Rabu, 11 Mei 2011

OBAT GENERIK YANG OFF PATENT

Pemasaran obat generik dunia dipastikan akan bergairah dalam hari-hari mendatang. Bukan karena makin banyak orang sadar obat generik mutunya tak beda dari obat paten, tetapi lebih banyak disebabkan habisnya masa paten dari beberapa obat yang selama ini menjadi tambang emas pabrik obat raksasa dunia.

Image obat generik hanya obat sederhana seperti tetracyclin dan amoxycillin niscaya akan berubah karena banyaknya obat-obat elite yang antri ke barisan obat generik.
Seperti diketahui berdasarkan hak edarnya, dunia mengenal istilah obat paten dan obat generik. Suatu obat disebut obat paten bila hanya diproduksi oleh pabrik yang menemukan obat atau yang diberi izin oleh penemunya.

Pabrik penemu diberi hak paten 15 sampai 20 tahun untuk memonopoli produksi. > Bila hak paten habis, pabrik lain boleh memproduksi obat tersebut.
Bila obat tersebut dijual dengan nama kimia zat berkhasiatnya, kita menyebutnya sebagai obat generik.

Lihat saja Norvasc (di Indonesia dipasarkan dengan nama Norvask), obat tekanan darah tinggi dan angina buatan Pfizer yang kondang itu. Selama belasan tahun obat ini menduduki sepuluh besar obat terlaris dunia. Tahun 2006 obat ini merupakan obat terlaris kedua di Indonesia. Nilai penjualan Norvask di Indonesia untuk tahun 2006 mencapai 121,453 milyar rupiah.

Nah, tepat 31 Januari 2007 kemarin masa paten Norvask berakhir dan berlomba-lombalah pabrik farmasi lain di dunia membuat versi generiknya (amlodipin).
Dan di Indonesia kini sudah beredar amlodipin 5 mg dengan harga jual sekitar sepertiga harga Norvask*. Beberapa obat laris dunia juga akan habis hak patennya pada 2008, diantaranya Risperdal (risperidone), Fosamax (alendronate), Kytryl (granisetron), Tequin (gatifloxacin), dan Clarinex (desloratadin).

Dan yang paling ditunggu-tunggu dunia farmasi sebernarnya adalah habisnya masa paten Lipitor (atorvastatin calcium), obat anti cholesterol yang merajai omzet pemasaran obat dunia selama bertahun-tahun. Selama ini Lipitor telah menambah pundi-pundi penjualan Pfizer sekitar 12 milyar dolar.

Di Indonesia saja nilai penjualan Lipitor tahun 2006 berjumlah 95,569 milyar rupiah. Tambang emas Pfizer ini akan habis masa pantennya sekitar 2 tahun lagi, yang tentunya akan menambah kemeriahan dunia obat generik tanah air. Lepasnya hak paten tentu merupakan kesedihan bagi Pfizer yang kehilangan monopoli penjualan, tapi tidak bagi ratusan pabrik farmasi lain di banyak negara yang seakan-akan mendapat durian runtuh. Dan yang lebih penting, kegembiraan si sakit/konsumen bisa mendapatkan obat bagus dengan harga lebih murah. Dibawah ini kami lampirkan Daftar Obat yang habis hak patennya tahun 2007 – 2009 yang dikutip dari Express Scripts and Generik Pharmaceutical Association.

 - Lotrel (Amlodipine and benazepril) – Novartis Jan. 31, 2007
> - Norvasc (Amlodipine) – Pfizer Jan. 31, 2007
> - Actiq (Fentanyl transmucosal) – Cephalon Feb. 5, 2007
> - Aceon (Perindopril) – Solvay Feb. 21, 2007
> - Alocril (Nedocromil) – Allergan April 2, 2007
> - Imitrex (Sumatriptan) – GlaxoSmithKline June 28, 2007
> - Geodon (Ziprasidone) – Pfizer Sept. 2, 2007
> - Coreg (Carvedilol) – Glaxo Sept. 5, 2007
> - Meridia (Sibutramine) – Abbott Dec. 11, 2007
> - Mavik (Trandolapril) – Abbott Dec. 12, 2007
> - Tequin (Gatifloxacin) – Glaxo Dec. 25,2007
> - Zyrtec (Cetirizine) – Pfizer Dec. 25, 2007
> - Clarinex (Desloratadine) – Schering-Plough 2007
> - Fosamax (Alendronate) – Merck Feb. 6, 2008
> - Camptosar (Irinotecan) – Pfizer Feb. 20, 2008
> - Effexor/XR (Venlafaxine) – Wyeth June 13, 2008
> - Zymar (Gatifloxacin) – Allergan June 25, 2008
> - Dovonex (Calcipotriene) – Bristol-M. Sq. June 29, 2008
> - Kytril (Granisetron) – Roche June 29, 2008
> - Risperdol (Risperidone) – Janssen June 29, 2008
> - Depakote (Divalproex sodium) – Abbott July 29, 2008
> - Advair (Fluticasone and salmeterol) – Glaxo Aug. 12, 2008
> - Serevent (Salmeterol) – Glaxo Aug. 12, 2008
> - Casodex (Bicalutamide) – Bristol-M Squibb Oct. 1, 2008
> - Trusopt (Dorzalamide) – Merck Oct. 28, 2008
> - Zerit (Stavudine) – Bristol-M Squibb Dec. 21, 2008
> - Lamictal (Lamotrigine) – Glaxo Jan. 22, 2009
> - Vexol (Rimexolone) – Alcon Labs Jan. 22, 2009
> - Avandia (Rosiglitazone) – Glaxo Feb. 28, 2009
> - Topamax (Topiramate) – Johnson & J 26, 2009
> - Glyset (Miglitol) – Pfizer July 27, 2009
> - Xenical (Orlistat) – Roche Dec. 18, 2009
> - Valtrex (Valacyclovir) – Glaxo Dec. 23, 2009
> - Avelox (Moxifloxacin) – Bayer Dec. 30, 2009
>
> sumber :
> http://farmaminkepri.blogspot.com/2009/01/normal-0-false-false-false.html

Jumat, 06 Mei 2011

Nias Tanöniha

Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok keturunan suku Birma dan Assam, tapi berbeda dengan asal usul orang Batak. Ada banyak teori tentang asal usul suku Nias dan belum ada yang dapat memastikan karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu grup etnik.

Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa grup etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari Arab yang bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun 851 SM.
Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal disana sejak 7000 tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung teori tersebut. Contohnya : banyak masyarakat tinggal di pohon-pohon yang dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang dipanggil Nadaoya, menurut kepercayaan masyarakat Nias 2 suku diatas tersebut adalah sejenis roh-roh, roh terakhir yang jahat.

Di daerah Hinako dan dipulau-pulau Wesi selatan telah ada selama 17-18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Orang aceh datang ke nias kira-kira 13-14 generasi yang lalu.

Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di Nias. Ketika orang Aceh pertama kali masuk ke desa Foa dengan menyebrangi sungai, masyarakat Nias memotong pohon besar dan menutup jalan keluar. Salah satu tujuan masyarakat Nias adalah untuk mempelajari tenaga-tenaga gaib dan cara berperang dari orang Aceh. Orang Aceh menguasai daerah itu. Ada 3 bentuk cara berperang di Nias, yaitu : simataha dari Aceh, starla dari Sumbar, dan trapedo yang merupakan gabungan dari keduanya.

Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di nias tahun 1855, kemudian pada tahun 1863. Nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.


Pulau paling terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu setidaknya yang terbesar dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari Nias hierarkis meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias "kelompok pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri" Nias, Sumatera Utara, 1920
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Perdagangan Budak

Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat menengah.

Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias. Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung perdagangan budak itu.

Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias utara telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke padang (sumbar) karena untuk melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia. Para Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun 1820. budak-budak ini menjadi kristen karena diberi kebebasan di Penang. Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.

sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php


Suku Nias


1954

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Kasta

Suku Nias mengenal sistem kasta(4 tingkatan Kasta) yaitu Si'Ulu (Balugu atau Bangsawan), Si'Ila (kaum Cendekiawan), Sa To (masyarakat biasa) dan Sawuyu (budak) Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Sejak masyarakat Nias menjadi Kristen maka kasta menjadi tidak berlaku lagi.

Asal Usul

Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Marga Nias

Daftar marga Nias

Amazihönö

Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago

Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawölö, Dohare, Dohöna, Duha

Fau, Farasi,

Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae

Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura

Laia, Lafau, Lahagu, Lahomi, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lö'i, Lömbu

Maduwu, Manaö, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa,Maruabaya

Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe

Saoiagö, Sarumaha, Sihura,

Tafönaö, Telaumbanua, Talunohi

Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö,warasi

Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

Khas Nias

Makanan

Tamböyö
Fache Nifalögu
Ndru'a Harita
Babae
Gowi Nitutu (Ubi tumbuk)
Gae Nisano
Godo-godo
köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
Ni'owuru

Minuman

Tuo Nifarö
badu-badu duo

Budaya Nias

Lompat Batu
Tari Perang
Maena
Mamahewa
Manoso (bikin bola nafo, tufo, baru)
Tari Moyo
Tari Mogaele
Sapaan Yaahowu

Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

Jalan sepanjang pantai Hilisatarö Nias, 1930
sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias

Nidada moroi jawa sotöi “Teteholi ana’a"

Eduard Fries, seorang misionaris dan pelukis yang tinggal di Nias selama hampir 16 tahun (1904 – 1920) menulis buku dalam bahasa Nias varietas Utara berjudul “Nias – Amoeata Hulo Nono Niha” yang terbit tahun 1919. Pada halaman 53 buku tersebut, Fries menulis:

“Yang sering diceritakan dahulu ialah bahwa dari Teteholi Ana’a, suatu tempat di lapisan atas bumi, diturunkanlah ke bumi Nias 3 orang anak Sirao: Hia mendiami hulu Gomo, lokasi ‘börö nadu’ yang ada sampai sekarang, Daeli mendiami Onoawembo Ulu Nidanoi, dan Gözö mendiami bagian Utara. Barangkali intinya adalah bahwa orang Nias bukan berasal dari satu turunan, karena dahulu manusia di Nias sudah mendiami tiga lokasi. Lama kelamaan, ketiga puak itu bercampur dan bertambah banyak sampai akhinya Nias dipenuhi oleh manusia.”

Selanjutnya Fries berkata:”Dan dari mana leluhur Nias datang, apakah dari tanah Batak, atau dari pulau lain, atau apakah merupakah hasil ‘pertemuan’ para pelayar dari pulau lain, tidaklah jelas. Dan biarpun disebutkan silsilah yang 24-30 generasi banyaknya, kita tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Yang kita tahu dari sumber asing hanyalah tulisan seorang Persia bernama Soleiman, yang pernah datang ke kepulauan Hindia pada tahun 850 sesusah masehi; Soleiman pernah juga singgah di Nias (yang disebutnya: “Nian”). Soleiman mengisahkan bahwa di Nias dia menemukan orang-orang yang biasa memenggal kepala manusia.

Penuturan Soleiman (Sulayman) ini juga terdapat dalam buku Hammerle (Asal Usul .. , hal. 13-14) yang diambil dari buku Schröder [4].
Fries menulis lagi pada halaman yang sama:“Jadi saat ini tiada jalan untuk menelusuri asal usul orang Nias, selain penelitian terhadap sosok dan raut muka orang Nias, mana tahu dari situ para peneliti bisa menjelaskan mengapa sosok dan rupa orang Nias berbeda-beda, walau mereka telah membaur cukup lama sehingga menjadi satu “suku” bangsa. Untuk itu, pada tahun 1910 diutuslah Dr. Kleinweg de Zwaan ke Nias untuk mengukur fisik orang Nias; pekerjaannya bukan untuk menakut-nakuti orang, tetapi untuk coba mencari tahu hal-hal yang disebutkan di atas. Hasil usaha Dr. Kleinweg de Zwaan ini belum seluruhnya dibukukan.



Kutipan teks halaman 52-53 buku Eduard Fries:
Sasese letoeriaigö föna, ba ja’ia wa no moedada föna niha moroi ba zi sagötö jawa sotöi “Teteholi ana’a“; töi ndra toeara Zirao, ba töloe nahia dania sitaro ononia: toea Hia, ba no i’agö noeloe Gomo, si so na “börö nadoe” iroegi ma’öchö; Daeli, ba isawa Nono Waembo baoeloe Nidanoi; ba toea Gözö, ba jöoe so nahania. Te toehonia sa, wa tenga ha samboea gatoemboecha Nono Niha, me no töloe nahia ba zowoelo föna niha sato; ba itoegoe ara, ba itoegoe faroekaroeka sa’ae, irege dania afonoe niha hoelo andre. Ba heza si’ai la’otarai ira toea föna, na moroi ba danö Batak, ba na moroi ba hoelo bö’ö, ba ma na faondra ba da’e zolojo si’oroi ba hoelo tanö bö’ö, ba lö’ö sa’atö oroma. Ba he lafa’oli wanötöi nqa’ötö, saracha 24-30 wa’oya, ba lö tatoe sa’atö, na doehoe da’ö ba na lö’ö; awai sa göi nirongoda ba niha bö’ö, ha nisoera Niha Persia föna sotöi Soleiman, si no möi koemoli ba hoelo Hindria andre ba ndrö 850 fr. Kr.; no itörö göi hoelo Nias (nifotöinia hoelo “Nian”) ba no so ba da’e fönania niha sagamoe’i, si no tö’ölö wangai högö iwa’ö. Tobali lö lala sa’ae iada’e wanechegö si’ai böröta Nono Niha, baero wanechegö hewisa nga’eoe mboto fabaja chalachala mbawa Nono Niha: ma atö tola dania lasoe’agö tödöra sanqila watahögö, hewisa mbörö wa no fabö’öbö’ö si’ai Nono Niha, he wa’ae hatö samboea soi ira ba wa’ara. Andrö no lafatenge ba ndrö 1910 moroi ba danö Hoelöndra sijefo zi no to’ölö wangaloei simanö, sotöi Dr. Kleinweg de Zwaan, sanörönörö tanöda ba wanoesoe’a misa boto niha; tenga sa fameta’u niha geloeaha halöwönia no andrö, ha ba wanechegö da’ö fefoe, wa no i’ohalöwögoi, ba lö ahori mutanö ba zoera zi no isöndra.

Rujukan:
  1. Modigliani, E., 1890: “Un Viagio a Nias. Illustrato da 195 incisioni, 26 tavole tirate a parte, e 4 carte geografiche, Milano. (Disalin dari catatan kaki buku Hammerle [2], hal. 42.
  2. Schröder, E.E.W.G., 1917: Nias, ethnograpische, geographische en historische aanteekeningen en studien. Brill, Leiden. Vol. Teks. Book III – Historie, hlm. 697-702. (Disalin dari catatan kaki buku Hammerle [2], hal. 13.
  3. Hammerle, J.M., 1986: Famatö Harimao: Pesta Harimao – Fondrakö – Börönadu dan Kebudayaan Lainnya di Wilayah Maenamölö – Nias Selatan, Perc. Abidin Medan

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe