Suatu ketika Willem Leonard Steinhart menemukan syair hoho (puisi) yang relatif kuno. Di dalamnya terkandung kata öri, yaitu: Na ma nahiāgoe wa’aloemāna, Ma so chôgoe ba nôri ba dza’a [sic.].
Steinhart (1937:109) menerjemahkan syair tersebut ke dalam bahasa Belanda, De armoede zal het mij toegewezen lot zijn, Het stond reeds in het maantje mijner nagels te lezen (kemiskinan merupakan nasibku, nasib ini sudah terbaca dalam bagian bentuk bulan pada kuku saya). Apa hubungannya, kuku dengan öri?
Steinhart menjelaskan, ôri is hier waarschijnlijk “het maanvormige plekje op de nagels”. Men gebruikt het echter niet meer in dien zin. Dat plekje noemt men nu bôrô dza’a (öri di sini kemungkinan “bagian kuku seperti bulan”. Namun, sekarang orang tidak lagi menggunakan kata itu dalam makna ini. Karena bagian itu sekarang disebut sebagai börö za’a). Rupanya, makna purba (sekurangnya dalam puisi) dari öri adalah ‘bagian putih (mirip bulan sabit) pada pangkal kuku’. Pada awal abad ke-20, ketika Steinhart menulis buku Niassche Teksten, makna tersebut sudah lenyap.
Ada ‘makna öri’ yang lain. Steinhart (1937:53) menulis, sanôri gāhe, sanôri dāna “klimstrik om voeten en handen gebruikt bij het plukken van kokosnoten”; ôri-ôri “een band vroeger om de lendenen gedragen onder den lendengordel, om dezen houvast te bezorgen”; ôri “ring om sleutels aan te hangen” (sanöri gahe, sanöri dana “panjatan kaki dan tangan yang dipergunakan untuk mengambil buah kelapa”; öri-öri “ikatan yang dulu dikenakan di pinggang di bawah ikat pinggang, untuk menjadi pegangan”; öri “cincin untuk menggantung kunci”).
Kini makna öri telah bergeser. Menurut Laiya (1975:9), öri adalah persekongkolan antarkampung yang saling seia menerima tata hukum yang seragam demi memelihara hubungan-hubungan sosial antarwarga öri dan bukan pertama-tama demi kepentingan pertahanan. Menurut kamus karya Apolonius Lase (2011:250), öri (nöri) adalah sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang tuhenöri yang terdiri dari beberapa kampung.
Sementara kamus susunan Laiya dkk. (1985:235) memaknai öri dalam tiga aspek. Pertama, gabungan beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang yang disebut tuhenöri. Kedua, sebangsa loyang (yang dapat membuat air menjadi dingin); idanö nöri (air yang sangat dingin). Dan ketiga, gelang yang ditemukan di hidung babi hutan (yang menurut kepercayaan kuno gelang ini dipasang oleh makhluk halus pemiliknya agar tidak luka kalau kena tembak dan sebagainya), orang memakai gelang ini sebagai penangkal agar tidak luka kalau kena pisau dan sebagainya.
Gelang Sakti
Berdasarkan cerita orang kepadanya, E.E.W.Gs. Schröder (1917:241) mencatat mengenai öri dsöghà, yaitu sebuah cincin metal pada taring seekor babi hutan. Cincin tersebut merupakan ‘jimat kekebalan’ yang sangat kuat (een bijzonder sterke öba). Namun, menurut Faogöli Harefa, öri adalah sebuah gelang.
Harefa (1939:84) menulis, Öri jaitoe nama benda. Benda itoe ialah sebangsa gelang jang asalnja dari pada lojang, tiada nampak persamboengannja. Kata orang gelang jang diseboet öri itoe hanja terdapat pada babi hoetan jang besar terletak pada djoengoernja. Selagi öri masih ada dibadan babi hoetan, ia tiada loet (telap atau termakan) oleh pisau, tombak dan panah. Djadi öri jang mendjadikan babi hoetan itoe koeat dan kebal.
Mengenai gelang juga diceritakan Sökhi’aro Welther Mendröfa. Menurut Mendröfa (2005:43-4), gelang öriterbuat dari loyang yang hanya terdapat pada seekor babi hutan (celeng) yang telah sangat tua. Gelang itu disangkutkan pada taring sebelah bawah, dan diganjal taring sebelah atas sehingga tidak mudah jatuh.
Konon, celeng itu tidak mempan ditikam benda tajam, dan dia dapat menghilang. Celeng tersebut dikawal enam celeng lain yang memiliki taring panjang dan runcing. Bila celeng tua hendak berkubang, para pengawalnya (yang disebut lamangowe) memeriksa jalan dan lokasi kubangan. Setelah dirasa aman, baru celeng tua itu berkubang.
Di pinggir kubangan terdapat sebatang tunggul pohon. Öri yang senantiasa dibawa celeng tua diletakkan pada tunggul pohon tersebut (dalam versi Schröder, öri dilepaskan saat sang celeng makan). Karena pada tunggul pohon (tuhe) terletak öri, maka dia disebut tuhenöri (tunggul tempat gelang). Konon, öri celeng tua itu diperoleh dari bela (makhluk halus penguasa hutan perburuan). Selama gelang terletak di tunggul pohon, tunggul itu ikut menjadi kebal. Demikian pula orang yang memakai gelang serupa, akan menjadi kuat dan kebal.
Kiranya, kisah “gelang sakti” tersebut berkaitan dengan eksistensi gelang tölagasa di alam nyata. Menurut Mendröfa (1981:14-5), tölagasa adalah sebangsa gelang yang terbuat dari emas atau batu putih (dawödawö).Tölagasa batu putih hanya untuk pria, dikenakan di lengan kiri; sedang tölagasa emas dapat dipakai wanita, dikenakan di lengan kanan. Gelang ini hanya dikenakan raja dan keluarganya.
Seorang pria yang mengenakan tölagasa menandakan dia adalah pemimpin banua (kampung) atau öri(gabungan banua). Dalam hoho, sang pemimpin ditembangkan, Ja’ia dzolōhe bālô gôri-ôri, Ja’ia dzolōhe wondōro [sic.]. Steinhart (1937:53) menerjemahkan, Die was het hoofd, Hij was de leidsman (dia adalah kepala, dia adalah sang pemimpin).
Öri Fondrakö
Selain ‘gabungan banua’ (kelompok banua), öri dipahami bermakna ‘kelompok pesta’. Menurut Schröder (1917:276), öri-pesta (feest-öri) merupakan kring (kelompok) orang-orang yang saling terikat menyelenggarakan pesta-pesta karena bantuan timbal balik pada pesta itu. Pada öri-pesta tidak terlekat sebuah fondrakö dan juga tidak ada ketentuan mengenai ukuran standar dan sebagainya (Bij deze feest-öri komt ook geen fondrakö te pas en heeft ook geene vaststelling van standaardmaten etc. plaats.).
Kiranya, öri-pesta inilah yang dimaksud Mendröfa (2005:43) sebagai öri hada. Bila sejumlah öri hadaberhimpun, lalu menyelenggarakan fondrakö, maka dinamakan öri fondrakö. Dengan demikian, öri hadamerupakan cikal bakal dari öri fondrakö. Artinya, konsep dasar organisasi öri cenderung fungsional(persekutuan adat), ketimbang struktural (persekutuan banua).
Dalam fondrakö dibahas, disahkan, dan diumumkan pelbagai hukum adat. Ada lima isu stragegis fondrakö(Laiya, 1975:12; Hummel & Telaumbanua, 2007:27). Pertama, huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia). Kedua, huku sifakai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia). Ketiga, huku sifakai ba rorogöfö sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia). Keempat, hukum yang menyangkut selingkaran hidup (lahir, kawin, mati). Dan kelima, hukum yang menyangkut pekerjaan dan kepemimpinan.
Pada zaman kuno, öri sebagai ‘gabungan banua’ tidak dijumpai di seluruh Tanö Niha. Öri tumbuh di kawasan utara Nias, domisili kolektif pendukung kisah ‘gelang sakti’. Di kawasan Gomo tidak ada öri, organisasi sosial di sana berdasarkan ikatan perkawinan (Beatty, 1992:206). Artinya, yang terjadi di kawasan Gomo adalah ‘kelompok pesta’. Sedang di kawasan selatan Nias terdapat orurusa (Schröder, 1917:329; Beatty, 1992:206).Orurusa adalah gabungan banua besar dan sejumlah banua satelitnya. Besar kemungkinan, banua satelit itu merupakan banua taklukan; relatif berbeda dengan pola federasi banua yang ada di kawasan utara.
Barulah saat öri diadopsi pemerintah kolonial Belanda dalam struktur birokrasi, öri muncul di seantero Nias. Pada bulan Mei 1919, Belanda menjadikan Nias afdeeling (dari Residentie Tapanoeli) yang dipimpin seorang asisten residen. Afdeeling Nias dibagi dua: Onderafdeeling Noordnias dan Onderafdeeling Zuidnias. Keduaonderafdeelingen dibagi menjadi delapan distrikt; dan selanjutnya dibagi menjadi 59 öri. Setiap öri terdiri dari sejumlah banua (Fries, 1919:137-54). Dengan demikian, öri tumbuh di seluruh kawasan Nias. Öri akhirnya lebih dipahami atau dikenal sebagai ‘gabungan banua’.
Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, struktur öri tetap eksis. Namun, lewat keputusan Gubernur Sumatera Utara, No. 222/v/GSU, tanggal 24 Juli 1965, öri dihapus. Kebetulan, gubernur saat itu dijabat putra asal Nias, Pendeta Roost Telaumbanua. Sejak itu pula öri, salah satu cara orang Nias berorganisasi, bersemayam dalam sejarah peradaban Ono Niha.
Oleh Victor ZebuaBacaan
- Beatty, Andrew, Society and Exchange in Nias, Clarendon Press Oxford, New York. 1992.
- Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919.
- Harefa, Faogöli, Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfonds Residentie Tapanoeli, 1939.
- Hummel, Uwe & Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu: A Socio-Historical Study on the Encounter between Christianity and the Indegenous Culture on Nias and the Batu Islands, Indonesia (1865-1965), Doctoral Thesis, Utrecht University, Boekencentrum, 2007.
- Laiya, Bambowo, Sendi-sendi Masyarakat Nias, Peninjau II/1 (3-19), 1975.
- Laiya, Sitasi Z., Siswanto Zagötö, Happy Laiya, Selamat Zagötö & Amita Zagötö, Kamus Nias-Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985.
- Lase, Apolonius, Kamus Li Niha Nias – Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2011.
- Mendröfa, S.W, Terangkum di dalam Fondrakö, dalam Deli Piter Lase (penyunting), Menuju Gereja yang Mandiri Apa Kata Mereka?, Perpustakaan STT BNKP Sundermann, 2005.
- Mendröfa, Sökhiaro Welther, Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981.
- Schröder, E.E.W.Gs., Nias, Ethnographicsche, Geographicsce en Historische Aanteekeningen en Studien, Vol. I, Beeldband. Brill., Leiden, 1917.
- Steinhart, W.L., Niassche Teksten enz. III-XXIV, Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Deel LXXIII, Bandoeng, A.C. Nix & Co., 1937.