal dan terdampar hingga ke Hinako.

Jumlah anggota pasukan Arung Palakka agaknya berkurang, mungkin karena tewas atau tertinggal sebagaimana dugaan Kesuma. Setelah penyerbuan di Pariaman, 24 Nopember 1666 armada gabungan pasukan Belanda dan pasukan Arung Palakka berangkat menyerbu Makassar. Kekuatan pasukan Arung Palakka masih tetap 400 orang, namun angka tersebut genap setelah ditambah sejumlah anggota pasukan Ambon pimpinan Yonker yang berasal dari Manipa (Kesuma, 2004: 62).

Jarak waktu antara tahun 1666 (kedatangan pasukan Arung Palakka di Pariaman) dan tahun 1675 (kedatangan leluhur Bugis di Hinako perkiraan Hämmerle) relatif dekat. Benarkah leluhur sebagian orang Nias di Hinako berasal dari anggota pasukan Arung Palakka? Bila benar, mengapa terkesan mereka berasal dari Maros (orang Maros atau orang Maruwi), bukan dari Bone dan Soppeng asal pasukan Arung Palakka?

Lepas dari itu, angka tahun ini menunjukkan leluhur Bugis tiba di Hinako pada abad 17, sekitar satu abad (4 generasi) lebih dulu ketimbang kedatangan leluhur Bugis di Batu. Meski sama-sama dari Sulawesi, kelompok mereka tentu berbeda. Boleh jadi, faktor inilah yang melatarbelakangi ‘cerita lisan’ tentang tiga bersaudara Bugis; anak pertama tinggal di Hinako, anak kedua tinggal di Sinabang dan anak bungsu menetap di Batu (Hämmerle, 2001: 214).

Sebagai saudagar, orang Bugis dilaporkan hadir di kawasan pantai barat Sumatera sekitar awal abad 10 hingga abad 19 (Parlindungan, 2007: 617; Danandjaja & Koentjaraningrat, 2004: 40-1; Asnan, 2007: 175). Pada abad 10 misalnya, mereka berintegrasi dengan orang Batak di Natal dan Muaralabuh membentuk marga Nasution (Parlindungan, 2007: 617). Dalam rentang waktu yang relatif panjang itu, selain di Hinako dan Batu, dimungkinkan ada leluhur Bugis lain yang menetap di Nias dan sekitarnya.

Mado Maru
Dari beberapa sumber diketahui, tidak semua mado ‘maru’ keturunan leluhur Bugis. Mado Maru Haŵa misalnya, adalah keturunan mado Zebua bernama Haŵa Dölömbanua (Zebua, 1995:49; Hämmerle, 2001: 222). Atau, mado Maru Lafao adalah keturunan mado Daeli bernama Gandria (Hämmerle, 2001: 223). Bahkan mado Maru Ndruri yang dipercaya leluhurnya berasal dari Sulawesi, ada yang mengaku keturunan Hia Ho (Zebua, 1995: 51; Hämmerle, 2001: 220-1). Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Menurut Hämmerle (2001: 214), di Hinako dulu ada kepercayaan pada Kara Maru, suatu batu yang melayang-layang di laut dan bersuara, “Ambillah saya, sembahlah saya.” Barang siapa berkunjung ke Hinako harus menyembah batu itu, kalau tidak pasti orang itu akan sakit. Berlatar-belakang kepercayaan ini, kemungkinan besar warga Hinako (dari pelbagai keturunan) mengambil ‘maru’ sebagai mado mereka. Anggapan ini terkesan spekulatif. Namun dapat terjadi, karena orang Nias mengenal nama mado ‘belum begitu lama’, ketika diadakan soera pas (semacam KTP) sekitar tahun 1913-1914 (Zebua, 1996: 7).

Medan penelitian sejarah leluhur Bugis di Hinako dan Batu, serta di Nias umumnya, masih terbuka lebar. Setidaknya uraian di atas memberi gambaran kehadiran leluhur Bugis dalam masyarakat Nias. Menurut Kesuma (2004: 137) filosofi migrasi orang Bugis adalah “kegisi monro sore’ lopie’, kositu tomallabu se’ngereng” [di mana perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan]. Menyambut ‘kehidupan yang ditegakkan’ oleh para leluhur Bugis di kawasan Nias, Fries (1919: 55) menulis sebuah kalimat yang bijak, “Ma’oewoera, ba hoelö no tobali Ono Niha sa’ae”.

Oleh: Victor Zebua
Bacaan

1. Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Penerbit Ombak, 2007
2. Danandjaja, James, Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Grafiti Pers, 1984
3. Danandjaja, J. & Koentjaraningrat, Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, cet. 20, 2004
4. Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919
5. Hämmerle, Johannes M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Yayasan Pusaka Nias, 2001
6. Hämmerle, Johannes M., Lingua Nias, Media Warisan No. 38-39 (IV), April 2004
7. Kesuma, Andi Ima, Migrasi & Orang Bugis, Penerbit Ombak, 2004
8. Koestoro, Lucas Pratanda & Ketut Wiradnyana, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, Balai Arkeologi Medan, 2007
9. Marsden, William, The History of Sumatra (1811), The Project Gutenberg eBook, 2005
10. Mufti, Adlan, Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu, Sinar Indonesia Baru, Januari 1979
11. Muljana, Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, LKiS, cet. 4, 2007
12. Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao (1964), LKiS, 2007
13. Ricklefs, M.C, A History of Modern Indonesia (1981), terjemahan: Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 2007
14. Zebua, Faondragö, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996
15. Zebua, S., Menelusuri: Sejarah Kebudayaan Ono Niha, Tuhegeo I, 1995

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sandwich Tamböyö dari Nias Tanöniha

Oleh Bondan Winarno

Kunjungan saya ke Nias bertepatan dengan acara perkawinan abang Gerda Gulo, teman dari Bank Dunia, di Gunungsitoli. Tentu saja, kesempatan baik itu tidak saya sia-siakan. Rangkaian acara dimulai dari rumah pengantin pria. Setelah semua anggota keluarga berkumpul, jamuan makan siang digelar. Setelah makan siang, pengantin pria berangkat ke rumah pengantin perempuan dengan berjalan kaki, diiring semua anggota keluarga besar.

Di rumah pengantin perempuan, semua anggota keluarga dari pihak ini pun sudah siap menyambut. Acara pertama adalah fanunu manu yang secara harafiah berarti pemukulan gong sebagai tanda selamat datang. Masing-masing pemuka keluarga dari kedua belah pihak menyampaikan maksud dan tujuan kehadiran, serta ucapan selamat datang.

Acara ini diikuti penyampaian mas kawin. Dari bisik-bisik yang saya dengar, bila pengantin pria adalah seorang pegawai negeri sipil, mas kawinnya minimum seratus juta rupiah. Bila pengantin pria datang dari Jakarta dan mempunyai kedudukan sosial yang tinggi, mas kawinnya bisa berlipat ganda.

Setelah penyerahan mas kawin, hidangan pun disajikan. Seperti telah saya kemukakan dalam tulisan minggu lalu, hidangan simbolis dalam acara besar seperti ini adalah simbi, yaitu bagian rahang babi yang berlemak. Daging dan lemak babi rebus ini diedarkan bersama minuman lokal yang disebut brandy, dan dimakan sebagai appetizer.

Selain disajikan sebagai simbi, ada lagi tiga masakan babi yang disuguhkan. Yang pertama adalah sop babi, dengan bagian-bagian tulang, kulit, dengan wortel dan kentang. Hidangan lain adalah babi kecap yang dimasak seperti semur kental. Sajian ketiga adalah cincang. Dilihat dari penampilannya, cincang sangat mirip dengan saksang di Tapanuli, yaitu daging dan lemak babi dicincang, lalu dimasak dengan darahnya dan berbagai macam bumbu.

Setelah acara makan-makan usai, acara famortu pun dimulai. Pengantin pria menyampaikan salam kepada para ibu-ibu dari pihak mempelai perempuan. Ibu-ibu ini kemudian memberi berbagai nasihat kepada pengantin pria.

Acara terakhir adalah fame barui hada, yaitu pemberian babi adat yang keesokan harinya disembelih untuk pesta perkawinan yang akan dihadiri oleh lebih banyak orang. Setelah acara ini usai, pengantin perempuan keluar dari rumah, disandingkan dengan pengantin pria, kemudian diusung dengan tandu ke rumah pengantin pria. Keesokan harinya, pesta besar pun digelar.

Bila Anda boleh makan babi

Masyarakat Nias memang mayoritas beragama Kristen dan Katholik. Karena itu, pilihan aman bagi teman-teman Muslim adalah rumah-rumah makan Padang yang untungnya cukup banyak hadir di Nias, khususnya di Gunungsitoli. Selain babi yang tersedia luas, banyak juga kedai-kedai yang menjajakan makanan dari daging B1 (anjing). Orang Nias menyebutnya sebagai asu, sama dengan nama hewan itu dalam bahasa Jawa.

Beberapa orang juga menyebutnya dengan istilah Manado, yaitu erwe atau RW, singkatan dari rintek wu’uk yang artinya bulu pendek – sebagai antonim dari babi yang bulunya lebih panjang. Di warung-warung B1 biasanya juga tersedia tuak mentah (legen), tuak (setelah disuling), maupun minuman lokal beralkohol yang disebut brandy.

Bila Anda boleh makan babi, salah satu tempat makan yang direkomendasikan di Gunung Sitoli adalah Kedai Mie Yuni di Lagundri, tidak jauh dari Pasar Ya’awohu. Ketika saya melongok ke dapur, Yuni yang masih menangani langsung pemasakan mi itu langsung malu. “Ah, orang Jakarta lebih pintar masaknya. Saya malu,” kilahnya.

Cara memasak mi gorengnya memang unik. Pertama, potongan daging babi ditumis dengan bumbu-bumbu, lalu dimasukkan rajangan sawi dan ditambah air. Setelah mendidih, dimasukkan mi telor yang penampangnya sedikit lebih besar daripada spaghetti. Pemasakan dilanjutkan sampai mi-nya cukup tanak.

Sekalipun rasanya enak, tetapi – bagi saya – sawi yang overcooked di dalam masakan ini merupakan nilai negatif. Tetapi, begitulah kesukaan orang di tempat lain. Dengan analogi yang sama, saya juga tidak menyukai minestrone (sup sayur) di Italia yang selalu dimasak sampai sayurnya “mati dua kali”.

Toby

Di Jalan Kelapa, Gunungsitoli juga ada penjual pisang goreng terkenal. Namanya Pisgor Asun. Tetapi, Asun sudah mewariskan ketrampilannya kepada Toby, anaknya, yang kini meneruskan usaha itu bersama istrinya. Info ini saya peroleh dari JS-er asal Nias, Herlin Adeline. Info lain saya peroleh dari JS-er Indra Fakhrudi, yang kebetulan sedang berdinas di Pulau Nias untuk jangka panjang.

Terus-terang, sebetulnya tidak ada yang istimewa dari Pisgor Toby ini. Pisang kepok diiris-iris lalu dimekarkan sehingga membentuk kipas, dan dicelupkan ke dalam adonan tepung beras. Pisang bertepung ini digoreng dalam dua tahap. Pertama, digoreng setengah matang dulu. Setiap ada pembeli, pisang digoreng lagi agar tersaji panas dan kriuk (crispy).

Tetapi, Toby juga punya sajian khusus yang belum pernah saya jumpai di tempat lain, yaitu ketupat pisgor. Ketupat pulut (ketan) di belah dua, kemudian diratakan di atas pisang goreng, dilumuri santan kental sisa masakan ketupat. Hasilnya adalah sandwich pisang goreng dengan ketan yang pulen dan gurih. Ada sedikit kemiripan dengan menu sarapan orang Minang, yaitu ketan kukus yang disantap dengan lauk pisang goreng atau talas goreng.

Orang Nias menyebut ketupat sebagai tambeye (e pepet). Selain ketupat pulut, ada juga ketupat beras. Tetapi, ketupat beras pun dimasak dalam santan, sehingga teksturnya lebih lembut dan rasanya lebih gurih. Tambeye nasi ini nikmatnya dimakan dengan pangek ikan.

Berbeda dengan di Ranah Minang, pangek ikan di Nias tidak memakai santan, karena itu kuahnya lebih melimpah dan encer. Ikan yang banyak diolah menjadi pangek adalah ikan putih yang bentuknya mirip bawal. Ikan jenis ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama pompano.

Pangek ikan nias memakai irisan kuncup bunga kincung (rias, kecombrang, honje) dalam jumlah banyak, serta irisan asam potong (asam kandis). Kedua jenis bahan ini menghasilkan rasa asam yang sangat indah. Bahkan, menurut saya, lebih unggul daripada tom yam kung yang selama ini kita kenal. Mak nyuss lah, pokoke. Asam, pedas, sssuegerrrr . . .

Toby juga menyajikan pisang bakar yang istimewa. Pisang kepok dibakar di atas bara arang, lalu dipenyet, ditaburi kelapa parut dengan garam, kemudian disiram gula merah cair. Menurut saya, seharusnya jajanan ini lebih dikedepankan daripada pisang goreng yang generik. Pisang bakar Toby setingkat di atas gedang plenet semarang maupun pisang epe makassar.

Ada lagi satu makanan khas Nias yang sayangnya tidak sempat saya cicipi. Namanya boboto yaitu masakan dari fillet ikan kakap atau kerapu. Daging ikan dilayukan – menurut istilah setempat dibusukkan – selama dua malam, lalu ditaburi gongsengan kelapa parut dengan bumbu-bumbu, dibungkus dalam daun singkong, kemudian dikukus dalam daun singkong.

Sampai di sini, deskripsi itu membuat boboto menjadi sangat mirip dengan bothok-nya orang Jawa. Untuk membuatnya lebih sip lagi, boboto ini kemudian dipanggang atau dibakar. Sayangnya, makanan ini sudah jarang dibuat, sehingga harus dipesan secara khusus bila ingin mencicipinya.

Ah, setidaknya itu akan menjadi alasan bagus untuk datang lagi ke Nias. Ya’aho wu!

*) Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya.
(Email : bondanw@gmail.com)

Sumber: Kompas.com

Sabtu, 24 Oktober 2009

Hombo Batu Tradisi Nias Tanoniha


Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam . Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja.
Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dsb. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi ! 2 meter.
Dahulu, melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: Masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh.
Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya.
Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Itu juga makanya, para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Di satu sisi, mereka meminta dan bahkan ada yang setengah memaksa wisatawan untuk menyaksikan atraksi ini, namun di sisi lain mereka tidak mau melompat tanpa dibayar. Bahkan ada juga yang meminta sampai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 sekali melompat, tergantung bargaining. Para pelompat telah mempunyai kelompok dan jaringan supaya tidak menjual murah.
Sekarang ini harganya berkisar Rp 50.000 sekali melompat. Namun kalau wisatawan tidak menunjukkan minat dan menolaknya, para pelompat pun akhirnya dapat menerima harga yang lebih murah. Dari pada tidak dapat uang, lebih bagus melompat saja.
Tradisi lompat batu yang telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler dan mampu membuat Nias dikenal oleh suku bangsa lain, kelihatannya sudah kurang digemari oleh generasi baru karena tingkat kesulitan untuk menguasainya. Selain itu, atraksi lompat batu juga sudah berubah fungsi. Di daerah-daerah tujuan wisata, para pemuda baru mau melompat, kalau bayarannya sesuai. Sudah tidak ada lagi olah raga melompat batu yang gratis. Yang ada adalah lompat batu komersil. Karena itu, dikuatirkan, jika turisme mati, maka tradisi lompat batu akan punah.
Jika Lompat batu punah, rumah adat rusak, megalit hilang dan dijual, burung Beo Nias punah, nilai-nilai budaya masyarakat sebagai kontol sosial yang luhur mati, apa lagi yang menjadi daya tarik Nias? Apa lagi keunikannya? Semuanya hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang sulit diulang kembali.

Catatan Penting

HADA NONONIHA




Sumber: BUNGA RAMPAI ADAT INDONESIA ROSWITA SITOMPUL. SH, Mhum, PhD UISU PRESS Bunga Rampai Adat Indonesia Roswita Sitompul

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. 

Apa itu Suku Nias dan dimana Letaknya? Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di Pulau Nias. Dan aslinya Ono Niha “ Ono = anak, Niha = manusia). Dan Pulau Nias Tano Niha ”(Tano= tanah). Suku Nias merupakan suku yang menempati Pulau Nias, Sumatera, Indonesia. 

1. Asal-usul Suku Nias Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos tentang asal suku Nias menceritakan bahwa Suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan Teteholi Ana'a. Menurut mitos tersebut, kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao. Dalam memperebutkan Takhta Sirao. Ke-9 putra tersebut itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias ini. Dalam Suku Nias menganut dan menerapkan sistem marga yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga yang umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. Marga Nias Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

Makanan Khas ? Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk) ? Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecilkecil) ? Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut) ? Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap) ? Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama) ? Raki gae (pisang goreng) ? Tamböyö (ketupat) ? loma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu) ? gae ni bogo (pisang bakar) ?  Fawayaso ? 

Halu (alat untuk menumpuk padi).

Amaedola Peribahasa dalam bahasa Nias
Aoha noro ni lului wahea,aoha noro nilului waoso,alisi tafadaya-daya hulu ta fae wolowolo.
Kauko bahili, kauko bandraso, ofaolo goi draugo, ba ufaolo goi ndra'o.
Hulo Nifokoli zila gae mbogi,siwa khonia lala wekoli,bahasambua khonia lala dani. 
Hana na Salawa Hana gere, Fakaole li namohede. 
La'a-la'a akho itoro mbawa wato (F.ZEBUA) 
Sokhi fau'du moroi ba mboro moroi na fau'du ba hogu. 
Hana hili nalakhao ba'ahori mendua mano'o ni'a sero maokho 

Minuman ? Tuo Nifarö (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe") yang telah diolah dengan cara penyulingan) ? Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa)

Budaya Nias Lompat Batu ? Hombo Batu (Lompat Batu) ? Fatele/Foluaya(Tari Perang) ? Maena ? Tari Moyo ? Tari Mogaele ? Sapaan Ya'ahowu ? Fame Ono nihalõ (Pernikahan) ? Omo Hada(Rumah Adat) ? Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah) 

Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” memberkati orang lain dengan memberi kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa Dengan Yaahowu -sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Yahowu), serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. 

Bowo dalam perkawinan adat Nias. Pihak Pemberi dan Penerima Böwö Perkawinan Menurut Adat Öri Morö . Secara adat, pihak pemberi dan penerima böwö saling menunjukkan kebesaran kasih ( ), saling menghormati (fasumangeta). Dalam sistem böwö sejati, yang lebih penting adalah semangat ungkapan kasih, kemurahan hati dan bukan 140 materi böwö itu sendiri. Pemberian dan penerimaan böwö merupakan tindakan pembuktian kebesaran kasih antara keluarga kedua mempelai. Oleh sebab itu, pihak penerima böwö sudah menunjukkan dirinya sebagai orang yang murah hati ( sebua fa’omasi ) jika tidak menuntut böwö yang menjadi bagiannya . Namun, apabila penerima böwö lebih mementingkan sinema (bagian/penerimaan), maka pihak penerima tersebut tidak memiliki kemurahan hati (tenga niha sebua böwö). Alangkah bahagianya pasangan suami-istri jika pada saat melangsungkan perkawinan, mereka mendapatkan berkat (howu- howu) dan ungkapan kasih dari para kerabat, warga kampung, warga adat atau dari semua yang hadir dalam pesta. Jika saat pesta perkawinan semua elemen warga adat ini memberi ungkapan kasih dalam bentuk babi, ayam, beras, bibit tanaman, perkakas rumah tangga, uang, dsb., pasti mempelai baru menatap masa depan yang lebih sejahtera, dan bukan menatap masa depan dengan beban utang. Pemberian dari hati yang tulus ini merupakan bukti kasih dan berkat nyata yang dirasakan oleh mempelai baru. 1. Pihak Pemberi Böwö Perkawinan Secara adat, pihak pemberi böwö bukan hanya orangtua mempelai laki-laki melainkan pihak-pihak lain, seperti kerabat, warga adat dan warga kampung. Artinya, semangat tolong menolong dalam 141 menanggung böwö sebenarnya sudah menjadi tradisi Nias. Oleh karenanya, jika fungsi relasi kekerabatan keluarga berjalan dengan baik, maka pihak mempelai laki-laki sangat terbantu untuk menyanggupi böwö perkawinan. Sebab nilai material böwö ditanggung secara bersama-sama. Kurang lebih ada 5 (lima) pihak yang memberi atau menanggung böwö, yaitu: Pertama, orangtua mempelai laki-laki. Secara langsung, pihak pemberi böwö kepada pihak mempelai perempuan adalah pihak orangtua mempelai laki-laki. Misalnya, apabila Antonius akan menikah, maka pihak yang memberi/menanggung böwö adalah orangtuanya. Jika orangtua Antonius sudah meninggal, maka Antonius yang berjuang menyanggupi böwö perkawinannya. Akan tetapi, dalam menanggung böwö, Antonius dibantu oleh pihak-pihak lain. Oleh karena itu, sebenarnya, pihak pemberi böwö bukan hanya orangtua melainkan keluarga besar dan kerabat dari mempelai laki- laki. Pihak-pihak yang dimaksud akan dijelaskan dalam paparan berikut ini. Kedua, fadono. Dalam tradisi Nias, relasi kekerabatan menentukan kewajiban-kewajiban setiap orang. Misalnya, ketika Antonius akan menikah, maka semua pihak yang mengambil istri dari pihak Antonius berkewajiban membantu Antonius untuk menyanggupi böwö perkawinannya. Pihak yang mengambil istri disebut fadono. Pihak fadono memiliki kewajiban membantu keluarga dan kerabat 142 dari istrinya. Kewajiban fadono itu disebut ömö wadono (ömö = utang; wadono dari kata fadono = pihak yang mengambil istri). Setiap fadono, berkewajiban menyerahkan ömö wadono kepada keluarga mempelai laki-laki, minimal dua ekor babi: sara zafuo ba sara zatabö (seekor babi ukuran kecil minimal 2 alisi dan seekor babi ukuran lebih besar minimal 4 alisi). Ömö wadono merupakan sisa böwö yang ditangguhkan pemberiannya (böwö sitosai) ketika seorang laki-laki melangsungkan pernikahan. Ada 4 macam fadono sebagai berikut: (1) Fadono inti, yakni pihak yang menikahi seorang perempuan dari pihak pengantin laki-laki. Misalnya, Antonius menikah dengan Bella. Sedangkan Antonius memiliki saudari perempuan dan dinikahi Calistus, maka Calistus ini ikut membayar böwö ketika Antonius akan menikah dengan Bella. (2) Fadono dari Sirege (fadono dari saudara orangtua mempelai). Misalnya, ayah Antonius adalah Darius dan Darius memiliki saudara, yakni Edward. Edward memiliki anak perempuan yang menikah dengan Filius, maka Filius ini ikut membayar böwö yang ditanggung oleh Antonius ketika menikah dengan Bella. Semakin banyak perempuan yang dinikahi dari pihak mempelai lakilaki, akan semakin gampang membayar böwö. (3) (keponakan). Dalam tradisi Nias, yang disebut keponakan adalah anak dari perempuan yang telah dinikahi, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. M is aln ya, 143 Antonius memiliki saudari perempuan, yakni Gita dan menikah dengan Hilarius. Anak-anak dari pasangan Gita-Hilarius adalah keponakan Antonius. Jika anak-anak Gita-Hilarius (entah perempuan atau laki-laki) ini telah menikah, maka mereka juga ikut menangung böwö ketika Antonius akan menikah dengan Bella. (4) Mauwu, yakni anak dari keponakan (baik laki-laki maupun perempuan). Misalnya, Antonius memiliki keponakan, yakni Ida dari perkawinan Gita-Hilarius. Jika Ida ini telah menikah, maka ia juga berkewajiban membayar böwö yang mesti ditanggung oleh Antonius ketika menikahi Bella. Dan ingat, ketika anak laki-laki dari Antonius akan menikah, semua fadono ini juga ikut menangung böwö yang harus dibayar oleh anak laki-laki Antonius. Ketiga, talifusö (sanak saudara). Sanak saudara memiliki kewajiban menolong Antonius walaupun dalam bentuk kongsi adat. Jika hal ini berjalan dengan baik, maka Antonius terhindarkan dari utang yang sifatnya berbunga. Sebab, kongsi adat tidaklah berbunga! Ada 3 kelompok yang disebut talifusö. (1) Saudara laki-laki dari orangtua pengantin laki-laki. Misalnya, Dodo akan menikah. Ayah Dodo adalah Dede dan Dede memiliki saudara laki-laki, yakni Dudu. Dudu ini sebenarnya memiliki kewajiban untuk ikut membayar böwö yang akan 144 dibayar oleh orangtua Dodo. Hanya saja, bantuan yang diberikan Dudu ini bersifat pinjaman tanpa bunga. Jika suatu saat, anak laki-laki Dudu menikah, maka Dede mesti membayar kembali böwö yang pernah diberi oleh Dudu. (2) Saudara laki-laki dari pengantin laki-laki. Misalnya, Dodo yang akan menikah memiliki saudara laki-laki, yakni Fefu, Fofo, dan Fufu. Jika mereka ini telah menikah, mereka juga punya tanggung jawab untuk ikut membayar böwö yang akan dibayar oleh Dodo. Akan tetapi, bantuan yang mereka berikan bersifat pinjaman. Ketika mereka membutuhkan, Dodo wajib mengembalikan böwö yang pernah diberikan oleh Fefu, Fofo dan Fufu. (3) Sepupu laki-laki. Misalnya, Dudu memiliki anak laki-laki sebut saja Rido, Rodo, dan Rudu. Jika mereka ini telah menikah, mereka juga ikut berkewajiban membayar böwö yang ditanggung Dodo. Bantuan yang mereka berikan bersifat pinjaman. Dari paparan ini, kita melihat perbedaan antara pemberian fadono dan talifusö. Pihak fadono memberi secara cumacuma, sedangkan pemberian talifusö mesti dikembalikan. Tidak heran jika ada adagium yang terkenal di Nias: fatalifusö ita, ba hiza lö fatalifusö gokhötada (kita bersaudara, tetapi harta kita tidak bersaudara). 145 Keempat, sihasara hada (warga satu adat). Salah satu semangat yang ditanamkan dalam organisasi adat adalah semangat saling menolong. Oleh karena itulah, sangat wajar jika warga satu adat saling menolong dalam menanggung böwö perkawinan. Persaudaraan di antara warga satu adat terbina dengan baik. Maka, pihak yang akan menikah (sangowalu) boleh meminta bantuan warga satu adat. Bahkan jika mereka tidak ada di rumah, sangowalu bi peliharaan mereka yang ada di kandang. Istilah ini disebut bawi. Bantuan yang diberikan warga satu adat mesti dikembalikan jika pihak pemberi membutuhkannya kembali. Kelima, banua (warga kampung). Dalam adat perkawinan Öri Morö,wagakang mempelai laki-laki menunjukkan dirinya sebagai orang yang bermurah hati dengan membantu pihak yang akan menikah. Bantuan yang diberikan warga kampung disebut kosi mbanua (kongsi warga kampung). Bantuan ini tidaklah cuma-cuma tetapi mesti dikembalikan apabila pihak pemberi membutuhkannya sewaktu-waktu. Dari deskripsi di atas, kita bisa melihat bahwa proses perkawinan Nias itu menarik. Menarik karena pihak penanggung böwö bukan hanya pengantin laki-laki. Ketika seorang laki-laki menikah, orang- orang sekitarnya akan membantunya. Akan tetapi, pada zaman sekarang, praktek tolong menolong dalam membayar böwö itu sudah mulai memudar. Mereka yang seharusnya menanggung böwö sudah 146 mulai tidak menyadari kewajiban adatnya. Hal itu terjadi oleh karena institusi organisasi adat sudah mulai mengalami keterpecahan Akibatnya, organisasi adat kehilangan wibawa di mata warga sehingga banyak yang keluar dari institusi adat. 2. Pihak Penerima Böwö Perkawinan Bedasarkan tata aturan adat, perkawinan Nias bukan hanya urusan kedua mempelai atau keluarganya melainkan urusan warga kampung, warga adat, bahkan kerabat lainnya. Itu sebabnya, material böwö tidak hanya diterima oleh orangtua mempelai perempuan (ama niu ). Material böwö dibagi-bagikan kepada banyak pihak. Pada zaman dahulu, jenis-jenis böwö yang diterima berbagai pihak itu memiliki nilai material berdasarkan kedudukan adat (bosi) dari ama niu . Sedangkan pada zaman sekarang, nilai material böwö cenderung tidak ditentukan oleh bosi tetapi oleh tingkat pendidikan sang gadis dan status sosial ayah. Namun, pada pokok pembahasan ini, penulis tidak memaparkan nilai material tersebut. Penulis hanya memaparkan sebutan jenis-jenis böwö itu; pada pembahasan berikutnya, penulis akan memaparkan nilai material böwö berdasarkan tingkatan bosi. Pihak penerima böwö dalam perkawinan Nias, yakni: a. S (Pihak Mempelai Perempuan) 147 Apabila diartikan secara harafiah, kata so’ono berarti yang melahirkan atau yang memperanakkan. Namun, berdasarkan hukum atÖrMorö fondrakö si lima ina), yang disebut so’ono adalah keluarga inti dari mempelai perempuan. Pihak so’o terdiri dari saudara mempelai perempuan ( tiusö ’owal ), orangtua (ama-ina niu ), dan kakek-nenek (tua-awe). Jenis-jenis böwö yang diterima pihak so’ono, sebagai berikut: Pertama, böwö untuk . Pihak yang disebut talifusö adalah saudara kandung dari mempelai perempuan ( ).Secara adat, sebutan böwö yang diterima saudara bungsu adalah siakhi ziwalu. Sedangkan böwö yang menjadi hak saudara sulung disebut diberikan kepada saudara sulung ketika ia melihat apakah material böwö sudah mencukupi atau belum. Selain itu, saudara sulung mendapat böwö yang disebut böwö yang utama ( ). Saudara tengah mendapat bagian böwö yang disebut sitatalu ziwalu. Misalnya, Yulia memiliki 7 saudara laki-laki. Saudara nomor 2 s/d 6 disebut saudara tengah. Jika ketujuh saudara Yulia ini akan menikah, maka suami Yulia mesti ikut membayar böwö pernikahan mereka. Jadi, semakin banyak saudara laki-laki dari seorang perempuan, semakin besar pula tanggungan pihak yang memperistri sang perempuan itu. Sistem pemberian böwö semacam ini membuat 148 perempuan yang memiliki banyak saudara laki-laki kadang tidak berani dinikahi oleh seorang laki-laki. Semua saudara dari mempelai perempuan menerima tambahan böwö yang disebut diwo. Secara harafiah, kata diwo berarti lauk. Dalam sistem böwö, diwo tidak dimasukkan di dalam era-era mböwö yang dihitung ketika diadakan ritual perhitungan böwö (fanika era-era). Diwo hanyalah sebutan, sebab wujud materialnya adalah babi yang berukuran minimal 4 alisi. Dalam sistem böwö zaman lampau, material böwö untuk saudara sulung ( siziu ) dan saudara bungsu (siakhi ziwalu) lebih besar nilainya daripada bagian saudara tengah ( siziu ). Misalnya, siziu mendapat böwö sebesar 4×4 alisi dan siakhi ziwalu sebesar 3×4 alisi, sedangkan sitatalu ziwalu hanya mendapat 1×4 alisi. Pertimbangan pembedaan bagian böwö itu, yakni dalam struktur keluarga, anak sulung adalah pengganti posisi ayah (ono fangali mbörö sisi zatua). Saudara laki-laki sering disebut sebagai sangosisi fadono (pihak yang memelihara relasi dengan pihak yang menikahi saudarinya). Anak sulung adalah pribadi pertama yang berhak sebagai sangosisi fadono. Oleh karena itu, anak sulung memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan istimewa dalam keluarga. Kedudukan istimewa tentu mendapat perlakuan istimewa pula. Sedangkan saudara bungsu adalah anak yang paling terakhir “kmaihat ngt.Saak kmai ra aua 149 pada saat ia dinikahkan oleh orangtuanya. Anak bungsu juga adalah anak yang paling terakhir menerima tolo-tolo (bantuan) dari pihak fadono sehingga wajar jika diberikan bagian yang lebih besar daripada saudara tengah. Kedua, böwö untuk orangtua mempelai perempuan. Ibu mempelai perempuan mendapatkan böwö aya nina. Kata aya berarti hormat; nina dari kata dasar ina yang berarti ibu. Jadi, aya nina adalah böwö penghormatan yang diberikan kepada ibu mempelai perempuan (ina niu ). Selain aya nina, ibu mempelai perempuan menerima tambahan böwö (bulu mböwö) yang disebut famokai danga. Arti famokai adalah pembuka; danga dari kata dasar tanga = tangan. Famokai danga berarti böwö yang diserahkan kepada iniu agar ia merestui anaknya untuk dipersunting dan pindahkan ke rumah mempelai laki-laki. Sedangkan ayah ( ama ’owal ) mendapat böwö yang disebut öba undru’u. Istilah öba berarti kebal. Istilah itu identik dengan abe’ = keras atau aro = kokoh-kuat. Sedangkan istilah bul berarti daun rumput; khususnya daun rumput yang dapat dijadikan ramuan kekebalan tubuh. Kata öba sebenarnya lebih cocok digunakan untuk seseorang yang memiliki ilmu hitam (elemu) pengebal tubuh. (orang itu menakutkan karena dia memiliki ilmu pengebal tubuh). Dalam tradisi Nias kuno, 150 merupakan böwö yang diberikan kepada ayah mempelai perempuan agar ia kebal dari segala ancaman musuh. Selain jenis-jenis böwö di atas, orangtua mempelai perempuan mendapatkan böwö sulö mböra. Istilah sulö = pengganti; mböra dari kata dasar böra = beras. Sulö mböra merupakan böwö yang diterima oleh orangtua niu sebagai biaya beras untuk jamuan makan pada pesta pernikahan (fakhe wangowalu). Tidak hanya itu, orangtua juga menerima böwö yang disebut sangawawuli ba mbanua. Kata sangawuli = yang kembali; ba mbanua = kepada warga kampung. Arti sangwuli ba mbanua adalah böwö yang sebagian digunakan ama ’owal untuk menjamu warga kampungnya; sebagian lagi digunakan ama ’ou untuk membeli perhiasan anaknya, seperti cincin emas, gelang emas, kalung emas dan tusuk konde emas. Pada waktu pertunangan, orangtua menerima böwö yang disebut köla. Pada zaman sekarang, istilah köla sudah jarang dipraktekkan, bahkan banyak warga Nias dan tokoh adat Nias yang sudah tidak mengenal istilah tersebut. Apabila perempuan yang akan dipersunting pernah bertunangan dengan lelaki lain, maka laki-laki yang akan menikahi perempuan itu wajib memberikan böwö yang disebut fameta mbulu nohi safusi kepada orangtua mempelai perempuan. Arti harafiah sebutan fameta mbulu nohi safusi, yakni 151 pelepasan daun kelapa putih. Böwö tersebut merupakan simbol untuk melepaskan ikatan pertunangan terdahulu. Ada juga böwö yang menjadi hak orangtua yang disebut su’a mbawi. Istilah su’a berarti ukur(an); mbawi dari kata dasar bawi berarti babi. Su’a diberikan kepada pihak so’ono yang mengukur babi pernikahan. Pada zaman dahulu, seseorang yang mengukur takaran babi perkawinan akan mendapat tambahan (bulu) böwö yang disebut famalali dawi-dawi guri. Kata famalali = pemindahan; dawi-dawi dari kata tawi-tawi = gantungan; guri = botol. Selain itu, pihak orangtua juga mendapatkan böwö tambahan babi pernikahan (nönö mbawi wangowalu) yang disebut fanema fesu mbawi (penerimaan ikat babi pernikahan). Dalam tradisi Nias kuno, fanema fesu mbawi diserahkan pada saat ritual menghantar babi pernikahan ke rumah mempelai perempuan (fondröni bawi). Dalam sistem böwö, orangtua menunjukkan dirinya sebagai orang yang bermurah hati. Oleh karena itu, ia mau membagikan böwö kepada warga kampungnya yang disebut töla naya mbanua. Istilah töla = inti; naya dari kata dasar aya = hormat; (m)banua = warga kampung. Sebutan töla naya mbanua berarti böwö yang diberikan kepada pihak orangtua untuk menghormati warga kampungnya. Setelah ketua adat menyelesaikan pembicaraan adat, orangtua mendapatkan böwö yang disebut fanunu manu. Apabila diartikan secara harafiah, kata fanunu = pemanggangan/pembakaran; manu = 152 am.Dam raÖrMor böwö fanunu manu adalah böwö yang diberikan kepada pihak so’ono (orangtua) untuk digunakan dalam ritual fanika era-era. Ritual fanika era-era bukan hanya ritual untuk menghitung era-era mböwö (jenis-jenis böwö) yang ditanggung sangowalu (mempelai lakilaki), melainkan juga ritual di mana ketua adat menyampaikan pesanpesan moral kepada sangowalu agar bersikap sopan-santun kepada keluarga dan warga kampung dari calon istrinya. Setelah para ketua adat melakukan pembicaraan adat (huo-huo hada) dan berhasil mencapai mufakat mengenai besaran böwö, maka para ketua adat melakukan ritual pemanggangan ayam (fanunu manu). Para ketua adat menyantap ayam panggang tersebut secara bersama-sama dicampur dengan tuak. Dam rdisi no i o’ö,orngt i tambahan böwö yang disebut sigu-sigu nomo. Böwö ini diserahkan kepada pihak so’ono untuk membersihkan rumahnya yang kotor karena dijadikan tempat pesta pernikahan. Böwö ini sudah jarang yang memberlakukannya di dalam sistem böwö perkawinan oleh karena semakin membebani pihak mempelai laki-laki. Kita pernah mendengar pepatah Nias yang berbunyi: ” mböwö a,hönö no osai (ribuan tanggungan böwö telah diserahkan, tetapi ribuan lagi masih ditangguhkan penyerahannya)Pepatah tersebut mau menunjukkan bahwa mempelai laki-laki masih banyak tanggungannya kepada pihak istrinya. Dalam 153 kaitan itu, pada zaman dahulu, mempelai laki-laki wajib memberikan böwö tambahan yang disebut fanaitagö mbalö gömö kepada orangtua calon istrinya. Secara harafiah, kata fanaitagö berarti penaruhan/pencantolan/peletakan. Namun, dalam hukum adat Öri Morö, kata ini berarti penangguhan. Sedangkan kata mbalö berasal dari kata dasar balö yang berarti ujung awal; kata gömö berasal dari kata dasar ömö = utang. Jadi, arti fanaitagö mbalö gömö adalah penangguhan penyerahan böwö kepada pihak istri. Menurut informan Bazatulö Gulö, böwö yang ditangguhkan penyerahannya itu, akan diberikan oleh suami jika pihak istri membutuhkannya sewaktu- waktu. Makna penangguhan böwö adalah agar relasi suami dengan pihak istrinya tetap memiliki ikatan. Dengan demikian, böwö berfungsi sebagai pengikat relasi kekeluargaan antara mempelai pria dengan keluarga mempelai perempuan. Jenis böwö tambahan lainnya yang mesti diberikan oleh mempelai lakilaki kepada orangtua calon istrinya adalah bawi wangowalu (babi pernikahan). Babi pernikahan terdiri dari 2 ekor. Seekor disembelih untuk dibagikan kepada pihak mempelai laki-laki yang disebut ö zangowalu (jamuan pihak mempelai laki-laki) dan kepada warga kampung mempelai perempuan ( ö niu ). Babi yang seekornya lagi disembelih untuk dibagikan kepada so’ono, paman (uwu) dan paman dari paman uwu ( nga’ötnuwu ). Selain babi pernikahan ini, ada juga babi lain yang disembelih yang disebut bawi 154 tarawatö (babi tuan rumah). Babi tarawatö merupakan lauk pauk pihak sangowalu. Kadangkala, sebagian babi tarawatö tersebut dibagikan kepada warga kampung niwal dan kepada tamu pihak sangowalu. Pada zaman dahulu, babi pernikahan masih ada tambahannya minimal 2 x 4 alisi babi. Sebutan böwö itu adalah nönö mbawiba (tambahan babi untuk so’ono ). Menurut informan Bazatulö, tambahan semacam ini menjadi peluang bagi pihak so’ono untuk memperbesar nilai material böwö yang justru membebani mempelai laki-laki. Ayah dan Ibu mempelai perempuan berhak menerima böwö tambahan yang disebut diwo (lauk pauk) dalam wujud babi. Jika ayah mempelai perempuan berkedudukan adat tingkat ke-10 (bosi si-10), maka ia menerima böwö yang disebut famoloi manu. Secara harafiah, famoloi = pelepasan; manu = ayam. Ritual pelepasan ayam dilakukan sebagai tindakan simbolis pengesahanbahwa laki-laki dan perempuan sudah sah bertunangan. Ketiga, böwö untuk kakeknenek. Selain diwo, kakek berhak menerima böwö yang disebut aya dua. Kata aya = hormat; dua dari kata dasar tua = kakek. Dengan demikian, aya dua adalah böwö yang diberikan kepada kakek mempelai perempuan. Menurut tokoh adat Bazatulö Gulö dan Atulöwa Gulö, jika kakek sudah meninggal dunia, maka jenis böwö tersebut diberikan kepada nenek (aya gawe). 155 b. Sirege (Saudara ayah mempelai perempuan) Dalam struktur kekeluargaan, saudara ayah mempelai perempuan disebut sirege (yang terdekat). Pada acara ritual femanga gahe, pihak sirege ini menunjukkan dirinya sebagai pihak yang memiliki kemurahan hati manakala mereka membekali kedua mempelai dengan perkakas rumah tangga, anak babi, anak ayam, bibit tanaman, dan pakaian. Berdasarkan sistem böwö, pihak sirege menerima beberapa böwö perkawinan, yakni: pertama, famatörö, yaitu böwö yang dibagi secara merata oleh para sirege. Kedua, öba sebua (pengebalan sirege). Kisanulana’a. Istilah sanulo = pencungkil/pengecek/pemeriksa/yang melihat ; = emas. Sanulo ana’a merupakan böwö yang diberikan kepada salah satu sirege yang bertugas melihat emas pernikahan. Pada zaman dahulu, pihak sirege mesti mengecek emas pernikahan. Tujuannya adalah agar pihak sangowalu tidak memberikan emas yang bukan miliknya. Keempat, sanu’a ( sanu’a = pengukur; bawi = babi). Artinya, böwö ini diberikan kepada sirege yang bertugas mengukur babi pernikahan. Kelima, bulu sidua, yaitu böwö untuk menghormati pihak sirege. Kata bulu = daun; sidua = yang dua. Sebenarnya istilah bulu sidua adalah ana’a dua (dua jenis emas), yaitu satu emas yang memiliki kadar 18 karat dan satu lagi berkadar 14/16 karat. 156 Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada tiga istilah yang perlu kita dalami, yakni sanu’a ,öba undru’u dan öba sebua. Ketiga istilah tersebut termasuk istilah kuno sehingga hampir tidak diketahui oleh masyarakat adat. Istilah sanu’a (Morö)sa n istilah famaigi bawi dam rdisi srka ihae’Swal Gunungsitoli. Dalam acara fbawi (pengukuran babi) atau famaigi bawi (melihat babi pernikahan), utusan pihak mempelai perempuan yang biasanya adalah sirege, bertugas mengecek keadaan babi pernikahan: apakah tambun atau kurus, apakah ekor dan telinga babi belum dipotong, bulunya tidak berwarna merah. Bagi masyarakat Nias, babi pernikahan tidak boleh berbulu merah. Sebab, babi berbulu merah biasanya digunakan untuk menyelesaikan perkara. Apabila ekor atau telinga babi dianggap cacat (telah dipotong atau dilubangi), maka pihak yang melakukan f bawi/famaigi bawi berhak menjatuhkan denda kepada pihak mempelai laki-laki. Oleh karena itu, babi pernikahan semakin bertambah ukurannya. Menurut Victor Zebua, istilah öba undru’u dan öba sebua ha erpa Morö;tatdaditkadi wan ra, Batu, dan Gomo. Kedua istilah tersebut muncul pada dua tahap awal perwin maadi o’ itpatap famaigi niha (pertunangan) dan tahap famorudu nomo. Kata famorudu berarti penyatuan; sedangkan nomo berasal dari kata dasar omo = rumah. 157 Jadi, famorudu nomo berarti saat pihak orangtua mempelai lakilaki dan pihak mempelai perempuan membicarakan jujuran perkawinan. Öba undru’u muncul pada kedua tahap itu, sedangkan öba sebua hanya terdapat pada tahap famorudu nomo. Dalam tafsiran dan analisis Victor, kedua istilah tersebut memiliki makna yang sangat dalam. Menurut Victor, jika kita melihat konteks dari tahap adat perkawinan di mana kedua istilah tersebut muncul, maka kita dapat melihat bahwa keduanya disimbolkan sebagai perikatan atau gabungan (pertunangan) antara dua belah pihak. Maksud dari kata öba (kebal) tentulah sebuah kekebalan bagi perikatan itu. Öba bul menyimbolkan perikatan antara seorang pemuda dan seorang pemudi. Dengan adanya öba undru’u ini menandakan seorang pemuda telah mengikat seorang pemudi secara kebal atau kuat. Pada zaman sekarang (di kawasan lain) hal ini disimbolkan dengan cincin. Öba undru’u dalam tahap famaigi niha, dua keluarga belum memiliki ikatan. Namun, setelah öbul yang kembali diberikan pada tahap famorudu nomo, pada saat itulah dimulai proses perikatan dua keluarga. Sedangkan öba sebua menyimbolkan perikatan antara dua keluarga sang pemuda dan sang pemudi tersebut, dimana momentumnya terjadi saat famorudu nomo yang juga disebut femanga bawi ni sila hulu; dan sekalian membicarakan jujuran yang 158 harus dilaksanakan. Dua keluarga yang telah bersekutu diharapkan membangun persekutuan yang kebal dan kuat meski ada keluarga ketgaya’coba - c suk’. c. Banua (Warga kampung mempelai perempuan) Warga kampung disebut banua. Dalam acara fanika era-era, ketua kampung/ketua adat (satua mbanua/satua hada) wajib hadir. Ketua kampung/adat berpartisipasi aktif, selain memimpin ritual fanika era-era, ia juga ikut menentukan böwö yang akan ditanggung oleh pihak laki-laki. Böwö untuk warga kampung disebut sinema mbanua (penerimaan warga kampung). Ketua adat yang memberkati mempelai berhak menerima böwö yang disebut howu-howu zatua (berkat ketua adat). Tidak hanya itu, ketua adat tersebut menerima böwö fanika era-era. Istilah böwö fanika eraera berarti böwö yang diberikan kepada ketua adat yang memimpin ritual fanika era-era. Ketua adat yang memimpin ritual fanika era-era mendapat tambahan böwö yang disebut fanika lae. Istilah fanika berarti perobekan; lae = tempat makanan dari daun pisang. Maksud fanika lae adalah sebagai simbol bahwa semua böwö sudah lunas. Istilah fanika lae ini ternyata tidak hanya terdapat di Öri Mo rö, tatdat DesaSrö iwali oli.Pda 159 zaman dahulu, wujud fanika lae adalah perak (firö) atau emas ( ana’a ), akan tetapi pada zaman sekarang wujudnya adalah uang minimal Rp 100. 000 (seratus ribu rupiah). Fanika lae tersebut ditaruh di bawah piring wadah air yang dipakai untuk memberkati mempelai laki-laki. Sementara warga kampung mempelai perempuan berhak menerima böwö yang disebut mbolo-mbolo. Kata mbolo-mbolo berarti yang disebar-sebarkan. Mbolo-mbolo tersebut dibagi-bagikan kepada warga adat. Berdasarkan sistem pemberian böwö, warga kampung mendapat tambahan babi pernikahan (nönö mbawi wangowalu), yakni (1) nönö mbawi wangowalu ba mbanua (tambahan babi pernikahan untuk warga kampung); (2) samahö bawi (böwö yang diserahkan kepada ketua adat yang menikam babi pernikahan). d. Uwu (Paman Pengantin Perempuan) Pihak yang disebut paman, yakni saudara laki-laki dari Ibu. Istilah uwu (sumber) dijadikan sebutan untuk paman (sibaya). Paman adalah sumber berkat bagi keponakan. Paman pengantin perempuan sering disebut sebagai yang empunya keponakannya (sokhö). Paman pengantin perempuan kadang menyebut keponakannya sebagai okhöta (harta). Sebutan uwu dan sokhö – okhöta hendak menunjukkan posisi (fetaro) keduanya di mana pihak paman lebih tinggi daripada pihak keponakan. Selain itu, pihak paman seringkali 160 disebut sebagai ngöfi nidanö (tebing sungai) sedangkan pihak yang menikahi saudari paman adalah idanö (air sungai). Itu sebabnya ada padam haNia” Alawa imoroi ni (lebih tinggi tebing sungai daripada air sungai). Pameo tersebut hendak mengatakan bahwa pihak yang menikahi seorang perempuan mesti taat dan tunduk serta sopan terhadap pihak keluarga dari istrinya. Dalam sistem böwö, pihak uwu berhak menerima 3 jenis böwö, yaitu tawi naya nuwu, adu ba nuwu dan töla naya nuwu. Marilah kita memahami istilah-istilah itu satu persatu. Kata tawi = gantungan, naya dari kata dasar aya = hormat, nuwu dari kata dasar uwu = paman. Istilah tawi naya nuwu berarti böwö penghormatan untuk menyambut kedatangan pihak uwu. Sebagai bentuk penghormatan, böwö tersebut seolah-olah dikalungkan di leher paman; sama seperti di zaman ini jika ada pemuka agama atau tokoh terhormat yang hadir di suatu pesta lalu disambut dengan mengalungkan karangan bunga di lehernya. Istilah adu berarti patung. Masyarakat Nias kuno biasa membuat patung orangtua yang sudah meninggal untuk disembah. Patung orangtua atau leluhur disebut adu zatua. Patung tersebut ditaruh di dalam rumah, dan masyarakat Nias kuno meyakininya sebagai pelindung dan pemberi berkat terhadap seisi rumah ituKata ba nuwu berarti kepada paman. Maka, adu ba nuwu adalah böwö yang diberikan kepada pihak paman untuk menghormati roh leluhur 161 dari pihak paman. Sedangkan istilah töla naya nuwu dapat diartikan demikian, töla = inti/yang utama, naya dari kata aya = hormat, nuwu dari kata uwu = paman. Jadi, töla naya nuwu berarti böwö yang utama yang diberikan kepada paman. Orangtua mempelai perempuan wajib memberikan ömö ndraono (utang anak-anak) kepada pihak paman. Namun, ömö ndraono tersebut tidak menjadi tanggungan mempelai laki-laki. Selain 3 jenis böwö tersebut, uwu juga menerima tambahan babi pernikahan, minimal sebesar 1 balaki (2×4 alisi babi). e. Nga’ötNuw (Paman dari paman pengantin perempuan) Pihak nga’ötnu yakni paman dari uwu. Pihak nga’öt nuwu berhak menerima böwö yang disebut (1) lumö dawi naya nuwu, (2) lumö nadu ba nuwu, dan (3) lumö döla naya nuwu. Menarik untuk kita uraikan arti istilah-istilah tersebut. Kata lumö berarti bayangan. Dengan demikian, secara harafiah istilah lumö naya nuwu berarti bayangan hormat paman. Istilah bayangan merupakan bahasa halus untuk menyebut setengah (matonga). Oleh karena itu, nilai material lumö dawi naya nuwu hanya setengah dari tawi naya nuwu. Misalnya, jika pihak uwu menerima tawi naya nuwu sebesar 1, 5×4 alisi ( 6 alisi), maka pihak nga’ötnuwu hanya menerima 3 alisi babi. Istilah lumö nadu ba nuwu berarti böwö yang diberikan kepada nga’öt yang nilainya hanya setengah dari nilai material adu ba nuwu. Sedangkan lumö döla naya nuwu adalah bagian böwö yang nilainya hanya 162 setengah dari nilai material töla naya nuwu. Dari paparan di atas, pihak nga’ötnuwu berhak menerima böwö yang nilainya hanya setengah dari bagian böwö yang diterima oleh uwu. Dalam kultur Nias, relasi kekeluargaan antara uwu, terus dibangun dan dipelihara. Mengapa terus dibangun dan dipelihara? Ada beberapa alasan. Pertama, masyarakat Nias meyakini bahwa pihak uwu dan adalah sumber dan pemberi berkat bagi pihak kedua mempelai. Kedua, masyarakat Nias juga menaruh harapan kepada uwu dan sebagai pihak yang menuntun anak-anak dari fadono. f. Siso ba huhuo (Juru runding) Siso ba huhuo adalah juru runding atau penghubung antara pihak laki-laki dengan pihak mempelai perempuan dalam proses perkawinan. Siso ba huhuo biasanya adalah orang yang memiliki keahlian berbicara secara adat. Sebab, peran siso ba huhuo tersebut sangat menentukan tercapainya kesepakatan antara pihak keluarga mempelai laki-laki dengan keluarga mempelai perempuan. Tradisi siso ba huhuo (go-between ) ik nyatdisi iMorö etpi terdapat juga di dalam tradisi Nias Selatan Seseorang yang menjadi siso ba huhuo bisa berasal dari pihak mempelai laki-laki ataupun dari pihak mempelai perempuan. Atas jasanya, siso ba huhuo menerima böwö yang disebut balö ndela. 163 Istilah balö = ujung, ndela dari kata dela = titian. Jadi, balö ndela adalah böwö penghubung antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki. Balö ndela menjadi hak siso ba huhuo jika dialah yang pertama mengungkapkan niat pihak laki-laki kepada keluarga perempuan ( samatu’a i ). Jika siso ba huhuo ini tetap menjadi perantara hingga pelaksanaan pesta perkawinan, maka siso ba huhuo menerima böwö yang disebut fali-fali mbalö halöwö (penyelesaian pekerjaan). Menurut Tageli, nilai material balö ndela minimal 4 alisi babi; sedangkan fali-fali mbalö halöwö sebesar 2×4 alisi babi. g. Su (Penghantar mempelai perempuan) Pihak yang bertugas menghantar mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki dengan cara menandunya disebut sol atau samahea. Secara harafiah, sol berarti penggendong; sedangkan samahea batpenggot ÖrMorö,seusapa perkawinan di rumah mempelai perempuan (fangowalu) lalu diadakan ritual menghantar mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki yang disebut famasao. Laki-laki berjumlah minimal 4 orang akan menggotong mempelai perempuan dengan tandu untuk dihantar ke rumah mempelai laki-laki. Pihak sol adalah laki-laki dari kerabat mempelai perempuan. 164 Para sol berhak menerima böwö yang disebut howu-howu zol (berkat dari penggendong) dan tefe-tefe nidanö (percikan air). Nilai material howu- hozol biasanya sebesar 4 alisi atau bisa juga hanya 2 alisi. Sedangkan tefe-tefe nidanö sebesar 4 t babi. Para sol tersebut akan dijamu secara istimewa oleh pihak sangowalu dengan menyembelih anak babi sebagai lauk mereka saat jamuan makan; ini disebut dizol (lauk pauk penggendonng) yang ukurannya minimal sebesar 4 t babi. 165 BAB IX RITUAL ADAT NIAS A.KELAHIRAN ANAK Menurut keparcayaan kuno, dan sebelum masuknya agama di kepulauan nias, kelahiran disebut sabagai salah satu bagian dari proses kejadian dalam tata kosmos. Untuk menyelaraskan peristiwa tersebut dengan ketertiban kosmos, maka tetua masyarakat jaman dulu, dibuatkan patung dari kayu sebagai lambang dari penciptaan manusia. Dalam masa-masa kandungan sang bayi ada yang disebut sebagai masa prenatal, yaitu masa-masa yang ditempuh oleh kedua orang tua bayi. Masa prenatal ini adalah masa yang berarti disucikan, dalam masa ini hal-hal yang dianggap tidak baik untuk dilakukan tidak boleh dilakukan. Orang tua sang bayi tidak boleh memukul atau membunuh hewan, tidak boleh melintasi tempat terjadinya pembunuhan, tidak boleh melewati kuburan, dll. Maksud dari itu adalah agar anak yang lahir tidak akan mendapatkan karma dari hal- hal buruk yang dilakukan oleh orang tuanya. Contohnya apabila 166 orangtuanya pernah memukul kucing pada waktu si bayi didalam kandungan, dan jika si anak pada saat remajanya sering gemetar dan pingsan maka ia disebut "no la'angahalo'o mao" artinya dia telah mendapatkan sifat-sifat kucing yang telah kena pukul. Dengan kata lain, "amonita" ini bermaksud agar proses kejadian kehidupan yang sedang dalam proses itu, tidak dinodai oleh bibit-bibit atau unsur- unsur keburukkan. Lalu dalam 3 sampai 5 bulan pertamanya kedua orangtuanya, berkunjung ke rumah mertua (orangtua istri), dan melakukan adat yang disebut "fangoroma beto" atau memperlihatkan kandungan. Maksud dari kunjungan ini ialah memohon doa restu, agar proses perkembangan bayi dapat berjalan dengan selamat. Apabila anak telah terlahir di dunia, maka segeralah hal itu diberitahukan kepada lingkungan sekampung (banua) agar upacara pemberian nama segara dilakukan. Dalam acara pemberian nama orangtua si anak menyediakan daging babi untuk menjamu orang sekampunya. Setelah semua warga berkumpul maka upacara pemberian nama akan segera dilakukan. Dahulu "salawa" atau kepala kampung yang memilih nama untuk si anak, tetapi sekarang ini orangtua yang memilih nama bagi anaknya, dan diresmikan oleh kepala kampung. Apabila adat ini tidak dilakukan oleh orangtua si anak maka kedua orangtua si anak akan di usir dari persekutuan kampung, yang dalam bahasa nias disebut "latibo'o banua". Kemudian anak yang baru lahir ini dibawa lagi kepada orangtua 167 ibunya atau yang sering disebut "uwu". Dalam kunjungan ini oleh orang tua si anak harus memberikan kepada "uwu" 1 pau emas (1 pau = 10 gram) jika sang anak adalah laki-laki dan 1/2 pau emas untuk anak perempuan. Untuk anak-anak yang lahir setelah ini pemberian emas ini dapat dikurangi sesuai kemampuan orang tua. Dalam kunjungan ini orangtua si anak harus "molowo", yang artinya membawa nasi dengan daging anak babi yang telah direbus. Lalu akan dilaksanakan yang namanya "tefetefe idano" atau pemercikkan air, pemercikkan air ini dilakukan kepada si anak dan kepada orangtuanya juga. Setelah upacara ini selesai, kepada orangtua anak diberikan seekor babi, ayam, sebuah periuk kecil dari tanah liat yang berisikan beras dan sebutir telur dan ditutup dengan daun pisang. Dan kepada sang anak dihadiahka emas seadanya yang disebut "lofo nono" atau rejeki anak. Setelah sampai di rumah, jari anak kecil yang baru lahir itu ditusukkan untuk menembus tutup periuk itu, serta isi periuknya dimasak untuk ibunya, ini dilakukan agar si anak kelak selalu murah rezeki dan cepat berbicara. B.Perkawinan Pemuda yang ingin mencari jodoh harus memilih secara diam-diam gadis yang ditaksir, karena dalam adat Nias dilarang untuk berhadapan atau berbicara langsung dengan gadis pilihan hati. Isitilah 168 mencai odoh ni ebut“aiNha(erh s ra ra daNiaTh).“ma lö” erh iwaö n as Stn).“ - li” daaHiisiaa wömta a dan Silawalawa). Istilah ini berbeda-beda sesuai daerah adat masing- masing. Tahap mencari jodoh ini juga memakai cara: Manandra Fangifi (Tuhegewö, Amandraya, dan Aramö) artinya melihat jodoh baik atau tidak dari mimpi si laki-laki calon mempelai atau Famaigi TMa(Löwaat ha odoh ik tatk r pemeriksaan jantung ayam. Jika laki-laki telah menemukan tambatan hatinya, maka melapaa n aSo,Ba lödr,Samauai,S menakasttgakepa Hiwa(at takeluaga dekat) calon mempelai wanita apakah belum terikat dan bersedia menerima pinangan atau lamaran. FAMAT(AarTan) Jika hal diatas sudah dilakukan dan sudah mendapat jawaban dari pihak keluarga calon mempelai wanita. Maka, pihak laki-laki sudah bisa menyampaikan lamaran secara resmi kepada pihak perempuan. Tanda jadi dari pihak laki- laan an Afsi ara yakni: 1. Tawuo atau sirih 169 2. Betua atau Kapur sirih 3. Gambe atau Gambir 4. Fino atau buah Pinang muda 5. Bago/Bajo atau Tembakau BOLANAFO Semua bahan-bahan ini dibungkus dengan rapi. Sebanyak 100 lembar sirih disusun berdempetan. Inti acara ini ada melamar secara resmi tambatan hati yang berlangsung di rumah pihak pern.Tngathaimailryaistla F - fohu lu dai” pernjn itdengadalarbisabaa tanpa resiko apapun. Famatua akan digelar di rumah pihak perempuan. Acara ini akan tsusdai FaiBa au kesepakatan mahar dari pihak perempuan dan Fame Laeduru atau pertukaran cincin. Acara Famaigi Böwö dipandu oleh Satua Famaigi Böwö meliputi: ? Penyerahan Babi Jantan hidup-hidup ukurun 7 alisi (sesuai kesepakatan kedua belah pihak) ? Penyerahan Afo sisara (sirih) ? Kepada pihak perempuan disampaikan maksud dan tujuan kedatangan, kemudian disambut oleh ketua adat dan pihak perempuan, setelah selesai lalu dilanjutkan makan bersama. 170 Dalam proses ini biasanya satua (orang tua) kedua belah pihak akan ngobrol dengan banyak menggunakan Amaedola atau peribahasa/pepatah atau perumpaan. FANGÖRÖ (Kunjungan ke Rumah Calon Mertua) Fangörö adalah Kunjungan calon mempelai laki-laki ke rumah calon mertua. Satu hari setelah Faimaigi Böwö calon mempelai laki-laki datang ke rumah calon mempelai wanita membawa nasi dan lauk, seekor anak babi yang telah dimasak, serta membawa seperangkat sirih. Di rumah calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki disambut dengan seekor anak babi yang dipotong dan sudah dimasak. Sebagian dibungkus di bawa pulang untuk oleh- oleh kepada keluarga laki-laki. FANEMA BOLA (Penentuan Jujuran) Kunjungan pihak perempuan ke rumah pihak laki-laki tanpa disertai penganten perempuan, hanya disertai saudara laki-laki (wali) si perempuan. Kedatangan pihak perempuan disambut dengan menambatkan 2 ekor babi besar untuk dihidangkan dan dimakan bersama, babi dibelah sama rata. Acaapenghitn jurn ni ebut“FngaBa NisiiaHulu” rinyaseekorbadibh rkepa mpa ekor, separuh untuk perempuan dan separuh untuk pihak laki-laki, 171 sebagai simbol kesempakatan, mempersatukan dua keluarga, ini artinya tunangan atau lamaratn pihak laki-laki tidak dapat dibatalkan lagi. Jika Batal, pihak perempuan harus mengembalikan jujuran berlipat ganda kepada pihak laki-laki dan sebaliknya, pihak laki-laki tidak menerima pengembalian jujuran jika dibatalkan sepihak oleh pihak laki-laki. Acara ini istilahnya berbeda-beda disetiap daerah masing-masing. 1. Fanunu Manu Sebua, daerah Laraga 2. Famorudu Nomo, daerah Moro 3. Fangerai Böwö, daerah Aramö 4. Fanofu Böwö, daerah Bawömataluo FAMEKOLA (Penyerahan Mahar) Keluarga Pihak laki-laki datang ke pihak perempuan untuk menyerahkan mahar sesuai kesepakatan di awal dengan membawa sirih sebagai tanda kehormatan kepada pihak perempuan. Pihak perempuan menyambut dengan menyediakan 3 ekor babi, yakni: Untuk rombongan pihak laki-laki yang datang Untuk ibu calon mempelai laki-laki Satu ekor lagi dibawa pulang hidup-hidup 172 Pihak perempuan datang melihat babi adat pernikahan, cocok atau tidak menurut persyaratan : babi yang melambangkan kedua pihak keluarga, dipelihara secara khusus sejak kecil hingga besarnya sekitar 100 Kg atau lebih. Babi tidak boleh cacat, ekornya mesti panjang, dan warna bulunya harus sama, tidak boleh berwarna belang atau merah, warnanya harus satu hitam atau putih. Babinya berwibawa (terlihat dari taringnya, ekornya, bulu tengkuknya). Maera laFnu’aBaala ? Menentukan hari dan tanggal pernikahan (Falowa) ? Persiapan sehubungan perlengkapan pernikahan ? Menghitung/mengingatkan jumlah mahar yang masih belum dibayarkan. Besar böwö (Mahar) ditentukan oleh tinggi rendahnya kedudukan dalam adat Penerimaan Bowo adalah sebagai berikut: a. Tolamböwö (Orang tua kandung) b. Bulimböwö (Famili terdekat) c. Pelaksanaan penerimaan böwö ini dilakukan pada waktu pesta pernikahan FAME eUuk aloMeeai) T rsebm erkan lakaupaa me’ (tuntunan cara hidup untuk berumah tangga). Calon pengantin pria 173 ditemani teman-temannya (Orang tua tidak ikut) datang ke rumah perempuan membawa seperangkat sirih. Para ibu-ibu pihak keluarga perempuan menasehati sang gadis, biasanya si gadis menangis (Fme’= ngissidis,kaenaan h gakeluaga Mulai saat fa me’dibukah (Armbadagenda (Göndra) terus menerus, sampai hari pesta dilaksanakan. Sang gadis pun dipingit, untuk menjaga kesehatan dan kecantikannya. Dalam adat NIAS, peran Paman sangat dihormati (Paman = Sibaya/Saudara laki – laki ibu si gadis) sebelum pernikahan dilangsungkan, maka pihak perempuan melaksanakan Fogauni Uwu (Mohon doa restu Paman untuk pelaksanaan pernikahan mendatang). FOLAU BAWI (Mengantar Babi Adat) Sehari sebelum pernikahan, pihak laki-laki mengantar bebarapa babi pernikahan dan pengiringnya ke rumah keluarga perempuan. Babi Adat ini diberangkatkan dari rumah keluarga laki- laki dengan upacara tertentu, dan disambut oleh pihak perempuan juga dengan upacara tertentu dengan syair yang berbalasbalasan. Kedatangan rombongan pihak laki-laki disambut dengan memotong dua ekor babi yang dimakan bersama juga untuk dibawa pulang. Acara ini disebut Fondröni Bawi, dengan rincian pembagian Babi Adat adalah sebagai berikut : 174 – Babi yang pertama: yang paling besar untuk keluarga perempuan (Sono) n hapan ga(Uwu – Babi yang kedua, diperuntukkan bagi warga kampung keluarga si gadis (Banua) dan pihak laki-laki (Tome) Menguliti dan memotong-motong babi ternyata tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Babi yang paling besar jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang menyelenggarakan pesta, demikian seterusnya hingga babi yang paling kecil. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi), karena simbi tidak boleh rusak. Simbi adalah bagian paling berharga dari babi.Cara memotong-motong daging babi di Nias dipotong secara teratur dan mengikuti pola yang nampaknya sudah lazim di sana. 1. Pertama, melepas bagian simbi. 2. Kedua, membelah babi dari mulai ujung hidung, sebelah telinga, hingga ekor yang disebut söri. 3. Ketiga, membagi bagian perut dari söri dengan menyertakan sedikit telinga yang disebut sinese. 4. Keempat, membagi rahang atas menjadi dua, yang disebut bole-bole. 5. Kelima, memotong kaki belakang, disebut faha. 6. Keenam, memotong kaki depan yang disebut taio. Semua babi dikuliti dan dipotong-potong dengan cara yang sama, 175 lalu dibagikan kepada hadirin, kerabat, dan tetangga sesuai kasta masing-masing. – Simbi adalah haknya Kepala Adat atau orang yang paling dihormati. – Söri adalah haknya ketua adat, para paman, mertua, dan ketua rumpun keluarga. – Sinese adalah haknya Ketua Adat, adik atau kakak laki-laki, tokoh agama, dantokoh pemerintah. – Bole-bole adalah haknya Ketua Adat, ketua rumpun keluarga, dan salawa. – Faha adalah haknya keponakan dan anak perempuan. – Taio diberikan khusus untuk para pemotong. Menurut adat, pihak FADONO (Saudara wanita dari penganten pern) erk ermasah tTa(ki n) ng dipotong dalam upacara itu FALOWA (Pesta Pernikahan) Acaranya : ? Pada hari pernikahan Paman datang dan disambut dengan memotong babi penghormatan ? Rombongan penganten Pria datang membawa keperluan Pesta ? Menyerahkan sirih tanda penghormatan 176 ? Penyelesaian böwö untuk Tölamböwö (orang tua kandung) menerima emas dan Bulimböwö ? Famili terdekat menerima emas dan dibagi rata ke semua ? Demin gaI’o yaNuwu ha uk an) turut dibayarkan ? Pk cadiksakaFA A’ER (MEMBUKA PIKIRAN) yaitu perhitungan kembali semua mar(Jujuraböwö tu gabölga’abay ang sudah maupun yang belum dilunasi, oleh pihak keluarga laki- laki. Biasanya selalu ada sebagian dari jujuran itu yang belum dilunasi,sering dihiasi dengan pepatah: ”Hnö öwö aw Hmböwö saw (Artinya Ribuan jujuran sudah dilunasi,ribuan jujuran belum terlunasi) Oleh Ketua adat pihak perempuan, nasehat diberi kepada penganten pria, antara lain diberitahukan tentang hutang adat yang harus dipenuhi, nasehat kewajiban suami kepada isteri, nasehat sebagai menantu kepada mertua, sebagai anggota suku. Dan acara ini kemudian berakhir dengaFme’tnono haö ert ng -barang keperluan mempelai wanita (Ono Nihalö). Tentunya adat disetiap daerah yang berada di Nias berbeda-beda sesuai dengan tata cara kehidupan masing-masing daerah. 177 BAB X KEMATIAN Ada beberapa upacara penting jika sebuah keluarga sedang berduka di Suku Nias : ? Famalakhisisi/Fatomesa (Perjamuan terakhir)Famalakhisisi adalah perjamuan terakhir bagi orang tua yang sudah mau meninggal. Kata lain dari famalakhisisi ini adalah Laome’(tker) t din a tomesa (kata benda), orang yang sudah mau meninggal akan diuparn ng ebutlaome’ Tradisi budaya Nias sampai hari ini masih melakukan ritual Famalakhisisi atau fatomesa ini. Ritual ini biasanya dilakukan pada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan mau meninggal.Famalakhisi (Perjamuan terakhir kali) diadakan bagi ayah yang sudah hampir tiba ajalnya oleh para putranya, setelah ia memberkati serta memberi doa restu kepada mereka. Pada kesempatan ini si ayah dihidangkan daging babi. Upacara ini harus dihadiri oleh putra-putranya terutama 178 yang sulung, karena tanpa berkah doa restu ayahnya, kehidupan anak tersebut akan mengalami banyak rintangan. Peranan anak laki-laki khususnya anak sulung sangat penting. Anak sulung dipandang sebagai pengganti Ayah dan menjadi pemimpin bagi saudara- saudaranya yang lain. Meskipun peranan anak perempuan tidak begitu ditekankan, tapi mereka wajib datang dan membayar utang mereka sama seperti saudaranya laki-laki. Di saat-saat terakhir seperti ini, semua anak dan cucunya datang mengunjunginya. Kedatangan mereka pertama-tama adalah untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang tua. Orangtua dalam perspektif orang Nias adalah Tuhan di dunia. Sebagai Tuhan yang tampak harus dihormati dan disembah. Maka berkat orang tua, khususnya saat akhir hidupnya diyakini sangat menentukan hidup mereka dikemudian hari. Tujuan utama Famalakhisi atau fatomesa ini adalah mendapat berkat (howu-howu) dari Orangtua yang hendak meninggal. Sebaliknya kalau ritual ini tidak dihadiri (dengan sengaja) oleh salah seorang anaknya, diyakini bahwa dia akan menjadi anak yang durhaka (tefuyu) dan akan hidup dalam ketidakcukupan atau tidak mendapat rejeki dalam hidupnya (ha sifangarö-ngarö ba kaudinga). Maka momen fatomesa ini adalah peristiwa yang sangat berharga. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah anak yang selalu tunduk dan turut pada orang tua (ono salulu-lulu khö jatua nia). Karena 179 ketaatan pada orang tua tersebut, mereka akan mendapat berkat darinya dan hidupnya akan lebih baik. Dalam acara Famalakhisi atau fatomesa ini, anak-anak dan cucu-cucu dari orang tua yang hendak meninggal akan memestakannya dan makan bersama sebagai tanda penhormatan terhadap orang tua atau kakek mereka. (Dan) Seandainya, kalau ia meninggal, ia pergi dalam keadaan kenyang dan bahagia karena dikelilingi anak-anaknya.Berdasarkan pengalaman, di Lahõmi (kampung saya), ketika seseorang sudah sakit parah, semua anggota keluarga kumpul , bahkan dari kampung-kampung lain dan memberi man mae ssa.Tu jamenyembiak bi. Setelah berdoa, lalu si sakit diberi makan oleh anggota keluarga, mulai dari yang tertua. Ini suatu kepercayaan (pesan tersirat) bahwa kita masih berharap Anda (si sakit) masih tetap kuat dan bertahan, namun seandainya kamu harus pergi, kami tidak terlalu menyesal karena kamu pergi dengan kenyang. Kami sudah melayani dengan baik sehingga seandainya engkau pergi meninggalkan kami, kamu tidak perlu mencari kami atau mengganggu kami lagi. (Ingat: orang Niaperyapa bekhu.(saNa ekhu dam kepercayaan orang Nias, bisa mengganggu orang yang masih hidup). Fanõrõ satua dan FangasiFanõrõ satua adalah upacara pemakaman keduadai ng fa.Upaini mad u”mengaaka 180 r am ka(Tehõla’a car -upacara ini bersifat potlatch yaitu unsur memamerkan kekayaan agar menaikkan gengsi keluarga dan terpandang di masyarakat. Sebab bagi orang Nias yang paling penting dalam hidup adalah Lakhõmi (Kemuliaan) atau Tõi (Nama) keluarga. Biasanya dalam upacara-upacara ini, keluarga orang yang telah meninggal akan mengadakan pesta besar-besaran. Dalam upacara ini, mereka memamerkan kekayaan dengan memotong babi ratusan ekor dan membagikan kepada sanak keluarga, kerabat dan orang sekampung bahkan dengan kampung tetangga. Namun upacara ini tidaklah bersifat wajib. Hanya bagi orang-orang tertentu saja yang memiliki harta dan uang. Sinonim dari fanõrõ satua adalah fangasi. Bagi orang yang meninggal, harus ada fangasi terjemahan harfiahnya adalah penebusan (redemption). Tapi fangasi bisa juga disebut fangasiwai artinya penyelesaian. Maka fangasi ini bisa dikatakan lebih menekankan pada penyelesaian upacara bagi orang yang telah meninggal.Dalam perspektif orang Nias fangasi tidak sekedar penebusan orang yang sudah meninggal melainkan sebuah perayaan dan penghormatan sekaligus pengenangan. Selain itu, juga saat melunasi hutang-hutangnya jika masih ada. Fangasi ini adalah semacam pesta bagi orang yang masih hidup sebagai tanda bahwa mereka sudah merelakan kepergian almarhum. Pesta ini biasanya diadakan empat hari setelah yang meninggal dikuburkan. Ritual ini 181 dil ebai nabunga(nabungadi a ng h meninggal. Ritual yang pertama sekali diadakan adalah pada pagi hari keluarga beserta kenalan dekat datang ke kuburan dan menanam bunga, dan kemudian berdoa. Setelah kembali dari kuburan, mereka akan memotong babi dan makan bersama sebagai upaya mengenang yang sudah meninggal inilah yang disebut fangasi. Di sini tidak terlihat lagi tangisan dan kesedihan, upacara ini adalah tindakan memestakan orang yang sudah meninggal. Upacara ini juga disebut sebagai penghormatan karena melalui upacara ini dia diakui eksistensinya bahwa ia pernah hidup dengan mereka, dan sekarang amahuth gi mofa oi lno) rdu naini. Dalam pesta ini, semua kerabat dan warga sekampung diundang. Orang Nias percaya bahwa yang meninggal itu akan menyadari bahwa ia telah meninggal setelah empat hari. Jadi saat seseorang meninggal sampai empat hari, ia masih belum bangun, meskipun diyakini bahwa rohnya masih berada di sekitar rumah. Saat pertama sekali meninggal, almarhum masih hidup di alam mimpi saja. Tetapi setelah empat hari, almarhum akan bangun dan di situlah ia menyadari kalau ia sudah meninggal. Maka di sana akan terdapat ratapan dan tangisan. 182 BAB XII PEWARISAN Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia dan diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Pada masyarakat Nias ketiga hukum tersebut berlaku. Secara hukum waris adat Nias, yang berhak memperoleh harta peninggalan yakni laki-laki karena suku Nias menganut sistem patrilineal. Masyarakat Nias mengenal beberapa jenis warisan yakni ; rumah pertapakan, alat- alat rumah tangga yang berharga, harta emas, kebun, tanah kosong atau lahan kosong yang belum ditanami, kedudukan dalam hukum adat dan hutang-piutang. Sedangkan, hukum waris Islam yang berlaku pada masyarakat Nias sama dengan hukum waris yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia yakni perolehan hak waris lebih diutamakan 183 terhadap pihak lakilaki. Sedangkan Hukum waris perdata dalam hal ini diperoleh dari selesainya sengketa atau permasalahan hak waris di pengadilan, jadi pihak yang menang akan berhak atas warisan yang di persengketakan 1. Kedudukan sebagai anak kandung Kedudukan sebagai anak kandung pembagian warisan masih berpatok pada sistem patrilineal yakni anak laki-laki yang berhak mendapat warisan, namun sekarang sudah adanya perubahan pola pikir dari pemberi warisan bahwasanya perempuan juga memiliki hak yang sama. Hanya saja dalam perolehan hak waris tidak sebanding dengan pemberian terhadap laki-laki karena pemberian warisan terhadap pihak perempuan dalam hal ini merupakan pembagian warisan yang disebut masi-masi atau pemberian karena rasa sayang, pemberian tersebut biasanya sebidang tanah untuk membangun rumah maupun berupa perhiasan-perhiasan dengan syarat turut serta membantu orangtuanya mencari nafkah keluarga dengan bekerja di ladang, kebun dan melaksanakan pekerjaan rumah dengan baik. 2. Kedudukan sebagai Anak Angkat Pada masyarakat Nias anak angkat dibagi dua yakni ono yomo atau menantu laki-laki. Pengambilan anak angkat karena dalam keluarga tersebut hanya memiliki anak kandung yang perempuan 184 sehingga jika anak perempuannya tersebut menikah, maka suami dari anak perempuannya akan dijadikan ono yomo yang memiliki hak atas warisan orangtua kandung si perempuan. Untuk menjadi ono yomo maka harus mengikuti persyaratan yakni marga orangtua si perempuan menjadi marganya. Selain ono yomo istilah lain yakni ono nisou. Ono nisou biasanya ada karena suatu keluarga tidak memiliki anak laki- laki maka keluarga tersebut mengambil anak saudaranya. Dalam hal ini anak saudara yang diambil berasal dari pihak laki-laki bukan dari pihak perempuan dengan alasan sebagai penerus marga. Biasanya dalam pengangkatan ono nisou diadakan acara peneguhan secara adat dengan menyediakan babi, membayar emas sebesar 3 fanulo atau 30 gram untuk diberikan kepada pengetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu si anak) serta mengundang seluruh kerabat dan masyarakat yang berada di desanya Pada akhir acara penetua adat biasanya mengucapkan kata- kata peneguhan yakni Hölihöli wanuhugö sihasara tödö yang bermakna kesepakatan bersama telah sah menjadiono nisou dan sebagai tanda berakhirnya acara adat tersebut. Pembagian harta warisanterhadap ono nisou jika sudah sah menjadi anak dalam keluarga yang mengangkatnya akan sama dengan anak kandung dari keluarga tersebut bahkan berlebih jika ono nisouberperilaku baik, 185 menghargai kebaikan orangtua angkatnya, bekerja giat dan menyayangi saudara angkatnya.

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe