Sabtu, 24 Oktober 2009

HADA NONONIHA




Sumber: BUNGA RAMPAI ADAT INDONESIA ROSWITA SITOMPUL. SH, Mhum, PhD UISU PRESS Bunga Rampai Adat Indonesia Roswita Sitompul

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. 

Apa itu Suku Nias dan dimana Letaknya? Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di Pulau Nias. Dan aslinya Ono Niha “ Ono = anak, Niha = manusia). Dan Pulau Nias Tano Niha ”(Tano= tanah). Suku Nias merupakan suku yang menempati Pulau Nias, Sumatera, Indonesia. 

1. Asal-usul Suku Nias Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos tentang asal suku Nias menceritakan bahwa Suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan Teteholi Ana'a. Menurut mitos tersebut, kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao. Dalam memperebutkan Takhta Sirao. Ke-9 putra tersebut itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias ini. Dalam Suku Nias menganut dan menerapkan sistem marga yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga yang umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. Marga Nias Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

Makanan Khas ? Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk) ? Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecilkecil) ? Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut) ? Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap) ? Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama) ? Raki gae (pisang goreng) ? Tamböyö (ketupat) ? loma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu) ? gae ni bogo (pisang bakar) ?  Fawayaso ? 

Halu (alat untuk menumpuk padi).

Amaedola Peribahasa dalam bahasa Nias
Aoha noro ni lului wahea,aoha noro nilului waoso,alisi tafadaya-daya hulu ta fae wolowolo.
Kauko bahili, kauko bandraso, ofaolo goi draugo, ba ufaolo goi ndra'o.
Hulo Nifokoli zila gae mbogi,siwa khonia lala wekoli,bahasambua khonia lala dani. 
Hana na Salawa Hana gere, Fakaole li namohede. 
La'a-la'a akho itoro mbawa wato (F.ZEBUA) 
Sokhi fau'du moroi ba mboro moroi na fau'du ba hogu. 
Hana hili nalakhao ba'ahori mendua mano'o ni'a sero maokho 

Minuman ? Tuo Nifarö (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe") yang telah diolah dengan cara penyulingan) ? Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa)

Budaya Nias Lompat Batu ? Hombo Batu (Lompat Batu) ? Fatele/Foluaya(Tari Perang) ? Maena ? Tari Moyo ? Tari Mogaele ? Sapaan Ya'ahowu ? Fame Ono nihalõ (Pernikahan) ? Omo Hada(Rumah Adat) ? Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah) 

Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” memberkati orang lain dengan memberi kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa Dengan Yaahowu -sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Yahowu), serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. 

Bowo dalam perkawinan adat Nias. Pihak Pemberi dan Penerima Böwö Perkawinan Menurut Adat Öri Morö . Secara adat, pihak pemberi dan penerima böwö saling menunjukkan kebesaran kasih ( ), saling menghormati (fasumangeta). Dalam sistem böwö sejati, yang lebih penting adalah semangat ungkapan kasih, kemurahan hati dan bukan 140 materi böwö itu sendiri. Pemberian dan penerimaan böwö merupakan tindakan pembuktian kebesaran kasih antara keluarga kedua mempelai. Oleh sebab itu, pihak penerima böwö sudah menunjukkan dirinya sebagai orang yang murah hati ( sebua fa’omasi ) jika tidak menuntut böwö yang menjadi bagiannya . Namun, apabila penerima böwö lebih mementingkan sinema (bagian/penerimaan), maka pihak penerima tersebut tidak memiliki kemurahan hati (tenga niha sebua böwö). Alangkah bahagianya pasangan suami-istri jika pada saat melangsungkan perkawinan, mereka mendapatkan berkat (howu- howu) dan ungkapan kasih dari para kerabat, warga kampung, warga adat atau dari semua yang hadir dalam pesta. Jika saat pesta perkawinan semua elemen warga adat ini memberi ungkapan kasih dalam bentuk babi, ayam, beras, bibit tanaman, perkakas rumah tangga, uang, dsb., pasti mempelai baru menatap masa depan yang lebih sejahtera, dan bukan menatap masa depan dengan beban utang. Pemberian dari hati yang tulus ini merupakan bukti kasih dan berkat nyata yang dirasakan oleh mempelai baru. 1. Pihak Pemberi Böwö Perkawinan Secara adat, pihak pemberi böwö bukan hanya orangtua mempelai laki-laki melainkan pihak-pihak lain, seperti kerabat, warga adat dan warga kampung. Artinya, semangat tolong menolong dalam 141 menanggung böwö sebenarnya sudah menjadi tradisi Nias. Oleh karenanya, jika fungsi relasi kekerabatan keluarga berjalan dengan baik, maka pihak mempelai laki-laki sangat terbantu untuk menyanggupi böwö perkawinan. Sebab nilai material böwö ditanggung secara bersama-sama. Kurang lebih ada 5 (lima) pihak yang memberi atau menanggung böwö, yaitu: Pertama, orangtua mempelai laki-laki. Secara langsung, pihak pemberi böwö kepada pihak mempelai perempuan adalah pihak orangtua mempelai laki-laki. Misalnya, apabila Antonius akan menikah, maka pihak yang memberi/menanggung böwö adalah orangtuanya. Jika orangtua Antonius sudah meninggal, maka Antonius yang berjuang menyanggupi böwö perkawinannya. Akan tetapi, dalam menanggung böwö, Antonius dibantu oleh pihak-pihak lain. Oleh karena itu, sebenarnya, pihak pemberi böwö bukan hanya orangtua melainkan keluarga besar dan kerabat dari mempelai laki- laki. Pihak-pihak yang dimaksud akan dijelaskan dalam paparan berikut ini. Kedua, fadono. Dalam tradisi Nias, relasi kekerabatan menentukan kewajiban-kewajiban setiap orang. Misalnya, ketika Antonius akan menikah, maka semua pihak yang mengambil istri dari pihak Antonius berkewajiban membantu Antonius untuk menyanggupi böwö perkawinannya. Pihak yang mengambil istri disebut fadono. Pihak fadono memiliki kewajiban membantu keluarga dan kerabat 142 dari istrinya. Kewajiban fadono itu disebut ömö wadono (ömö = utang; wadono dari kata fadono = pihak yang mengambil istri). Setiap fadono, berkewajiban menyerahkan ömö wadono kepada keluarga mempelai laki-laki, minimal dua ekor babi: sara zafuo ba sara zatabö (seekor babi ukuran kecil minimal 2 alisi dan seekor babi ukuran lebih besar minimal 4 alisi). Ömö wadono merupakan sisa böwö yang ditangguhkan pemberiannya (böwö sitosai) ketika seorang laki-laki melangsungkan pernikahan. Ada 4 macam fadono sebagai berikut: (1) Fadono inti, yakni pihak yang menikahi seorang perempuan dari pihak pengantin laki-laki. Misalnya, Antonius menikah dengan Bella. Sedangkan Antonius memiliki saudari perempuan dan dinikahi Calistus, maka Calistus ini ikut membayar böwö ketika Antonius akan menikah dengan Bella. (2) Fadono dari Sirege (fadono dari saudara orangtua mempelai). Misalnya, ayah Antonius adalah Darius dan Darius memiliki saudara, yakni Edward. Edward memiliki anak perempuan yang menikah dengan Filius, maka Filius ini ikut membayar böwö yang ditanggung oleh Antonius ketika menikah dengan Bella. Semakin banyak perempuan yang dinikahi dari pihak mempelai lakilaki, akan semakin gampang membayar böwö. (3) (keponakan). Dalam tradisi Nias, yang disebut keponakan adalah anak dari perempuan yang telah dinikahi, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. M is aln ya, 143 Antonius memiliki saudari perempuan, yakni Gita dan menikah dengan Hilarius. Anak-anak dari pasangan Gita-Hilarius adalah keponakan Antonius. Jika anak-anak Gita-Hilarius (entah perempuan atau laki-laki) ini telah menikah, maka mereka juga ikut menangung böwö ketika Antonius akan menikah dengan Bella. (4) Mauwu, yakni anak dari keponakan (baik laki-laki maupun perempuan). Misalnya, Antonius memiliki keponakan, yakni Ida dari perkawinan Gita-Hilarius. Jika Ida ini telah menikah, maka ia juga berkewajiban membayar böwö yang mesti ditanggung oleh Antonius ketika menikahi Bella. Dan ingat, ketika anak laki-laki dari Antonius akan menikah, semua fadono ini juga ikut menangung böwö yang harus dibayar oleh anak laki-laki Antonius. Ketiga, talifusö (sanak saudara). Sanak saudara memiliki kewajiban menolong Antonius walaupun dalam bentuk kongsi adat. Jika hal ini berjalan dengan baik, maka Antonius terhindarkan dari utang yang sifatnya berbunga. Sebab, kongsi adat tidaklah berbunga! Ada 3 kelompok yang disebut talifusö. (1) Saudara laki-laki dari orangtua pengantin laki-laki. Misalnya, Dodo akan menikah. Ayah Dodo adalah Dede dan Dede memiliki saudara laki-laki, yakni Dudu. Dudu ini sebenarnya memiliki kewajiban untuk ikut membayar böwö yang akan 144 dibayar oleh orangtua Dodo. Hanya saja, bantuan yang diberikan Dudu ini bersifat pinjaman tanpa bunga. Jika suatu saat, anak laki-laki Dudu menikah, maka Dede mesti membayar kembali böwö yang pernah diberi oleh Dudu. (2) Saudara laki-laki dari pengantin laki-laki. Misalnya, Dodo yang akan menikah memiliki saudara laki-laki, yakni Fefu, Fofo, dan Fufu. Jika mereka ini telah menikah, mereka juga punya tanggung jawab untuk ikut membayar böwö yang akan dibayar oleh Dodo. Akan tetapi, bantuan yang mereka berikan bersifat pinjaman. Ketika mereka membutuhkan, Dodo wajib mengembalikan böwö yang pernah diberikan oleh Fefu, Fofo dan Fufu. (3) Sepupu laki-laki. Misalnya, Dudu memiliki anak laki-laki sebut saja Rido, Rodo, dan Rudu. Jika mereka ini telah menikah, mereka juga ikut berkewajiban membayar böwö yang ditanggung Dodo. Bantuan yang mereka berikan bersifat pinjaman. Dari paparan ini, kita melihat perbedaan antara pemberian fadono dan talifusö. Pihak fadono memberi secara cumacuma, sedangkan pemberian talifusö mesti dikembalikan. Tidak heran jika ada adagium yang terkenal di Nias: fatalifusö ita, ba hiza lö fatalifusö gokhötada (kita bersaudara, tetapi harta kita tidak bersaudara). 145 Keempat, sihasara hada (warga satu adat). Salah satu semangat yang ditanamkan dalam organisasi adat adalah semangat saling menolong. Oleh karena itulah, sangat wajar jika warga satu adat saling menolong dalam menanggung böwö perkawinan. Persaudaraan di antara warga satu adat terbina dengan baik. Maka, pihak yang akan menikah (sangowalu) boleh meminta bantuan warga satu adat. Bahkan jika mereka tidak ada di rumah, sangowalu bi peliharaan mereka yang ada di kandang. Istilah ini disebut bawi. Bantuan yang diberikan warga satu adat mesti dikembalikan jika pihak pemberi membutuhkannya kembali. Kelima, banua (warga kampung). Dalam adat perkawinan Öri Morö,wagakang mempelai laki-laki menunjukkan dirinya sebagai orang yang bermurah hati dengan membantu pihak yang akan menikah. Bantuan yang diberikan warga kampung disebut kosi mbanua (kongsi warga kampung). Bantuan ini tidaklah cuma-cuma tetapi mesti dikembalikan apabila pihak pemberi membutuhkannya sewaktu-waktu. Dari deskripsi di atas, kita bisa melihat bahwa proses perkawinan Nias itu menarik. Menarik karena pihak penanggung böwö bukan hanya pengantin laki-laki. Ketika seorang laki-laki menikah, orang- orang sekitarnya akan membantunya. Akan tetapi, pada zaman sekarang, praktek tolong menolong dalam membayar böwö itu sudah mulai memudar. Mereka yang seharusnya menanggung böwö sudah 146 mulai tidak menyadari kewajiban adatnya. Hal itu terjadi oleh karena institusi organisasi adat sudah mulai mengalami keterpecahan Akibatnya, organisasi adat kehilangan wibawa di mata warga sehingga banyak yang keluar dari institusi adat. 2. Pihak Penerima Böwö Perkawinan Bedasarkan tata aturan adat, perkawinan Nias bukan hanya urusan kedua mempelai atau keluarganya melainkan urusan warga kampung, warga adat, bahkan kerabat lainnya. Itu sebabnya, material böwö tidak hanya diterima oleh orangtua mempelai perempuan (ama niu ). Material böwö dibagi-bagikan kepada banyak pihak. Pada zaman dahulu, jenis-jenis böwö yang diterima berbagai pihak itu memiliki nilai material berdasarkan kedudukan adat (bosi) dari ama niu . Sedangkan pada zaman sekarang, nilai material böwö cenderung tidak ditentukan oleh bosi tetapi oleh tingkat pendidikan sang gadis dan status sosial ayah. Namun, pada pokok pembahasan ini, penulis tidak memaparkan nilai material tersebut. Penulis hanya memaparkan sebutan jenis-jenis böwö itu; pada pembahasan berikutnya, penulis akan memaparkan nilai material böwö berdasarkan tingkatan bosi. Pihak penerima böwö dalam perkawinan Nias, yakni: a. S (Pihak Mempelai Perempuan) 147 Apabila diartikan secara harafiah, kata so’ono berarti yang melahirkan atau yang memperanakkan. Namun, berdasarkan hukum atÖrMorö fondrakö si lima ina), yang disebut so’ono adalah keluarga inti dari mempelai perempuan. Pihak so’o terdiri dari saudara mempelai perempuan ( tiusö ’owal ), orangtua (ama-ina niu ), dan kakek-nenek (tua-awe). Jenis-jenis böwö yang diterima pihak so’ono, sebagai berikut: Pertama, böwö untuk . Pihak yang disebut talifusö adalah saudara kandung dari mempelai perempuan ( ).Secara adat, sebutan böwö yang diterima saudara bungsu adalah siakhi ziwalu. Sedangkan böwö yang menjadi hak saudara sulung disebut diberikan kepada saudara sulung ketika ia melihat apakah material böwö sudah mencukupi atau belum. Selain itu, saudara sulung mendapat böwö yang disebut böwö yang utama ( ). Saudara tengah mendapat bagian böwö yang disebut sitatalu ziwalu. Misalnya, Yulia memiliki 7 saudara laki-laki. Saudara nomor 2 s/d 6 disebut saudara tengah. Jika ketujuh saudara Yulia ini akan menikah, maka suami Yulia mesti ikut membayar böwö pernikahan mereka. Jadi, semakin banyak saudara laki-laki dari seorang perempuan, semakin besar pula tanggungan pihak yang memperistri sang perempuan itu. Sistem pemberian böwö semacam ini membuat 148 perempuan yang memiliki banyak saudara laki-laki kadang tidak berani dinikahi oleh seorang laki-laki. Semua saudara dari mempelai perempuan menerima tambahan böwö yang disebut diwo. Secara harafiah, kata diwo berarti lauk. Dalam sistem böwö, diwo tidak dimasukkan di dalam era-era mböwö yang dihitung ketika diadakan ritual perhitungan böwö (fanika era-era). Diwo hanyalah sebutan, sebab wujud materialnya adalah babi yang berukuran minimal 4 alisi. Dalam sistem böwö zaman lampau, material böwö untuk saudara sulung ( siziu ) dan saudara bungsu (siakhi ziwalu) lebih besar nilainya daripada bagian saudara tengah ( siziu ). Misalnya, siziu mendapat böwö sebesar 4×4 alisi dan siakhi ziwalu sebesar 3×4 alisi, sedangkan sitatalu ziwalu hanya mendapat 1×4 alisi. Pertimbangan pembedaan bagian böwö itu, yakni dalam struktur keluarga, anak sulung adalah pengganti posisi ayah (ono fangali mbörö sisi zatua). Saudara laki-laki sering disebut sebagai sangosisi fadono (pihak yang memelihara relasi dengan pihak yang menikahi saudarinya). Anak sulung adalah pribadi pertama yang berhak sebagai sangosisi fadono. Oleh karena itu, anak sulung memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan istimewa dalam keluarga. Kedudukan istimewa tentu mendapat perlakuan istimewa pula. Sedangkan saudara bungsu adalah anak yang paling terakhir “kmaihat ngt.Saak kmai ra aua 149 pada saat ia dinikahkan oleh orangtuanya. Anak bungsu juga adalah anak yang paling terakhir menerima tolo-tolo (bantuan) dari pihak fadono sehingga wajar jika diberikan bagian yang lebih besar daripada saudara tengah. Kedua, böwö untuk orangtua mempelai perempuan. Ibu mempelai perempuan mendapatkan böwö aya nina. Kata aya berarti hormat; nina dari kata dasar ina yang berarti ibu. Jadi, aya nina adalah böwö penghormatan yang diberikan kepada ibu mempelai perempuan (ina niu ). Selain aya nina, ibu mempelai perempuan menerima tambahan böwö (bulu mböwö) yang disebut famokai danga. Arti famokai adalah pembuka; danga dari kata dasar tanga = tangan. Famokai danga berarti böwö yang diserahkan kepada iniu agar ia merestui anaknya untuk dipersunting dan pindahkan ke rumah mempelai laki-laki. Sedangkan ayah ( ama ’owal ) mendapat böwö yang disebut öba undru’u. Istilah öba berarti kebal. Istilah itu identik dengan abe’ = keras atau aro = kokoh-kuat. Sedangkan istilah bul berarti daun rumput; khususnya daun rumput yang dapat dijadikan ramuan kekebalan tubuh. Kata öba sebenarnya lebih cocok digunakan untuk seseorang yang memiliki ilmu hitam (elemu) pengebal tubuh. (orang itu menakutkan karena dia memiliki ilmu pengebal tubuh). Dalam tradisi Nias kuno, 150 merupakan böwö yang diberikan kepada ayah mempelai perempuan agar ia kebal dari segala ancaman musuh. Selain jenis-jenis böwö di atas, orangtua mempelai perempuan mendapatkan böwö sulö mböra. Istilah sulö = pengganti; mböra dari kata dasar böra = beras. Sulö mböra merupakan böwö yang diterima oleh orangtua niu sebagai biaya beras untuk jamuan makan pada pesta pernikahan (fakhe wangowalu). Tidak hanya itu, orangtua juga menerima böwö yang disebut sangawawuli ba mbanua. Kata sangawuli = yang kembali; ba mbanua = kepada warga kampung. Arti sangwuli ba mbanua adalah böwö yang sebagian digunakan ama ’owal untuk menjamu warga kampungnya; sebagian lagi digunakan ama ’ou untuk membeli perhiasan anaknya, seperti cincin emas, gelang emas, kalung emas dan tusuk konde emas. Pada waktu pertunangan, orangtua menerima böwö yang disebut köla. Pada zaman sekarang, istilah köla sudah jarang dipraktekkan, bahkan banyak warga Nias dan tokoh adat Nias yang sudah tidak mengenal istilah tersebut. Apabila perempuan yang akan dipersunting pernah bertunangan dengan lelaki lain, maka laki-laki yang akan menikahi perempuan itu wajib memberikan böwö yang disebut fameta mbulu nohi safusi kepada orangtua mempelai perempuan. Arti harafiah sebutan fameta mbulu nohi safusi, yakni 151 pelepasan daun kelapa putih. Böwö tersebut merupakan simbol untuk melepaskan ikatan pertunangan terdahulu. Ada juga böwö yang menjadi hak orangtua yang disebut su’a mbawi. Istilah su’a berarti ukur(an); mbawi dari kata dasar bawi berarti babi. Su’a diberikan kepada pihak so’ono yang mengukur babi pernikahan. Pada zaman dahulu, seseorang yang mengukur takaran babi perkawinan akan mendapat tambahan (bulu) böwö yang disebut famalali dawi-dawi guri. Kata famalali = pemindahan; dawi-dawi dari kata tawi-tawi = gantungan; guri = botol. Selain itu, pihak orangtua juga mendapatkan böwö tambahan babi pernikahan (nönö mbawi wangowalu) yang disebut fanema fesu mbawi (penerimaan ikat babi pernikahan). Dalam tradisi Nias kuno, fanema fesu mbawi diserahkan pada saat ritual menghantar babi pernikahan ke rumah mempelai perempuan (fondröni bawi). Dalam sistem böwö, orangtua menunjukkan dirinya sebagai orang yang bermurah hati. Oleh karena itu, ia mau membagikan böwö kepada warga kampungnya yang disebut töla naya mbanua. Istilah töla = inti; naya dari kata dasar aya = hormat; (m)banua = warga kampung. Sebutan töla naya mbanua berarti böwö yang diberikan kepada pihak orangtua untuk menghormati warga kampungnya. Setelah ketua adat menyelesaikan pembicaraan adat, orangtua mendapatkan böwö yang disebut fanunu manu. Apabila diartikan secara harafiah, kata fanunu = pemanggangan/pembakaran; manu = 152 am.Dam raÖrMor böwö fanunu manu adalah böwö yang diberikan kepada pihak so’ono (orangtua) untuk digunakan dalam ritual fanika era-era. Ritual fanika era-era bukan hanya ritual untuk menghitung era-era mböwö (jenis-jenis böwö) yang ditanggung sangowalu (mempelai lakilaki), melainkan juga ritual di mana ketua adat menyampaikan pesanpesan moral kepada sangowalu agar bersikap sopan-santun kepada keluarga dan warga kampung dari calon istrinya. Setelah para ketua adat melakukan pembicaraan adat (huo-huo hada) dan berhasil mencapai mufakat mengenai besaran böwö, maka para ketua adat melakukan ritual pemanggangan ayam (fanunu manu). Para ketua adat menyantap ayam panggang tersebut secara bersama-sama dicampur dengan tuak. Dam rdisi no i o’ö,orngt i tambahan böwö yang disebut sigu-sigu nomo. Böwö ini diserahkan kepada pihak so’ono untuk membersihkan rumahnya yang kotor karena dijadikan tempat pesta pernikahan. Böwö ini sudah jarang yang memberlakukannya di dalam sistem böwö perkawinan oleh karena semakin membebani pihak mempelai laki-laki. Kita pernah mendengar pepatah Nias yang berbunyi: ” mböwö a,hönö no osai (ribuan tanggungan böwö telah diserahkan, tetapi ribuan lagi masih ditangguhkan penyerahannya)Pepatah tersebut mau menunjukkan bahwa mempelai laki-laki masih banyak tanggungannya kepada pihak istrinya. Dalam 153 kaitan itu, pada zaman dahulu, mempelai laki-laki wajib memberikan böwö tambahan yang disebut fanaitagö mbalö gömö kepada orangtua calon istrinya. Secara harafiah, kata fanaitagö berarti penaruhan/pencantolan/peletakan. Namun, dalam hukum adat Öri Morö, kata ini berarti penangguhan. Sedangkan kata mbalö berasal dari kata dasar balö yang berarti ujung awal; kata gömö berasal dari kata dasar ömö = utang. Jadi, arti fanaitagö mbalö gömö adalah penangguhan penyerahan böwö kepada pihak istri. Menurut informan Bazatulö Gulö, böwö yang ditangguhkan penyerahannya itu, akan diberikan oleh suami jika pihak istri membutuhkannya sewaktu- waktu. Makna penangguhan böwö adalah agar relasi suami dengan pihak istrinya tetap memiliki ikatan. Dengan demikian, böwö berfungsi sebagai pengikat relasi kekeluargaan antara mempelai pria dengan keluarga mempelai perempuan. Jenis böwö tambahan lainnya yang mesti diberikan oleh mempelai lakilaki kepada orangtua calon istrinya adalah bawi wangowalu (babi pernikahan). Babi pernikahan terdiri dari 2 ekor. Seekor disembelih untuk dibagikan kepada pihak mempelai laki-laki yang disebut ö zangowalu (jamuan pihak mempelai laki-laki) dan kepada warga kampung mempelai perempuan ( ö niu ). Babi yang seekornya lagi disembelih untuk dibagikan kepada so’ono, paman (uwu) dan paman dari paman uwu ( nga’ötnuwu ). Selain babi pernikahan ini, ada juga babi lain yang disembelih yang disebut bawi 154 tarawatö (babi tuan rumah). Babi tarawatö merupakan lauk pauk pihak sangowalu. Kadangkala, sebagian babi tarawatö tersebut dibagikan kepada warga kampung niwal dan kepada tamu pihak sangowalu. Pada zaman dahulu, babi pernikahan masih ada tambahannya minimal 2 x 4 alisi babi. Sebutan böwö itu adalah nönö mbawiba (tambahan babi untuk so’ono ). Menurut informan Bazatulö, tambahan semacam ini menjadi peluang bagi pihak so’ono untuk memperbesar nilai material böwö yang justru membebani mempelai laki-laki. Ayah dan Ibu mempelai perempuan berhak menerima böwö tambahan yang disebut diwo (lauk pauk) dalam wujud babi. Jika ayah mempelai perempuan berkedudukan adat tingkat ke-10 (bosi si-10), maka ia menerima böwö yang disebut famoloi manu. Secara harafiah, famoloi = pelepasan; manu = ayam. Ritual pelepasan ayam dilakukan sebagai tindakan simbolis pengesahanbahwa laki-laki dan perempuan sudah sah bertunangan. Ketiga, böwö untuk kakeknenek. Selain diwo, kakek berhak menerima böwö yang disebut aya dua. Kata aya = hormat; dua dari kata dasar tua = kakek. Dengan demikian, aya dua adalah böwö yang diberikan kepada kakek mempelai perempuan. Menurut tokoh adat Bazatulö Gulö dan Atulöwa Gulö, jika kakek sudah meninggal dunia, maka jenis böwö tersebut diberikan kepada nenek (aya gawe). 155 b. Sirege (Saudara ayah mempelai perempuan) Dalam struktur kekeluargaan, saudara ayah mempelai perempuan disebut sirege (yang terdekat). Pada acara ritual femanga gahe, pihak sirege ini menunjukkan dirinya sebagai pihak yang memiliki kemurahan hati manakala mereka membekali kedua mempelai dengan perkakas rumah tangga, anak babi, anak ayam, bibit tanaman, dan pakaian. Berdasarkan sistem böwö, pihak sirege menerima beberapa böwö perkawinan, yakni: pertama, famatörö, yaitu böwö yang dibagi secara merata oleh para sirege. Kedua, öba sebua (pengebalan sirege). Kisanulana’a. Istilah sanulo = pencungkil/pengecek/pemeriksa/yang melihat ; = emas. Sanulo ana’a merupakan böwö yang diberikan kepada salah satu sirege yang bertugas melihat emas pernikahan. Pada zaman dahulu, pihak sirege mesti mengecek emas pernikahan. Tujuannya adalah agar pihak sangowalu tidak memberikan emas yang bukan miliknya. Keempat, sanu’a ( sanu’a = pengukur; bawi = babi). Artinya, böwö ini diberikan kepada sirege yang bertugas mengukur babi pernikahan. Kelima, bulu sidua, yaitu böwö untuk menghormati pihak sirege. Kata bulu = daun; sidua = yang dua. Sebenarnya istilah bulu sidua adalah ana’a dua (dua jenis emas), yaitu satu emas yang memiliki kadar 18 karat dan satu lagi berkadar 14/16 karat. 156 Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada tiga istilah yang perlu kita dalami, yakni sanu’a ,öba undru’u dan öba sebua. Ketiga istilah tersebut termasuk istilah kuno sehingga hampir tidak diketahui oleh masyarakat adat. Istilah sanu’a (Morö)sa n istilah famaigi bawi dam rdisi srka ihae’Swal Gunungsitoli. Dalam acara fbawi (pengukuran babi) atau famaigi bawi (melihat babi pernikahan), utusan pihak mempelai perempuan yang biasanya adalah sirege, bertugas mengecek keadaan babi pernikahan: apakah tambun atau kurus, apakah ekor dan telinga babi belum dipotong, bulunya tidak berwarna merah. Bagi masyarakat Nias, babi pernikahan tidak boleh berbulu merah. Sebab, babi berbulu merah biasanya digunakan untuk menyelesaikan perkara. Apabila ekor atau telinga babi dianggap cacat (telah dipotong atau dilubangi), maka pihak yang melakukan f bawi/famaigi bawi berhak menjatuhkan denda kepada pihak mempelai laki-laki. Oleh karena itu, babi pernikahan semakin bertambah ukurannya. Menurut Victor Zebua, istilah öba undru’u dan öba sebua ha erpa Morö;tatdaditkadi wan ra, Batu, dan Gomo. Kedua istilah tersebut muncul pada dua tahap awal perwin maadi o’ itpatap famaigi niha (pertunangan) dan tahap famorudu nomo. Kata famorudu berarti penyatuan; sedangkan nomo berasal dari kata dasar omo = rumah. 157 Jadi, famorudu nomo berarti saat pihak orangtua mempelai lakilaki dan pihak mempelai perempuan membicarakan jujuran perkawinan. Öba undru’u muncul pada kedua tahap itu, sedangkan öba sebua hanya terdapat pada tahap famorudu nomo. Dalam tafsiran dan analisis Victor, kedua istilah tersebut memiliki makna yang sangat dalam. Menurut Victor, jika kita melihat konteks dari tahap adat perkawinan di mana kedua istilah tersebut muncul, maka kita dapat melihat bahwa keduanya disimbolkan sebagai perikatan atau gabungan (pertunangan) antara dua belah pihak. Maksud dari kata öba (kebal) tentulah sebuah kekebalan bagi perikatan itu. Öba bul menyimbolkan perikatan antara seorang pemuda dan seorang pemudi. Dengan adanya öba undru’u ini menandakan seorang pemuda telah mengikat seorang pemudi secara kebal atau kuat. Pada zaman sekarang (di kawasan lain) hal ini disimbolkan dengan cincin. Öba undru’u dalam tahap famaigi niha, dua keluarga belum memiliki ikatan. Namun, setelah öbul yang kembali diberikan pada tahap famorudu nomo, pada saat itulah dimulai proses perikatan dua keluarga. Sedangkan öba sebua menyimbolkan perikatan antara dua keluarga sang pemuda dan sang pemudi tersebut, dimana momentumnya terjadi saat famorudu nomo yang juga disebut femanga bawi ni sila hulu; dan sekalian membicarakan jujuran yang 158 harus dilaksanakan. Dua keluarga yang telah bersekutu diharapkan membangun persekutuan yang kebal dan kuat meski ada keluarga ketgaya’coba - c suk’. c. Banua (Warga kampung mempelai perempuan) Warga kampung disebut banua. Dalam acara fanika era-era, ketua kampung/ketua adat (satua mbanua/satua hada) wajib hadir. Ketua kampung/adat berpartisipasi aktif, selain memimpin ritual fanika era-era, ia juga ikut menentukan böwö yang akan ditanggung oleh pihak laki-laki. Böwö untuk warga kampung disebut sinema mbanua (penerimaan warga kampung). Ketua adat yang memberkati mempelai berhak menerima böwö yang disebut howu-howu zatua (berkat ketua adat). Tidak hanya itu, ketua adat tersebut menerima böwö fanika era-era. Istilah böwö fanika eraera berarti böwö yang diberikan kepada ketua adat yang memimpin ritual fanika era-era. Ketua adat yang memimpin ritual fanika era-era mendapat tambahan böwö yang disebut fanika lae. Istilah fanika berarti perobekan; lae = tempat makanan dari daun pisang. Maksud fanika lae adalah sebagai simbol bahwa semua böwö sudah lunas. Istilah fanika lae ini ternyata tidak hanya terdapat di Öri Mo rö, tatdat DesaSrö iwali oli.Pda 159 zaman dahulu, wujud fanika lae adalah perak (firö) atau emas ( ana’a ), akan tetapi pada zaman sekarang wujudnya adalah uang minimal Rp 100. 000 (seratus ribu rupiah). Fanika lae tersebut ditaruh di bawah piring wadah air yang dipakai untuk memberkati mempelai laki-laki. Sementara warga kampung mempelai perempuan berhak menerima böwö yang disebut mbolo-mbolo. Kata mbolo-mbolo berarti yang disebar-sebarkan. Mbolo-mbolo tersebut dibagi-bagikan kepada warga adat. Berdasarkan sistem pemberian böwö, warga kampung mendapat tambahan babi pernikahan (nönö mbawi wangowalu), yakni (1) nönö mbawi wangowalu ba mbanua (tambahan babi pernikahan untuk warga kampung); (2) samahö bawi (böwö yang diserahkan kepada ketua adat yang menikam babi pernikahan). d. Uwu (Paman Pengantin Perempuan) Pihak yang disebut paman, yakni saudara laki-laki dari Ibu. Istilah uwu (sumber) dijadikan sebutan untuk paman (sibaya). Paman adalah sumber berkat bagi keponakan. Paman pengantin perempuan sering disebut sebagai yang empunya keponakannya (sokhö). Paman pengantin perempuan kadang menyebut keponakannya sebagai okhöta (harta). Sebutan uwu dan sokhö – okhöta hendak menunjukkan posisi (fetaro) keduanya di mana pihak paman lebih tinggi daripada pihak keponakan. Selain itu, pihak paman seringkali 160 disebut sebagai ngöfi nidanö (tebing sungai) sedangkan pihak yang menikahi saudari paman adalah idanö (air sungai). Itu sebabnya ada padam haNia” Alawa imoroi ni (lebih tinggi tebing sungai daripada air sungai). Pameo tersebut hendak mengatakan bahwa pihak yang menikahi seorang perempuan mesti taat dan tunduk serta sopan terhadap pihak keluarga dari istrinya. Dalam sistem böwö, pihak uwu berhak menerima 3 jenis böwö, yaitu tawi naya nuwu, adu ba nuwu dan töla naya nuwu. Marilah kita memahami istilah-istilah itu satu persatu. Kata tawi = gantungan, naya dari kata dasar aya = hormat, nuwu dari kata dasar uwu = paman. Istilah tawi naya nuwu berarti böwö penghormatan untuk menyambut kedatangan pihak uwu. Sebagai bentuk penghormatan, böwö tersebut seolah-olah dikalungkan di leher paman; sama seperti di zaman ini jika ada pemuka agama atau tokoh terhormat yang hadir di suatu pesta lalu disambut dengan mengalungkan karangan bunga di lehernya. Istilah adu berarti patung. Masyarakat Nias kuno biasa membuat patung orangtua yang sudah meninggal untuk disembah. Patung orangtua atau leluhur disebut adu zatua. Patung tersebut ditaruh di dalam rumah, dan masyarakat Nias kuno meyakininya sebagai pelindung dan pemberi berkat terhadap seisi rumah ituKata ba nuwu berarti kepada paman. Maka, adu ba nuwu adalah böwö yang diberikan kepada pihak paman untuk menghormati roh leluhur 161 dari pihak paman. Sedangkan istilah töla naya nuwu dapat diartikan demikian, töla = inti/yang utama, naya dari kata aya = hormat, nuwu dari kata uwu = paman. Jadi, töla naya nuwu berarti böwö yang utama yang diberikan kepada paman. Orangtua mempelai perempuan wajib memberikan ömö ndraono (utang anak-anak) kepada pihak paman. Namun, ömö ndraono tersebut tidak menjadi tanggungan mempelai laki-laki. Selain 3 jenis böwö tersebut, uwu juga menerima tambahan babi pernikahan, minimal sebesar 1 balaki (2×4 alisi babi). e. Nga’ötNuw (Paman dari paman pengantin perempuan) Pihak nga’ötnu yakni paman dari uwu. Pihak nga’öt nuwu berhak menerima böwö yang disebut (1) lumö dawi naya nuwu, (2) lumö nadu ba nuwu, dan (3) lumö döla naya nuwu. Menarik untuk kita uraikan arti istilah-istilah tersebut. Kata lumö berarti bayangan. Dengan demikian, secara harafiah istilah lumö naya nuwu berarti bayangan hormat paman. Istilah bayangan merupakan bahasa halus untuk menyebut setengah (matonga). Oleh karena itu, nilai material lumö dawi naya nuwu hanya setengah dari tawi naya nuwu. Misalnya, jika pihak uwu menerima tawi naya nuwu sebesar 1, 5×4 alisi ( 6 alisi), maka pihak nga’ötnuwu hanya menerima 3 alisi babi. Istilah lumö nadu ba nuwu berarti böwö yang diberikan kepada nga’öt yang nilainya hanya setengah dari nilai material adu ba nuwu. Sedangkan lumö döla naya nuwu adalah bagian böwö yang nilainya hanya 162 setengah dari nilai material töla naya nuwu. Dari paparan di atas, pihak nga’ötnuwu berhak menerima böwö yang nilainya hanya setengah dari bagian böwö yang diterima oleh uwu. Dalam kultur Nias, relasi kekeluargaan antara uwu, terus dibangun dan dipelihara. Mengapa terus dibangun dan dipelihara? Ada beberapa alasan. Pertama, masyarakat Nias meyakini bahwa pihak uwu dan adalah sumber dan pemberi berkat bagi pihak kedua mempelai. Kedua, masyarakat Nias juga menaruh harapan kepada uwu dan sebagai pihak yang menuntun anak-anak dari fadono. f. Siso ba huhuo (Juru runding) Siso ba huhuo adalah juru runding atau penghubung antara pihak laki-laki dengan pihak mempelai perempuan dalam proses perkawinan. Siso ba huhuo biasanya adalah orang yang memiliki keahlian berbicara secara adat. Sebab, peran siso ba huhuo tersebut sangat menentukan tercapainya kesepakatan antara pihak keluarga mempelai laki-laki dengan keluarga mempelai perempuan. Tradisi siso ba huhuo (go-between ) ik nyatdisi iMorö etpi terdapat juga di dalam tradisi Nias Selatan Seseorang yang menjadi siso ba huhuo bisa berasal dari pihak mempelai laki-laki ataupun dari pihak mempelai perempuan. Atas jasanya, siso ba huhuo menerima böwö yang disebut balö ndela. 163 Istilah balö = ujung, ndela dari kata dela = titian. Jadi, balö ndela adalah böwö penghubung antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki. Balö ndela menjadi hak siso ba huhuo jika dialah yang pertama mengungkapkan niat pihak laki-laki kepada keluarga perempuan ( samatu’a i ). Jika siso ba huhuo ini tetap menjadi perantara hingga pelaksanaan pesta perkawinan, maka siso ba huhuo menerima böwö yang disebut fali-fali mbalö halöwö (penyelesaian pekerjaan). Menurut Tageli, nilai material balö ndela minimal 4 alisi babi; sedangkan fali-fali mbalö halöwö sebesar 2×4 alisi babi. g. Su (Penghantar mempelai perempuan) Pihak yang bertugas menghantar mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki dengan cara menandunya disebut sol atau samahea. Secara harafiah, sol berarti penggendong; sedangkan samahea batpenggot ÖrMorö,seusapa perkawinan di rumah mempelai perempuan (fangowalu) lalu diadakan ritual menghantar mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki yang disebut famasao. Laki-laki berjumlah minimal 4 orang akan menggotong mempelai perempuan dengan tandu untuk dihantar ke rumah mempelai laki-laki. Pihak sol adalah laki-laki dari kerabat mempelai perempuan. 164 Para sol berhak menerima böwö yang disebut howu-howu zol (berkat dari penggendong) dan tefe-tefe nidanö (percikan air). Nilai material howu- hozol biasanya sebesar 4 alisi atau bisa juga hanya 2 alisi. Sedangkan tefe-tefe nidanö sebesar 4 t babi. Para sol tersebut akan dijamu secara istimewa oleh pihak sangowalu dengan menyembelih anak babi sebagai lauk mereka saat jamuan makan; ini disebut dizol (lauk pauk penggendonng) yang ukurannya minimal sebesar 4 t babi. 165 BAB IX RITUAL ADAT NIAS A.KELAHIRAN ANAK Menurut keparcayaan kuno, dan sebelum masuknya agama di kepulauan nias, kelahiran disebut sabagai salah satu bagian dari proses kejadian dalam tata kosmos. Untuk menyelaraskan peristiwa tersebut dengan ketertiban kosmos, maka tetua masyarakat jaman dulu, dibuatkan patung dari kayu sebagai lambang dari penciptaan manusia. Dalam masa-masa kandungan sang bayi ada yang disebut sebagai masa prenatal, yaitu masa-masa yang ditempuh oleh kedua orang tua bayi. Masa prenatal ini adalah masa yang berarti disucikan, dalam masa ini hal-hal yang dianggap tidak baik untuk dilakukan tidak boleh dilakukan. Orang tua sang bayi tidak boleh memukul atau membunuh hewan, tidak boleh melintasi tempat terjadinya pembunuhan, tidak boleh melewati kuburan, dll. Maksud dari itu adalah agar anak yang lahir tidak akan mendapatkan karma dari hal- hal buruk yang dilakukan oleh orang tuanya. Contohnya apabila 166 orangtuanya pernah memukul kucing pada waktu si bayi didalam kandungan, dan jika si anak pada saat remajanya sering gemetar dan pingsan maka ia disebut "no la'angahalo'o mao" artinya dia telah mendapatkan sifat-sifat kucing yang telah kena pukul. Dengan kata lain, "amonita" ini bermaksud agar proses kejadian kehidupan yang sedang dalam proses itu, tidak dinodai oleh bibit-bibit atau unsur- unsur keburukkan. Lalu dalam 3 sampai 5 bulan pertamanya kedua orangtuanya, berkunjung ke rumah mertua (orangtua istri), dan melakukan adat yang disebut "fangoroma beto" atau memperlihatkan kandungan. Maksud dari kunjungan ini ialah memohon doa restu, agar proses perkembangan bayi dapat berjalan dengan selamat. Apabila anak telah terlahir di dunia, maka segeralah hal itu diberitahukan kepada lingkungan sekampung (banua) agar upacara pemberian nama segara dilakukan. Dalam acara pemberian nama orangtua si anak menyediakan daging babi untuk menjamu orang sekampunya. Setelah semua warga berkumpul maka upacara pemberian nama akan segera dilakukan. Dahulu "salawa" atau kepala kampung yang memilih nama untuk si anak, tetapi sekarang ini orangtua yang memilih nama bagi anaknya, dan diresmikan oleh kepala kampung. Apabila adat ini tidak dilakukan oleh orangtua si anak maka kedua orangtua si anak akan di usir dari persekutuan kampung, yang dalam bahasa nias disebut "latibo'o banua". Kemudian anak yang baru lahir ini dibawa lagi kepada orangtua 167 ibunya atau yang sering disebut "uwu". Dalam kunjungan ini oleh orang tua si anak harus memberikan kepada "uwu" 1 pau emas (1 pau = 10 gram) jika sang anak adalah laki-laki dan 1/2 pau emas untuk anak perempuan. Untuk anak-anak yang lahir setelah ini pemberian emas ini dapat dikurangi sesuai kemampuan orang tua. Dalam kunjungan ini orangtua si anak harus "molowo", yang artinya membawa nasi dengan daging anak babi yang telah direbus. Lalu akan dilaksanakan yang namanya "tefetefe idano" atau pemercikkan air, pemercikkan air ini dilakukan kepada si anak dan kepada orangtuanya juga. Setelah upacara ini selesai, kepada orangtua anak diberikan seekor babi, ayam, sebuah periuk kecil dari tanah liat yang berisikan beras dan sebutir telur dan ditutup dengan daun pisang. Dan kepada sang anak dihadiahka emas seadanya yang disebut "lofo nono" atau rejeki anak. Setelah sampai di rumah, jari anak kecil yang baru lahir itu ditusukkan untuk menembus tutup periuk itu, serta isi periuknya dimasak untuk ibunya, ini dilakukan agar si anak kelak selalu murah rezeki dan cepat berbicara. B.Perkawinan Pemuda yang ingin mencari jodoh harus memilih secara diam-diam gadis yang ditaksir, karena dalam adat Nias dilarang untuk berhadapan atau berbicara langsung dengan gadis pilihan hati. Isitilah 168 mencai odoh ni ebut“aiNha(erh s ra ra daNiaTh).“ma lö” erh iwaö n as Stn).“ - li” daaHiisiaa wömta a dan Silawalawa). Istilah ini berbeda-beda sesuai daerah adat masing- masing. Tahap mencari jodoh ini juga memakai cara: Manandra Fangifi (Tuhegewö, Amandraya, dan Aramö) artinya melihat jodoh baik atau tidak dari mimpi si laki-laki calon mempelai atau Famaigi TMa(Löwaat ha odoh ik tatk r pemeriksaan jantung ayam. Jika laki-laki telah menemukan tambatan hatinya, maka melapaa n aSo,Ba lödr,Samauai,S menakasttgakepa Hiwa(at takeluaga dekat) calon mempelai wanita apakah belum terikat dan bersedia menerima pinangan atau lamaran. FAMAT(AarTan) Jika hal diatas sudah dilakukan dan sudah mendapat jawaban dari pihak keluarga calon mempelai wanita. Maka, pihak laki-laki sudah bisa menyampaikan lamaran secara resmi kepada pihak perempuan. Tanda jadi dari pihak laki- laan an Afsi ara yakni: 1. Tawuo atau sirih 169 2. Betua atau Kapur sirih 3. Gambe atau Gambir 4. Fino atau buah Pinang muda 5. Bago/Bajo atau Tembakau BOLANAFO Semua bahan-bahan ini dibungkus dengan rapi. Sebanyak 100 lembar sirih disusun berdempetan. Inti acara ini ada melamar secara resmi tambatan hati yang berlangsung di rumah pihak pern.Tngathaimailryaistla F - fohu lu dai” pernjn itdengadalarbisabaa tanpa resiko apapun. Famatua akan digelar di rumah pihak perempuan. Acara ini akan tsusdai FaiBa au kesepakatan mahar dari pihak perempuan dan Fame Laeduru atau pertukaran cincin. Acara Famaigi Böwö dipandu oleh Satua Famaigi Böwö meliputi: ? Penyerahan Babi Jantan hidup-hidup ukurun 7 alisi (sesuai kesepakatan kedua belah pihak) ? Penyerahan Afo sisara (sirih) ? Kepada pihak perempuan disampaikan maksud dan tujuan kedatangan, kemudian disambut oleh ketua adat dan pihak perempuan, setelah selesai lalu dilanjutkan makan bersama. 170 Dalam proses ini biasanya satua (orang tua) kedua belah pihak akan ngobrol dengan banyak menggunakan Amaedola atau peribahasa/pepatah atau perumpaan. FANGÖRÖ (Kunjungan ke Rumah Calon Mertua) Fangörö adalah Kunjungan calon mempelai laki-laki ke rumah calon mertua. Satu hari setelah Faimaigi Böwö calon mempelai laki-laki datang ke rumah calon mempelai wanita membawa nasi dan lauk, seekor anak babi yang telah dimasak, serta membawa seperangkat sirih. Di rumah calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki disambut dengan seekor anak babi yang dipotong dan sudah dimasak. Sebagian dibungkus di bawa pulang untuk oleh- oleh kepada keluarga laki-laki. FANEMA BOLA (Penentuan Jujuran) Kunjungan pihak perempuan ke rumah pihak laki-laki tanpa disertai penganten perempuan, hanya disertai saudara laki-laki (wali) si perempuan. Kedatangan pihak perempuan disambut dengan menambatkan 2 ekor babi besar untuk dihidangkan dan dimakan bersama, babi dibelah sama rata. Acaapenghitn jurn ni ebut“FngaBa NisiiaHulu” rinyaseekorbadibh rkepa mpa ekor, separuh untuk perempuan dan separuh untuk pihak laki-laki, 171 sebagai simbol kesempakatan, mempersatukan dua keluarga, ini artinya tunangan atau lamaratn pihak laki-laki tidak dapat dibatalkan lagi. Jika Batal, pihak perempuan harus mengembalikan jujuran berlipat ganda kepada pihak laki-laki dan sebaliknya, pihak laki-laki tidak menerima pengembalian jujuran jika dibatalkan sepihak oleh pihak laki-laki. Acara ini istilahnya berbeda-beda disetiap daerah masing-masing. 1. Fanunu Manu Sebua, daerah Laraga 2. Famorudu Nomo, daerah Moro 3. Fangerai Böwö, daerah Aramö 4. Fanofu Böwö, daerah Bawömataluo FAMEKOLA (Penyerahan Mahar) Keluarga Pihak laki-laki datang ke pihak perempuan untuk menyerahkan mahar sesuai kesepakatan di awal dengan membawa sirih sebagai tanda kehormatan kepada pihak perempuan. Pihak perempuan menyambut dengan menyediakan 3 ekor babi, yakni: Untuk rombongan pihak laki-laki yang datang Untuk ibu calon mempelai laki-laki Satu ekor lagi dibawa pulang hidup-hidup 172 Pihak perempuan datang melihat babi adat pernikahan, cocok atau tidak menurut persyaratan : babi yang melambangkan kedua pihak keluarga, dipelihara secara khusus sejak kecil hingga besarnya sekitar 100 Kg atau lebih. Babi tidak boleh cacat, ekornya mesti panjang, dan warna bulunya harus sama, tidak boleh berwarna belang atau merah, warnanya harus satu hitam atau putih. Babinya berwibawa (terlihat dari taringnya, ekornya, bulu tengkuknya). Maera laFnu’aBaala ? Menentukan hari dan tanggal pernikahan (Falowa) ? Persiapan sehubungan perlengkapan pernikahan ? Menghitung/mengingatkan jumlah mahar yang masih belum dibayarkan. Besar böwö (Mahar) ditentukan oleh tinggi rendahnya kedudukan dalam adat Penerimaan Bowo adalah sebagai berikut: a. Tolamböwö (Orang tua kandung) b. Bulimböwö (Famili terdekat) c. Pelaksanaan penerimaan böwö ini dilakukan pada waktu pesta pernikahan FAME eUuk aloMeeai) T rsebm erkan lakaupaa me’ (tuntunan cara hidup untuk berumah tangga). Calon pengantin pria 173 ditemani teman-temannya (Orang tua tidak ikut) datang ke rumah perempuan membawa seperangkat sirih. Para ibu-ibu pihak keluarga perempuan menasehati sang gadis, biasanya si gadis menangis (Fme’= ngissidis,kaenaan h gakeluaga Mulai saat fa me’dibukah (Armbadagenda (Göndra) terus menerus, sampai hari pesta dilaksanakan. Sang gadis pun dipingit, untuk menjaga kesehatan dan kecantikannya. Dalam adat NIAS, peran Paman sangat dihormati (Paman = Sibaya/Saudara laki – laki ibu si gadis) sebelum pernikahan dilangsungkan, maka pihak perempuan melaksanakan Fogauni Uwu (Mohon doa restu Paman untuk pelaksanaan pernikahan mendatang). FOLAU BAWI (Mengantar Babi Adat) Sehari sebelum pernikahan, pihak laki-laki mengantar bebarapa babi pernikahan dan pengiringnya ke rumah keluarga perempuan. Babi Adat ini diberangkatkan dari rumah keluarga laki- laki dengan upacara tertentu, dan disambut oleh pihak perempuan juga dengan upacara tertentu dengan syair yang berbalasbalasan. Kedatangan rombongan pihak laki-laki disambut dengan memotong dua ekor babi yang dimakan bersama juga untuk dibawa pulang. Acara ini disebut Fondröni Bawi, dengan rincian pembagian Babi Adat adalah sebagai berikut : 174 – Babi yang pertama: yang paling besar untuk keluarga perempuan (Sono) n hapan ga(Uwu – Babi yang kedua, diperuntukkan bagi warga kampung keluarga si gadis (Banua) dan pihak laki-laki (Tome) Menguliti dan memotong-motong babi ternyata tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Babi yang paling besar jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang menyelenggarakan pesta, demikian seterusnya hingga babi yang paling kecil. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi), karena simbi tidak boleh rusak. Simbi adalah bagian paling berharga dari babi.Cara memotong-motong daging babi di Nias dipotong secara teratur dan mengikuti pola yang nampaknya sudah lazim di sana. 1. Pertama, melepas bagian simbi. 2. Kedua, membelah babi dari mulai ujung hidung, sebelah telinga, hingga ekor yang disebut söri. 3. Ketiga, membagi bagian perut dari söri dengan menyertakan sedikit telinga yang disebut sinese. 4. Keempat, membagi rahang atas menjadi dua, yang disebut bole-bole. 5. Kelima, memotong kaki belakang, disebut faha. 6. Keenam, memotong kaki depan yang disebut taio. Semua babi dikuliti dan dipotong-potong dengan cara yang sama, 175 lalu dibagikan kepada hadirin, kerabat, dan tetangga sesuai kasta masing-masing. – Simbi adalah haknya Kepala Adat atau orang yang paling dihormati. – Söri adalah haknya ketua adat, para paman, mertua, dan ketua rumpun keluarga. – Sinese adalah haknya Ketua Adat, adik atau kakak laki-laki, tokoh agama, dantokoh pemerintah. – Bole-bole adalah haknya Ketua Adat, ketua rumpun keluarga, dan salawa. – Faha adalah haknya keponakan dan anak perempuan. – Taio diberikan khusus untuk para pemotong. Menurut adat, pihak FADONO (Saudara wanita dari penganten pern) erk ermasah tTa(ki n) ng dipotong dalam upacara itu FALOWA (Pesta Pernikahan) Acaranya : ? Pada hari pernikahan Paman datang dan disambut dengan memotong babi penghormatan ? Rombongan penganten Pria datang membawa keperluan Pesta ? Menyerahkan sirih tanda penghormatan 176 ? Penyelesaian böwö untuk Tölamböwö (orang tua kandung) menerima emas dan Bulimböwö ? Famili terdekat menerima emas dan dibagi rata ke semua ? Demin gaI’o yaNuwu ha uk an) turut dibayarkan ? Pk cadiksakaFA A’ER (MEMBUKA PIKIRAN) yaitu perhitungan kembali semua mar(Jujuraböwö tu gabölga’abay ang sudah maupun yang belum dilunasi, oleh pihak keluarga laki- laki. Biasanya selalu ada sebagian dari jujuran itu yang belum dilunasi,sering dihiasi dengan pepatah: ”Hnö öwö aw Hmböwö saw (Artinya Ribuan jujuran sudah dilunasi,ribuan jujuran belum terlunasi) Oleh Ketua adat pihak perempuan, nasehat diberi kepada penganten pria, antara lain diberitahukan tentang hutang adat yang harus dipenuhi, nasehat kewajiban suami kepada isteri, nasehat sebagai menantu kepada mertua, sebagai anggota suku. Dan acara ini kemudian berakhir dengaFme’tnono haö ert ng -barang keperluan mempelai wanita (Ono Nihalö). Tentunya adat disetiap daerah yang berada di Nias berbeda-beda sesuai dengan tata cara kehidupan masing-masing daerah. 177 BAB X KEMATIAN Ada beberapa upacara penting jika sebuah keluarga sedang berduka di Suku Nias : ? Famalakhisisi/Fatomesa (Perjamuan terakhir)Famalakhisisi adalah perjamuan terakhir bagi orang tua yang sudah mau meninggal. Kata lain dari famalakhisisi ini adalah Laome’(tker) t din a tomesa (kata benda), orang yang sudah mau meninggal akan diuparn ng ebutlaome’ Tradisi budaya Nias sampai hari ini masih melakukan ritual Famalakhisisi atau fatomesa ini. Ritual ini biasanya dilakukan pada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan mau meninggal.Famalakhisi (Perjamuan terakhir kali) diadakan bagi ayah yang sudah hampir tiba ajalnya oleh para putranya, setelah ia memberkati serta memberi doa restu kepada mereka. Pada kesempatan ini si ayah dihidangkan daging babi. Upacara ini harus dihadiri oleh putra-putranya terutama 178 yang sulung, karena tanpa berkah doa restu ayahnya, kehidupan anak tersebut akan mengalami banyak rintangan. Peranan anak laki-laki khususnya anak sulung sangat penting. Anak sulung dipandang sebagai pengganti Ayah dan menjadi pemimpin bagi saudara- saudaranya yang lain. Meskipun peranan anak perempuan tidak begitu ditekankan, tapi mereka wajib datang dan membayar utang mereka sama seperti saudaranya laki-laki. Di saat-saat terakhir seperti ini, semua anak dan cucunya datang mengunjunginya. Kedatangan mereka pertama-tama adalah untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang tua. Orangtua dalam perspektif orang Nias adalah Tuhan di dunia. Sebagai Tuhan yang tampak harus dihormati dan disembah. Maka berkat orang tua, khususnya saat akhir hidupnya diyakini sangat menentukan hidup mereka dikemudian hari. Tujuan utama Famalakhisi atau fatomesa ini adalah mendapat berkat (howu-howu) dari Orangtua yang hendak meninggal. Sebaliknya kalau ritual ini tidak dihadiri (dengan sengaja) oleh salah seorang anaknya, diyakini bahwa dia akan menjadi anak yang durhaka (tefuyu) dan akan hidup dalam ketidakcukupan atau tidak mendapat rejeki dalam hidupnya (ha sifangarö-ngarö ba kaudinga). Maka momen fatomesa ini adalah peristiwa yang sangat berharga. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah anak yang selalu tunduk dan turut pada orang tua (ono salulu-lulu khö jatua nia). Karena 179 ketaatan pada orang tua tersebut, mereka akan mendapat berkat darinya dan hidupnya akan lebih baik. Dalam acara Famalakhisi atau fatomesa ini, anak-anak dan cucu-cucu dari orang tua yang hendak meninggal akan memestakannya dan makan bersama sebagai tanda penhormatan terhadap orang tua atau kakek mereka. (Dan) Seandainya, kalau ia meninggal, ia pergi dalam keadaan kenyang dan bahagia karena dikelilingi anak-anaknya.Berdasarkan pengalaman, di Lahõmi (kampung saya), ketika seseorang sudah sakit parah, semua anggota keluarga kumpul , bahkan dari kampung-kampung lain dan memberi man mae ssa.Tu jamenyembiak bi. Setelah berdoa, lalu si sakit diberi makan oleh anggota keluarga, mulai dari yang tertua. Ini suatu kepercayaan (pesan tersirat) bahwa kita masih berharap Anda (si sakit) masih tetap kuat dan bertahan, namun seandainya kamu harus pergi, kami tidak terlalu menyesal karena kamu pergi dengan kenyang. Kami sudah melayani dengan baik sehingga seandainya engkau pergi meninggalkan kami, kamu tidak perlu mencari kami atau mengganggu kami lagi. (Ingat: orang Niaperyapa bekhu.(saNa ekhu dam kepercayaan orang Nias, bisa mengganggu orang yang masih hidup). Fanõrõ satua dan FangasiFanõrõ satua adalah upacara pemakaman keduadai ng fa.Upaini mad u”mengaaka 180 r am ka(Tehõla’a car -upacara ini bersifat potlatch yaitu unsur memamerkan kekayaan agar menaikkan gengsi keluarga dan terpandang di masyarakat. Sebab bagi orang Nias yang paling penting dalam hidup adalah Lakhõmi (Kemuliaan) atau Tõi (Nama) keluarga. Biasanya dalam upacara-upacara ini, keluarga orang yang telah meninggal akan mengadakan pesta besar-besaran. Dalam upacara ini, mereka memamerkan kekayaan dengan memotong babi ratusan ekor dan membagikan kepada sanak keluarga, kerabat dan orang sekampung bahkan dengan kampung tetangga. Namun upacara ini tidaklah bersifat wajib. Hanya bagi orang-orang tertentu saja yang memiliki harta dan uang. Sinonim dari fanõrõ satua adalah fangasi. Bagi orang yang meninggal, harus ada fangasi terjemahan harfiahnya adalah penebusan (redemption). Tapi fangasi bisa juga disebut fangasiwai artinya penyelesaian. Maka fangasi ini bisa dikatakan lebih menekankan pada penyelesaian upacara bagi orang yang telah meninggal.Dalam perspektif orang Nias fangasi tidak sekedar penebusan orang yang sudah meninggal melainkan sebuah perayaan dan penghormatan sekaligus pengenangan. Selain itu, juga saat melunasi hutang-hutangnya jika masih ada. Fangasi ini adalah semacam pesta bagi orang yang masih hidup sebagai tanda bahwa mereka sudah merelakan kepergian almarhum. Pesta ini biasanya diadakan empat hari setelah yang meninggal dikuburkan. Ritual ini 181 dil ebai nabunga(nabungadi a ng h meninggal. Ritual yang pertama sekali diadakan adalah pada pagi hari keluarga beserta kenalan dekat datang ke kuburan dan menanam bunga, dan kemudian berdoa. Setelah kembali dari kuburan, mereka akan memotong babi dan makan bersama sebagai upaya mengenang yang sudah meninggal inilah yang disebut fangasi. Di sini tidak terlihat lagi tangisan dan kesedihan, upacara ini adalah tindakan memestakan orang yang sudah meninggal. Upacara ini juga disebut sebagai penghormatan karena melalui upacara ini dia diakui eksistensinya bahwa ia pernah hidup dengan mereka, dan sekarang amahuth gi mofa oi lno) rdu naini. Dalam pesta ini, semua kerabat dan warga sekampung diundang. Orang Nias percaya bahwa yang meninggal itu akan menyadari bahwa ia telah meninggal setelah empat hari. Jadi saat seseorang meninggal sampai empat hari, ia masih belum bangun, meskipun diyakini bahwa rohnya masih berada di sekitar rumah. Saat pertama sekali meninggal, almarhum masih hidup di alam mimpi saja. Tetapi setelah empat hari, almarhum akan bangun dan di situlah ia menyadari kalau ia sudah meninggal. Maka di sana akan terdapat ratapan dan tangisan. 182 BAB XII PEWARISAN Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia dan diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Pada masyarakat Nias ketiga hukum tersebut berlaku. Secara hukum waris adat Nias, yang berhak memperoleh harta peninggalan yakni laki-laki karena suku Nias menganut sistem patrilineal. Masyarakat Nias mengenal beberapa jenis warisan yakni ; rumah pertapakan, alat- alat rumah tangga yang berharga, harta emas, kebun, tanah kosong atau lahan kosong yang belum ditanami, kedudukan dalam hukum adat dan hutang-piutang. Sedangkan, hukum waris Islam yang berlaku pada masyarakat Nias sama dengan hukum waris yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia yakni perolehan hak waris lebih diutamakan 183 terhadap pihak lakilaki. Sedangkan Hukum waris perdata dalam hal ini diperoleh dari selesainya sengketa atau permasalahan hak waris di pengadilan, jadi pihak yang menang akan berhak atas warisan yang di persengketakan 1. Kedudukan sebagai anak kandung Kedudukan sebagai anak kandung pembagian warisan masih berpatok pada sistem patrilineal yakni anak laki-laki yang berhak mendapat warisan, namun sekarang sudah adanya perubahan pola pikir dari pemberi warisan bahwasanya perempuan juga memiliki hak yang sama. Hanya saja dalam perolehan hak waris tidak sebanding dengan pemberian terhadap laki-laki karena pemberian warisan terhadap pihak perempuan dalam hal ini merupakan pembagian warisan yang disebut masi-masi atau pemberian karena rasa sayang, pemberian tersebut biasanya sebidang tanah untuk membangun rumah maupun berupa perhiasan-perhiasan dengan syarat turut serta membantu orangtuanya mencari nafkah keluarga dengan bekerja di ladang, kebun dan melaksanakan pekerjaan rumah dengan baik. 2. Kedudukan sebagai Anak Angkat Pada masyarakat Nias anak angkat dibagi dua yakni ono yomo atau menantu laki-laki. Pengambilan anak angkat karena dalam keluarga tersebut hanya memiliki anak kandung yang perempuan 184 sehingga jika anak perempuannya tersebut menikah, maka suami dari anak perempuannya akan dijadikan ono yomo yang memiliki hak atas warisan orangtua kandung si perempuan. Untuk menjadi ono yomo maka harus mengikuti persyaratan yakni marga orangtua si perempuan menjadi marganya. Selain ono yomo istilah lain yakni ono nisou. Ono nisou biasanya ada karena suatu keluarga tidak memiliki anak laki- laki maka keluarga tersebut mengambil anak saudaranya. Dalam hal ini anak saudara yang diambil berasal dari pihak laki-laki bukan dari pihak perempuan dengan alasan sebagai penerus marga. Biasanya dalam pengangkatan ono nisou diadakan acara peneguhan secara adat dengan menyediakan babi, membayar emas sebesar 3 fanulo atau 30 gram untuk diberikan kepada pengetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu si anak) serta mengundang seluruh kerabat dan masyarakat yang berada di desanya Pada akhir acara penetua adat biasanya mengucapkan kata- kata peneguhan yakni Hölihöli wanuhugö sihasara tödö yang bermakna kesepakatan bersama telah sah menjadiono nisou dan sebagai tanda berakhirnya acara adat tersebut. Pembagian harta warisanterhadap ono nisou jika sudah sah menjadi anak dalam keluarga yang mengangkatnya akan sama dengan anak kandung dari keluarga tersebut bahkan berlebih jika ono nisouberperilaku baik, 185 menghargai kebaikan orangtua angkatnya, bekerja giat dan menyayangi saudara angkatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe