Mi tohugõ bõi molombase,
Mi era-era ba mi falua fefu zibohou,
Mi aneragõ hadia zi sõkhi ba bõi arõrõ ba zi no asese ta lau!
Mi aine ta fa zokhi zi bohou
Rhenald Kasali | KOMPAS IMAGES
KOMPAS.com - Sebuah berita di harian The Wall Street Journal (11 May 2009) menghentakkan para scholar di bidang strategic management. Kelak berita itu menjadi puncak lahirnya teori baru dalam ilmu bisnis, yaitu temporary advantage.
Judulnya amat menggoda. Hire as They Fire (Many Companies Hire as They Fire).
Ceritanya, ratusan perusahaan di Amerika Serikat kembali melakukan PHK
besar-besaran. Apakah itu Boeing, Microsoft, BM, AT&T, Yahoo, maupun
Time Warner. Tetapi berbeda dengan situasi sebelumnya, kali ini mereka
berbarengan (simultaneously) merekrut besar-besaran saat yang bersamaan.
Itu
kisah di tahun 2009 yang masih terus terjadi hingga hari ini. Bedanya,
dulu perusahaan melakukan PHK untuk memangkas biaya, kini PHK untuk
memperbaharui skill.
Keterampilan Keluar
Hari-hari
di Jakarta saya juga tengah menerima titipan sekitar 200 orang kolonel
TNI Angkatan Darat. Mereka adalah orang-orang yang telah berjasa pada
negara, dan sebagian telah mempertaruhkan hidupnya bagi negeri. Salah
seorang diantaranya berkata, “Saya menghabiskan sebagian besar masa muda
saya di dalam panser”.
Mereka
telah menjelajahi Indonesia, menjalani penempatan di berbagai pelosok
negri. Bahkan sebagian telah mengikuti pelatihan advanced di dalam dan
luar negri, dalam bidang pertahanan dan keamanan negara.
Namun
seperti judul berita di harian The Wall Street Journal tadi, mereka pun
tengah dipersiapkan memasuki karir kedua. Di usia yang sekitar 50
tahunan,seperti para eksekutif lainnya. Orang-orang berjasa ini
menghadapi relaita baru bahwa peran Dwi fungsi TNI sudah tidak berlaku
lagi. Padahal dulu, mereka dipersiapkan kelak dapat menjadi bupati,
walikota atau duduk di fraksi TNI dalam parlemen. Kini semua itu telah
berlalu.
Demikian
pulalah yang dihadapi tenaga-tenaga kerja di manca negara, termasuk di
sini. Menurut pengamatan saya, jutaan orang yang lahir sepanjang tahun
1955 – 1970 terancam mengalami kesulitan bila tidak memiliki
"keterampilan keluar" di era VUCA ini (Volatility, Uncertainties, Complexities dan Ambiguity). Bukankah ketrampilan yang kita miliki dan pelajari di masa lalu sebagian besar hanyalah "ketrampilan untuk masuk" belaka?
Ya,
masuk kerja, mengikuti arahan atasan, melakukan persaingan dalam
industri yang sama, menerima layanan, membuat usaha yang sudah biasa
kita lihat, mempertahankan karier, trampil naik ke atas dan seterusnya.
Tapi
berapa di antara kita yang memiliki ketrampilan beradaptasi dengan
hal-hal yang sungguh-sungguh baru? Ibaratnya, bepergian ke
luar negri tanpa bantuan travel agent, berkolaborasi dengan intens pada
kelompok umat beragama yang berbeda dengan keyakinan kita, mengadopsi
keterampilan baru yang sama sekali tak ada hubungannya dengan
kompetensi yang kita pelajari di usia muda, bahkan berpikir out of the box?
Padahal jangankan di bidang usaha yang baru, pada usaha yang sama saja, dewasa ini dituntut berpikir dan bertindak out of the box, out of routine. Maka itu wajar bila ini justru memicu keunggulan yang tidak sustainable. Keterampilan-keterampilan lama cepat obsolete (usang),
karena kita telah berhenti belajar dan hanya melakukan hal-hal yang
sama untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya berubah.
Banyak
perusahaan membiarkan semua ini terjadi secara terus menerus. Dan itu
pula yang terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan. Seorang eksekutif
sempat menyindir ketika mendengar pidato seorang menteri yang
menyilahkan para pensiunan menjadi widyaiswara (pengajar pada pusdiklat
kementerian atau BUMN). “Memangnya generasi-generasi baru mau dijadikan
ilmu museum?,” ujarnya.
Mereka
yang telah berhenti belajar 20 tahun yang lalu, hampir pasti hanya
mentransfer ilmu-ilmu yang dipelajari 20 tahun yang lalu kepada
karyawan-karyawan baru. Makanya banyak PNS muda yang gayanya mirip-mirip
dengan orang-orang tua, baik cara bicara, berpakaian, maupun ilmunya.
Ini jelas memerlukan perubahan.
Demikian yang dilakukan banyak perusahaan yang sustainable. Mereka bukan memecat orang, melainkan meremajakannya. Mereka tidak
mengganti karyawan dengan orang-orang yang sama, melainkan dengan
tenaga-tenaga baru. Ini berbeda dengan kebiasaan buruk lainnya yang
hanya sekedar mengganti orang dengan keahlian yang serupa.
Maka
SDM kita perlu diberikan keterampilan untuk “keluar” dari
perangkap-perangkap (keterampilan lama). Yang saya maksud keluar
bukanlah berarti membuang. Melainkan melihat cara-cara baru, dan
mengambil pendekatan-pendekatan baru. Anda tak harus berubah dari
profesor perikanan menjadi guru besar periklanan, atau dari ahli
keuangan menjadi pemasaran, melainkan menemukan cara-cara baru yang
lebih sehat.
Kita perlu melatih diri keluar dari kengototan-kengototan adu cerdik dalam lapangan yang sempit.
Dan bila itu dilakukan, maka sebenarnya tak pernah terjadi “hire as they fire“ tadi.
Toh tua atau muda hanya beda tahun kelahiran saja. Tetapi sungguh,
banyak perusahaan kini terperangkap dalam keunggulan sesaat dengan
melakukan cara yang masih tetap sama meski konteks yang dihadapi sudah
berubah. Seperti bank-bank kecil yang kini megap-megap saat OJK
mendorong lahirnya bank-bank yang kuat, besar, dan modalnya harus terus
ditingkatkan.
Bisakah bertahan dengan cara kemarin untuk menghadapi hari esok?