Minggu, 20 Oktober 2013

Mustika Kelapa Nias Tanoniha



MISTERI MUSTIKA KELAPA

Koleksiku Mustika Kelapa dari pulau Nias terlihat sangat menawan terselip di jari manisku (tampak pada gambar sebelah kiri)

Batu mustika kelapa yang mirip dengan kentos kelapa berukuran mini banyak dibahas di Google dengan topik Mustika Kelapa . Topik ini sangat menarik untuk diangkat mengingat akhir-akhir ini banyak orang berkeliaran  menawarkan batu  mustika kelapa tersebut. Embel-embel ceritanya sangat beragam, ada yang konon didapat berkat petunjuk dalam mimpi, ada yang warisan dari kakek atau ayahnya kakek, ada yang  dapat beli dari seorang tua yang kebetulan berpapasan di jalan, dan bahkan ada yang langsung nyomot sendiri dari dalam kelapa yang dibelah. Kalau kita simak artikel-artikel di Google, harga yang dipatok untuk sebutir mustika kelapa berkisar dari  mulai Rp 2 juta , Rp 5 juta , Rp 20 juta , Rp 32 juta , dan bahkan sampai Rp 350 juta ( opo ora huebaat - - - ya ! ). Khasiatnya konon untuk membuat makanan tidak basi/ busuk sehingga sangat dianjurkan untuk dimiliki oleh para pebisnis catering.
Sehubungan dengan batu mustika kelapa tersebut, beberapa hari yang lalu, secara berturut-turut, mang Okim kedatangan dua grup tamu . Grup pertama minta dibuatkan sertifikat , dan grup kedua memperkenalkannya  ke mang Okim. Untuk grup pertama, alhamdulilah tidak ada masalah, tetapi untuk grup kedua, mang Okim dibikin terheran-heran karena mereka membawa sebutir kelapa betulan yang telah dibelah. Kelapa tersebut yang tampaknya baru dikeluarkan dari kulkas, mengandung sebutir mustika kelapa  yang tertanam di bagian matanya ( gambar 1 ). Tamu mang Okim membawa juga 2 butir mustika kelapa dan 2 butir mustika buah pala.  Dengan alasan untuk ditunjukkan kepada para peminat, maka mang Okim  mendapatkan izin untuk memotretnya.















Mustika kelapa asli ataukah rekayasa ?
Tadinya mang Okim mengira bahwa batu mustika kelapa yang warnanya putih seperti susu itu ( gambar 2 ) adalah milky quartz ( SiO2 ) yang kekerasannya 7 skala Mohs dan berat jenisnya sekitar 2,65. Tetapi hasil pemeriksaan mang Okim menunjukkan nilai kekerasan kurang dari 4 skala Mohs , dan  berat jenis 2,84 . Yang lebih mengherankan lagi, mustika kelapa tersebut bereaksi dengan asam HCl. Dengan demikian maka tak terbantahkan lagi bahwa batu mustika kelapa tersebut adalah sejenis batuan karbonat  ( CaCO3 ). Pertanyaannya kini, apakah mungkin bahwa mustika kelapa tersebut tumbuh dalam air kelapa yang tersusun dari air 95,5 % , nitrogen 0,05 %, asam fosfat 0,56 %, kalium 0,25 %, kalsium oksida 0,69 %, magnesium oksida 0,59 %, dan sedikit besi dan gula ? Tentunya hal ini sangat tepat kalau dijawab oleh ahli kimia.
Selain dari hal di atas, pada gambar 3 terlihat bagaimana kentos kelapa yang kekerasannya sekitar 3 skala Mohs itu , dengan dinding yang mengandung jalur-jalur vertical,  tertanam dalam daging kelapa yang begitu lunak. Bagaimana ceritanya sampai tercipta jalur-jalur tersebut ?  Untuk mengobati rasa penasaran, mang Okim periksa jalur-jalur tersebut dengan loupe 10 x, demikian juga bagian permukaan yang halus. Disinilah mang Okim lihat garis-garis pengerjaan gurinda dan ampelas yang khas. Dengan bukti-bukti ini maka yakinlah mang Okim bahwa batu mustika kelapa tersebut adalah karya seni dari seorang seniman batu. Apakah bukti ini dapat men-generalisir bahwa seluruh batu mustika kelapa yang beredar di Indonesia adalah hasil rekayasa ?  Tentunya bukan itulah maksud mang Okim mengangkat kisah ini karena konon menurut cerita, ada juga batu mustika kelapa beneran di Pulau Nias, Sumatera Barat, dan di beberapa tempat lainnya ( perlu dibuktikan ).
Sebagai penutup mang Okim berharap semoga kisah ini dapat menambah wawasan rekan-rekan Gem-Lovers sehingga akan lebih waspada kalau mendapatkan tawaran batu mustika kelapa. Bagi yang kantongnya tebal seperti bang Gayus, tentulah tak ada masalah , tetapi bagi yang kantongnya pas-pasan - - - pastilah akan menyesal.
Salam cinta batumulia,

LAMPIRAN GAMBAR :

















Gambar 1: Batu mustika kelapa yang masih nempel di daging kelapanya.
















Gambar 2 : Inilah yang disebut batu mustika kelapa dengan pentil di bagian atas dan jalur vertical di bagian samping.
















Gambar 3 : Batu mustika kelapa yang masih nempel dalam daging kelapanya ( di bagian mata kelapa ). Perhatikan hubungan jalur-jalur vertical dari mustika kelapa yang keras dan daging kelapa yang lunak.

Beberapa koleksiku yg aku banggakan:













 Batu Opal atau Kalimaya

Lemon Quartz


 








 


Bacan

Jumat, 04 Oktober 2013

BABAE Kuliner Unggul di Hilisataro Nias Selatan

 Babae adalah kuliner yang sudah langka dan sudah jarang dapat di temui. KOMPAS.com/ Hendrik Halawa (Babae dengan telur yg di hidangkan)

NIAS SELATAN, KOMPAS.com - Indonesia memiliki beragam tempat-tempat kuliner, wisata, seni dan budaya serta ribuan tradisi yang perlu untuk dijaga dan dilestarikan.

Bali, Mataram, Minahasa, Batak, Papua, Ambon, Betawi, Sunda, Padang, Karo, Lombok, Aceh, dan begitu juga Nias Selatan yang memiliki banyak ragam tradisi.

Dari setiap daerah yang memiliki kuliner masing-masing, terlebih kuliner yang sudah lama dan sempat terlupakan, apalagi untuk generasi sekarang. Kini salah satu kuliner yang mulai langka itu kembali dihadirkan di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.


KOMPAS.com/ HENDRIK YANTO HALAWA Ibu-ibu sedang mengelupas fakhe niha dari kulit ari
Adalah masyarakat di Desa Hilisataro, Kecamatan Toma, Kabupaten Nias Selatan, yang kembali memunculkan makanan tradisional di mana dahulu digunakan untuk pesta-pesta adat maupun untuk pertunangan bagi yang akan memasuki jenjang pernikahan.

Kuliner tradisional tersebut dinamai "babae". Nama babae mungkin terasa asing di telinga kita, namun tidak bagi masyarakat Kabupaten Nias Selatan. Bahannya terdiri dari sejenis kacang-kacangan atau masyarakat setempat menyebutnya fakhe niha.

Menurut Sidi Adil Harita, S.Sos kepada Kompas.com bahwa salah satu kuliner tradisional Nias Selatan ini, yaitu babae, dahulu hanya dapat disuguhkan pada acara adat tertentu atau seperti saat pemberian nama anak yang baru lahir maupun pada pesta perkawinan.

KOMPAS.com/ HENDRIK YANTO HALAWA Babae yang telah di campur dengan telur rebus
"Kebiasaan masyarakat membuat ini setelah panen sebagai tanda gembira dan suka cita bahwa panen sangat melimpah. Cara membuatnya, dahulu biji fakhe niha ini direndam selama satu malam agar kulit arinya dapat dengan mudah terkelupas. Kemudian isi dari kulit ari tersebut dijemur hingga kering dan disimpan dalam sebuah botol pada zaman dahulu. Konon jika fakhe niha ini telah kering benar dapat bertahan hingga dua puluh tahun," papar Sidi.

Cara menanaknya pun hampir sama dengan menanak nasi sebagaimana biasanya. Hanya saja babae ini ditanak dengan menggunakan gerabah yang berasal dari tanah liat. Namun alat ini pun sangat sulit ditemui saat ini, hanya beberapa saja yang masih menyimpannya.

Setelah fakhe niha ini dianggap sudah kering benar, fakhe niha direbus hingga lunak kemudian ditumbuk halus dengan menggunakan tempat menumbuk padi. Setelah masak dicampurkan santan kelapa selama 30 menit.

KOMPAS.com/ HENDRIK YANTO HALAWA Babae yang telah ditanak (Nasi Adat "Fakhe Nifalogu")
Selama proses menanak babae ini, kondisi api juga perlu diperhatikan karena nyala api harus stabil agar masakan tetap wangi juga dan tidak gosong. Konon jika cara menanaknya benar maka aromanya dapat tercium sejauh 300 meter.

Kini babae di Nias Selatan dihidangkan ketika meminang seseorang gadis. Jika babae dicicipi oleh yang dilamar menandakan bahwa lamaran diterima.hahaha....

Senin, 23 September 2013

SI'ILA (Balӧ Niha) BA NIAS TANONIHA

Si’ila (Balӧ Niha) Jabatan Publik Khas Nias Selatan

Daerah Nias Bagian Selatan sebelum pemekaran tahun 2003 dikenal sebagai daerah yang memiliki berbagai kearifan lokal di Kepulauan Nias. Salah satunya adalah jabatan fa’asi’ila. Sebutan si’ila atau Balӧ Niha berasal dari kata dasar ila yang artinya lihat atau tahu. 
Sedangkan si’ila secara harafiah dapat diartikan sebagai yang melihat atau yang tahu, paham. Di Ori To'ene Asi Si'ila disebut juga Balӧ Niha yang artinya orang kepercayaan yang memiliki pengetahuan tinggi atau istilah sekarang Kaum Cendekiawan yang sangat dipercaya. Sebutan si’ila ini hanya ada di Nias bagian Selatan sedangkan padanannya di Nias bagian lain disebut tambalina, tepatnya tambalina balugu (pasangan bangsawan).

Tidak dapat dipastikan sejak kapan praktik fa’asi’ila ini muncul. Tidak ada data tertulis maupun penuturan lisan yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk menentukannya. Namun mengingat keberadaan banua di Nias bagian Selatan selalu terdiri dari unsur kaum si’ulu, kaum si’ila dan ono mbanua (masyarakat biasa), maka dapat dipastikan bahwa jabatan fa’asi’ila ini sudah ada sejak pertama kali berdirinya banua di daratan Nias bagian Selatan.

Fa’asi’ila adalah jabatan publik yang dijalankan oleh sekumpulan orang pilihan. Jabatan ini setingkat di bawah jabatan si’ulu (bangsawan) namun memiliki arti perting bagi kelangsungan fa’asi’ulu. Itulah sebabnya si’ila kerap disebut sebagai sekhe-sekehe ji’ulu atau pelapis para si’ulu. Berbeda dengan status kaum si’ulu yang diwariskan turun temurun dari ayah kepada anak dan begitu seterusnya, status si’ila didasarkan pada pemilihan. Memang biasanya si’ila berasal dari keturunan si’ila namun tidak semua anak-cucu si’ila bisa otomatis menjadi si’ila berikutnya. Mereka harus memenuhi sejumlah kualifikasi untuk membuktikan bahwa mereka layak dipilih dan diakui sebagai si’ila.

Pemilihan si’ila tentu tidak dapat dibayangkan seperti pemilihan umum. Di sana tidak ada kampanye, tidak ada janji-janji politik dari para kandindat, dan tidak ada juga bilik suara. Pemilihan adalah hak prerogatif si’ulu. Apabila ada orang-orang yang dianggap sudah layak diangkat menduduki jabatan fa’asi’ila maka para si’ulu akan mengadakan orahua (rapat umum) untuk menetapkan mereka sebagai si’ila. Rapat penetapan ini dipengaruhi juga oleh kebutuhan jumlah personil fa’asi’ila di setiap banua. Maksudnya, apabila jumlah personil semakin berkurang karena ada yang meninggal maka pemilihan diadakan. Untuk diketahui komposisi fa’asi’ila terdiri dari balӧ zi’ila (kepala para si’ila), si’ila sidawalu (8), si’ila sifelendrua (12), si’ila si fele ӧnӧ (16) dan si’ila si dua wulu a’ӧfa (24). Singkatnya kelayakan kandindat dan kebutuhan kelengkapan personil menjadi pintu masuk bagi para si’ila muda.


Menjadi si’ila adalah kehormatan sekaligus tanggungjawab. Kehormatan karena mereka memiliki sejumlah hak istimewa, di antaranya hak suara dalam mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh para si’ulu dalam orahua fabanuasa (rapat umum) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat biasa. Kemudian dalam setiap acara penting, fabanuasa para si’ila berhak atas sejumlah urakha atau batua gӧ yaitu jatah daging babi adat.

Barangkali di masa modern ini ketika semua orang bisa membeli setiap saat daging babi, urakha tidak lagi seberapa nilainya, namun zaman dulu ini memiliki nilai yang besar. Sebab, selain sebagai upah para si’ila ini, juga berkaitan dengan harga diri mereka. Sehingga tidak heran kalau di Nias seseorang bisa murka apabila bagian urakha-nya tidak diberikan atau tertukar. Itu akan dianggap sebagai pelecehan.

Hak istimewa lain yang dimiliki oleh para si’ila yaitu nama mereka ada di urutan prioritas setelah para si’ulu. Hak-hak istimewa ini wajib diimbangi dengan tanggungjawab. Tanggungjawab si’ila sangatlah besar. Marwah serta kelangsungan fabanuasa ada di pundak mereka. Karena itu tidaklah heran kalau untuk menjadi si’ila seseorang harus memenuhi sejumlah syarat yang ketat.


Menjadi Si’ila

Bijaksana adalah syarat pertama dan utama bagi seseorang untuk menjadi si’ila. Sesuatu yang tidak boleh ditawar. Merujuk pada sebutannya yaitu ‘si’ila’ atau ‘yang tahu’ maka seorang si’ila dipastikan memiliki pengetahuan yang luas. Pengetahuan yang dimaksud di sini bukan sekedar tahu dan pintar tetapi lebih dari pada itu bagaimana si’ila yang memiliki pemahaman yang luas, pengertian yang mendalam mampu mengartikulasikannya dengan tepat dalam menyikapi setiap persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari. Ini adalah kualifikasi personal para si’ila yang tidak dimiliki oleh semua orang. Kebijaksanaan seorang si’ila menjadi mercusuar bagi fabanuasa.  Itulah sebabnya si’ila dapat disebut juga sebagai kaum cendekiawan, orang yang patut didengar nasehatnya. Kepada merekalah setiap persoalan diserahkan untuk dibahas dan dicarikan solusi.

Memang di dalam setiap orahua fabanuasa pengambil keputusan akhir adalah kaum si’ulu sebagaimana terungkap dalam satu folklor, hӧnӧ hoho khӧ namada Laowӧ ahono yang artinya boleh ada sekian banyak masukan namun si’ulu Laowӧ yang memutuskan perkara. Walaupun demikian harus diakui bahwa keputusan-keputusan akhir itu sedikit banyak dipengaruhi oleh saran-saran dari para cendekiawan tadi. Ini semacam hubungan hakim dan panitera dalam suatu pengadilan. Menjadi bijaksana itu sendiri tidak diperoleh dalam waktu singkat. Ini adalah bagian dari proses pembelajaran kehidupan yang berlangsung lama.

Kebijaksanaan si’ila diperlukan juga dalam memecahkan teka-teki (dahӧ- dahӧ). Dalam masyarakat Nias kuno kaum si’ulu kerap menyampaikan pesan-pesan penting dalam bentuk teka-teki baik secara verbal maupun non verbal. Tradisi ini tidak dapat dilepaskan dari pembuktian kedalaman hikmat para si’ulu. Para si’ulu akan berusaha menyampaikan setiap pesan mereka serumit mungkin. Teka-teki seorang si’ulu yang rumit dan sulit dipecahkan menjadi tolak ukur seberapa dalam hikmatnya. Sebaliknya apabila seorang si’ila mampu menerjemahkannya dengan tepat hal itu membuktikan juga keunggulan. Fakta ini mirip dengan apa yang tertulis dalam Amsal 23:2: “Kemuliaan Allah ialah merahasiakan sesuatu, tetapi kemuliaan raja-raja ialah menyelidiki sesuatu.” Teka-teki si’ulu dan interpretasi si’ila tidak sama dengan permainan mengasah otak.

Ada hal yang jauh lebih penting dari urusan mengasah otak, yaitu pesan yang disampaikan pasti sesuatu yang berharga sehingga perlu dibungkus dengan hati-hati dalam bentuk teka-teki, dan kebutuhan menerjemahkannya dengan benar adalah suatu keharusan. Jika tidak maka dapat menimbulkan banyak sekali kerusakan-kerusakan yang tidak perlu apalagi kalau itu menyangkut urusan publik atau urusan antar banua. Itulah sebabnya ketika seorang si’ulu mendapat teka-teki dari rekan sejawatnya si’ulu terlebih yang dari banua lain ia akan memanggil para si’ila-nya untuk mengartikannya.

Masih dengan syarat pertama, oleh karena kualifikasi personal tadi maka beberapa si’ila pilihan yang dianggap memiliki kemampuan komunikasi melebihi reken-rekan sejawatnya didaulat sebagai diplomat yang menjadi representatif fabanuasa atau si’ulu dalam forum-forum resmi. Dapat dibayangkan kenapa si’ila harus orang pilihan dan  bijaksana? Jika tidak maka ia hanya akan mempermalukan yang diwakilinya.

Konon ketika seorang si’ila mewakili si’ulunya bertandang ke banua lain ia akan membawa balatu ria (semacam keris) milik si’ulu sehingga keberadaannya dianggap sama dengan keberadaan si’ulu yang diwakili itu sendiri. Sebagai diplomat para si’ila memiliki seni komunikasi yang tinggi. Mereka cakap dalam memilih kata, tahu kapan harus bicara dan kapan harus menahan diri untuk tidak bicara. Bahasa mereka penuh ungkapan-ungkapan simbolik dan enak didengar. Lidah yang terlatih adalah senjata ampuh para si’ila dalam memperjuangakan kepentingan banua-nya atau si’ulu-nya.

Syarat kedua adalah harus memiliki integritas yang tinggi. Dapat dipercaya. Karena itu pemilihan si’ila dilakukan secara ketat, tidak hanya sebatas bijaksana tetapi juga harus dapat dipercaya. Untuk diketahui zaman dulu karena adanya perebutan pengaruh kekuasaan membuat keluarga-keluarga si’ulu selalu berada di bawah ancaman. Intrik hingga pembunuhan mengintai setiap saat siap melumat mereka. Dalam situasi serawan itu dibutuhkan kehadiran si’ila yang tidak akan mungkin mengkhianati si’ulunya. Sebegitu pentingnya integritas ini nilainya dapat mengalahkan syarat pertama. Seseorang boleh saja memiliki pengetahuan yang luas namun jika tidak diikuti dengan integritas maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah menjadi si’ilaSi’ulu tidak mungkin memilih orang yang dikemudian hari akan menusuknya dari belakang.

Dan syarat yang ketiga adalah memiliki kekayaan. Besarnya kekayaan yang dimiliki seorang si’ila menjadi pembuktian tidak langsung akan keunggulannya. Kehidupan masyarakat Nias kuno tidaklah mudah. Kemiskinan, alam yang liar dan perang antar banua membuat mayoritas suku Nias hidup dalam kemelaratan. Sehingga bila ada yang bisa survive dalam kondisi sedemikian berat bahkan mampu membangun kekayaannya tentu ia memiliki keunggulan.

Dalam membangun kekayaan mereka keluarga kaum si’ila nyaris berjuang sendirian. Mereka bekerja keras tanpa dukungan tenaga kerja atau orang upahan. Secara hukum hanyalah kaum si’ulu yang dianggap layak memiliki tenaga kerja (sawuyu). Sedangkan kaum si’ila bukanlah hal yang lazim bagi mereka merekrut tenaga kerja sekalipun mereka punya kemampuan melakukan hal itu.

Kemudian dengan kekayaan mereka juga para si’ila punya kesempatan menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi fabanuasa. Dengan memberi, si’ila menjadi teladan yang baik kepada masyarakat umum tentang apa yang dinamakan kecintaan dan rasa memiliki fabanuasa. Bukan hanya itu, dengan menyumbangkan kekayaan mereka untuk kepentingan publik para si’ila sedang membuktikan kesetiaan mereka kepada kaum si’ulu. Mereka tidak akan mungkin mengkhianati si’ulu dan banua dimana mereka telah berkorban. Dan yang pasti kekayaan yang dimiliki menjadi pagar bagi para si’ila untuk tidak menjadikan jabatan fa’asi’ila sebagai wadah untuk numpang hidup dimana mereka mendapat upah berupa urakha atau batua gӧ. Fa’asi’ila adalah panggilan jiwa bukan lumbung makanan.

Hari ini syarat yang ketiga tidak lagi menjadi keharusan. Ketika tatanan hidup suku Nias kuno yang menempatkan setiap orang pada tingkatan-tingkatan sosial yang sedemikian kaku berhasil didobrak oleh perubahan zaman yang berimplikasi pada perubahan kondisi ekonomi mereka, maka syarat ketiga ini ditinjau kembali. Perubahan zaman secara umum telah membolak-balikkan keadaan ekonomi masyarakat Nias. Mereka yang dulu berada pada tingkatan sosial menengah ke atas dan memiliki ekonomi yang kuat secara perlahan semakin melemah. Sebaliknya mereka yang berada pada tingkatan sosial bawah dan identik dengan kemiskinan justru mampu berkompetisi membangun kekayaannya.

Kalau zaman dulu tingkat sosial seseorang paralel dengan kondisi ekonominya tetapi sekarang hal itu tidak lagi demikian. Sekarang setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kaya. Itu bukan lagi monopoli kaum si’ulu dan si’ila. Walaupun demikian tidak semua orang yang memiliki kekayaan otomatis bisa menduduki jabatan fa’asi’ila – apalagi fa’asi’ulu. Faktor keturunan dan kualifikasi-kualifikasi personal di atas tetap menjadi acuan utama sampai hari ini. Setidaknya di banua yang masih loyal dengan aturan-aturan yang digariskan leluhur zaman dulu.

       

Sebagai tambahan, kejayaan suatu banua sangat ditentukan oleh kesolidan  ketiga unsur di dalamnya yaitu si’ulusi’ila dan sato. Si’ulu sondorogӧ (mengayomi), si’ila sanera-nera (memikirkan) dan sato sisara tӧdӧ (sehati). Mengabaikan salah satunya adalah awal dari kemunduran lakhӧmi mbanua (kemuliaan banua). Kesuksesan seorang balӧ zi’ila dapat dilihat melalui lakhӧmi mbanua.

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe