Yang terbesar dan paling padat penduduknya di
antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera ialah pulau Nias (kini sekitar
550.000). Pulau ini, sama seperti kepulauan Batu, Pulau Enggano, dan
kepulauan Mentawai, baru dijajah orang Belanda sekitar tahun 1900. Sebelumnya,
Belanda hanya menguasai daerah di sekeliling Gunung Sitoli. Penduduknya,
khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, tetapi hidup usaha
bercocok-tanam (Nias) atau dari pemberian alam (Mentawai). Maka masyarakatnya
bersifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar. Agama
Kristen pertama-tama dibawa ke pulau Nias oleh misi Katolik dari Perancis, yaitu
Missions Etrangers de Paris, namun pekerjaan itu berlangsung singkat saja, dari
1832-1835.
RMG adalah badan kongsi pekabaran Injil yang didirikan di Barmen,
Jerman, pada tanggal 23 September 1828. Kongsi ini merupakan hasil pengaruh
gerakan Pietisme yang melanda Jerman pada saat itu. Namun mereka menyebut
dirinya Neo-Pietismen karena menyebut diri bagian dari Reformasi, dan tidak
terikat dengan salah satu tradisi baik Luteran maupun Reformed. Umumnya mereka
menyebut diri “Uniert” atau perpaduan Lutheran dan Reformed. Masuknya berita
Injil melalui Misi Protestan ke Pulau Nias dimulai pada tahun 1865 oleh
penginjil Jerman, E. Ludwig Denninger dari Rheinische Missions Gesellschaft
(RMG) pada tanggal 27 September 1865. Tanggal 27 September ini dijadikan sebagai
"Hari Yubelium BNKP.” Gustav Menzel, Denninger: Ama Wohalõwõ Ba Danõ Niha,
(Gunung Sitoli: Panitia Yubelium 125 Fakhe Duria Somuso Dõdõ Ba Danõ Niha,
1990).
Badan misi ini untuk sementara waktu dikirimkan dari Kalimantan. Pada
saat itu penduduk pulau itu memeluk agama leluhur. Fangesa (pertobatan/
penyesalan), dodo (hati), sebua (besar). Arti harfiahnya adalah “pertobatan
hati yang besar.” Namun diterjemahkan kemudian dengan “pertobatan masal.” Sebua
(besar) diterjemahkan dengan orang banyak atau masal. Hingga tahun 1900, ketika
pemerintah kolonial Belanda masuk, pertumbuhan gereja di sana berlangsung
lambat sekali. Baptisan pertama dilakukan pada 1874. Sekitar 15 tahun kemudian
(1890), jumlah orang Kristen yang telah dibaptis baru mencapai 706 orang. Jumlah
ini bertambah hingga 20.000 orang pada 1915. Dari 1915-1920 komunitas Kristen
di Nias mengalami kebangunan rohani yang besar, sehingga terjadilah pertumbuhan
yang sangat pesat. Pada tahun 1921 sudah 60.000 orang dibaptiskan-pertambahan
sejumlah 40.000 orang hanya dalam waktu lima tahun. Pada tahun 1936 Sinode BNKP
yang pertama dibentuk dan hingga tahun 1940 dipimpin oleh seorang misionaris
Jerman. Kebangunan rohani berikutnya (1938-1942, 1945-1949) tidak hanya
melahirkan pertumbuhan tetapi juga perpecahan gereja (Fa’awösa khö Geheha and
Fa’awösa khö Jesu). Sementara itu di Nias berkembang pula Gereja Advent dan
Gereja Katolik Roma. Namun demikian BNKP tetap merupakan Gereja terbesar, yang
mencakup 60% dari seluruh penduduk. Oleh karena itu, Gereja ini boleh dikatakan
mempersatukan masyarakat Nias menjadi satu kesatuan etnik dan bahasa.
MULA-MULA
BERITA INJIL DI NIAS SAMPAI TERBENTUKNYA GEREJA BNKP SEKARANG INI
1.
Nias: Tempat Gereja BNKP Tumbuh dan Berkembang Nias adalah sebuah pulau yang
terletak di lepas pantai sebelah Barat pulau Sumatera.Sebenarnya masih banyak
pulau-pulau yang lain yang ada disekitarnya, antara lain: Pulau Batu, Pulau
Banyak, Pulau Mentawai, Pulau Enggano, dan lain-lain, tetapi pulau Nias adalah
yang terbesar. Kata Tanö Niha yang akhirnya selalu menjadi sebutan bagi Pulau
Nias. Tanö berarti “tanah, bumi” dan Niha artinya “manusia, orang”. Sehingga
Tanö Niha berarti tanah atau bumi manusia. Penduduknya selalu menyebut dirinya
sebagai Ono Niha. Ono artinya “anak” atau “manusia” sehingga Ono Niha berarti
“anak manusia”. Sedangkan orang lain yang bukan Nias disebut dengan Ndrawa
(orang asing, orang luar Nias), misalnya Ndrawa Aceh (orang Aceh), Ndrawa
Hulöndra (orang Belanda). Kecuali orang Cina yang dipanggil dengan Gehai
(Kehai). Menurut Tuhoni Telaumbanua, orang Nias telah lama mendiami Pulau Nias.
Mereka juga beradaptasi dengan suku bangsa lain seperti Minang, Aceh, Batak,
Bugis bahkan dari luar negeri seperti Cina, Persia, Belanda, Arab, dan
lain-lain.
Dari
ciri-ciri fisik ini tidak jarang orang Nias baik yang ada di Nias terlebih
diperantauan, orang menyebut mereka seperti keturunan Cina, Korea atau Jepang.
2. Masuknya Berita Injil di Nias 2.1 Agama Asli Suku Nias Sebelum datangnya
berita Injil di Nias yang nantinya melahirkan satu lembaga gereja BNKP, orang
Nias memiliki satu agama suku yang disebut dengan agama “penyembah roh” atau
agama Pelebegu yang artinya “penyembah patung” (Molohe Adu). Sebagai alat untuk
penyembahan, mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu. Patung-patung
kayu ini dipercaya sebagai tempat roh leluhur disebut adu satua (patung
leluhur), sehingga harus dirawat dengan baik. Sebagai tempat ibadah yang mana
patung-patung ini ditempatkan dibangun satu tempat atau rumah yang disebut
osali (kata ini nantinya dipakai untuk Gereja dalam bahasa Nias). Untuk
menyampaikan segala permohonan, keluhan, pergumulan kepada para roh leluhur
membutuhkan seorang penghubung yang disebut dengan ere (imam). Selain itu, bagi
orang Nias, semuanya nilai, norma dan tata kehidupan masyarakat diatur dalam
dan melalui Fondrakö (Nias) atau di Nias Selatan disebut Famadaya Harimao.
Fondrakö berarti menetapkan artinya semua aturan ditetapkan dalam musyawarah
bersama. Yang mengikuti akan selamat, namun yang tidak taat akan menerima
kutukan. Melihat dari esensinya Fondrakö ini mirip dengan Hukum Taurat bagi
orang Yahudi. Orang Nias sangat taat dan takut dengan fondrakö ini sehingga
susah menerima Injil. Sama halnya dengan ajaran-ajaran Yesus yang tidak
berterima bagi orang Yahudi. 2.2 Masuknya Berita Injil di Nias 2.2.1 Masa
Permulaan Yang Sulit (1865 – 1890).
Pada awalnya memang sulit merubah
kepercayaan asli orang Nias karena telah mengakar dalam diri mereka. Hal ini
ditambah pada saat itu orang Nias sedang berada di bawah pemerintahan kolonial
Belanda dengan ciri-ciri umum berkulit putih, rambut pirang dan tinggi besar.
Sehingga pandangan mereka setiap orang dari luar yang memiliki ciri-ciri di
atas termasuk misionaris dianggap sebagai penjajah. Belum lagi persoalan wabah penyakit
malaria yang memang tinggi di Nias. Usaha pekabaran Injil di Nias mula-mula
berasal dari misi Katolik dari Prancis, yaitu Missions Etrangers de Paris pada
tahun 1922-1923. Mereka mengutus 2 (dua) orang Pastor, bernama Pere Wallon dan
Pere Barart. Misi ini tidak berhasil karena keduanya jatuh sakit akibat wabah
penyakit malaria dan salah seorang dari mereka meninggal dunia setelah 3 (tiga)
hari tinggal di sana dan 3 (tiga) bulan berikutnya menyusul yang seorang lagi.
Barulah pada tahun 1865, seorang penginjil Jerman, bernama Ernst Ludwig
Denninger tiba di Gunungsitoli pada tanggal 27 September 1865. Dia adalah
utusan dari badan Zending, Rheinische Missions Gesselschaft (RMG) Barmen,
Jerman tahun 1971 menjadi VEM, sekarang UEM. Awalnya Denninger bertugas di
Kalimantan. Sehubungan sedang terjadi Perang Hidayat di sana, dia beserta 9
(sembilan) orang misionaris lainnya melarikan diri dan mereka tiba di Padang
(Sumatera Barat). Ketika teman-temannya yang lain melanjutkan misi Kristus ke
tanah Batak, Dennigger tinggal di Padang, oleh karena istrinya sakit keras. Di
sana dia bertemu dengan orang-orang perantauan dari Nias (± 3000 orang),
bergaul dengan mereka dan tertarik untuk datang ke Nias. Sehingga, Denninger
belajar bahasa Nias. Dalam pertemuannya dengan orang Nias di Padang pada tahun
1863, dia pernah melakukan pembaptisan kepada seorang anak perempuan Nias,
berumur 17 tahun. Nama kecilnya adalah “Ara”, dan setelah dibaptiskan diberi
nama oleh Tuan Denninger, Gertruida Christina. Dan akhirnya dia mengambil
keputusan untuk melayani di Nias, sehingga pada tanggal 27 September 1965, Tuan
E. Deninger tiba di Gunungsitoli. Tanggal kedatangannya ini oleh gereja-gereja
di seluruh Pulau Nias menjadikannya sebagai awal masuknya Injil di Pulau Nias.
Denninger merasa bahwa keberhasilan dalam pekabaran Injil di tengah-tengah
orang Nias salah satunya melalui pendidikan selain kesehatan, diakonia
(pemberian makanan, tembakau, pakaian, dan lain-lain) dan pembangunan ekonomi
masyarakat (salah satunya cara bercocok tanam yang baik). Itulah sebabnya pada
tahun 1866, Deninger, membuka Sekolah Anak-Anak di Gunungsitoli. Dia mengajar
mereka membaca dan menulis. Muridnya hanya 6 (enam) orang, salah satunya adalah
Kaneme, anak seorang Salawa (bangsawan). Namun mereka datang hanya karena
senang dengan “pemberian” Denninger. Sehingga mereka belum siap untuk dibaptis.
Pada saat itu juga, Denninger mulai menterjemahkan Injil Lukas dan Yohanes
dalam bahasa Nias, yang menjadi kekuatannya dalam mengabarkan Injil. Pada tahun
1872 datang seorang lagi missionaris dari RMG, Jerman, yaitu J.W. Thomas. Untuk
sementara waktu, dia tinggal bersama dengan Denninger di Gunungsitoli untuk
belajar bahasa Nias. Kemudian, dia pindah ke Ombolata. Tahun 1873 datang lagi
seorang missionaris yaitu Friedrich Kramer. Dan Kramer inilah yang membaptiskan
pertama sekali orang Nias menjadi Kristen yaitu sebanyak 25 orang di Desa
Hilina’a atas nama Yawa Duha (Kepala Kampung Hilina’a), beserta keluarganya.
Hal ini terjadi pada tanggal 05 April 1874 bertepatan dengan Paskah.
Pada
tanggal, 08 Agustus 1875, terjadi perpisahan kepada Denninger, oleh Thomas dan
Kramer beserta semua yang telah dibaptis. Pada saat inilah diadakan sakramen
Perjamuan Kudus yang pertama sekali di gereja Nias (± 100 orang). Dua hari
kemudian, pada tanggal 10 Agustus 1875, Tuan Deninger, meninggalkan Nias menuju
Batavia (Jakarta sekarang), oleh karena kondisi kesehatan yang kurang baik.
Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 22 Maret1876, Denninger meninggal di
sekitar wilayah Bogor. Oleh Kramer, Denninger diberikan julukan, “Ama Halõwõ
Zamatenge Ba Danõ Niha” (Bapa Pemberita Injil di Nias). Namun satu hal yang
perlu dicatat bahwa sampai sekarang, foto Denninger tidak pernah diketemukan.
Dan sebagai tanda untuk mengingat dirinya salah satu gereja diberi nama
Denninger, yaitu Jemaat BNKP Denninger, yang berada di Tohia, Gunungsitoli,
kurang lebih 2 km dari pusat kota Gunungsitoli. Pada tahun 1876 datang Dr. W.H.
Sunderman di Gunungsitoli, dan dia langsung belajar bahasa Nias. Kemudian pada
1886 dia tinggal di Lõlõwua sampai tahun 1902. Selama di Lõlõwua, Sundermann
menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Nias seperti yang kita kenal sampai
sekarang dan selesai pada tahun 1908. Demikian juga buku Agende atau liturgi
gerejani dari bahasa Jerman ke bahasa Nias, dan Katekhismus Luther. Buah dari
pekerjaan para misionaris ini mulai tampak ketika pada tahun 1876 berdiri
Gereja pertama di Nias, di Ombõlata. Kemudian untuk membantu mereka pada tahun
1895 pada bulan Maret dibuka Sekolah Guru Injil pertama di Ombolata. Pada tahun
1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang mengantikan
J.W. Thomas di Ombõlata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha
membuka pos Pekabaran Injil di Sa’ua (Nias Selatan), meskipun usahanya itu
ternyata gagal.
Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan
Pekabaran Injil yang dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini
telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang di Gunungsitoli, 348
orang di Ombõlata dan 203 orang di Dahana). Juga diantara mereka telah dipilih
beberapa orang menjadi penatua. Daerah yang dicapai hanya di sekitar
Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli, Ombõlata,
dan Dahana. Pada masa ini juga dibangun gereja pertama di Nias di Ombolata pada
tahun 1876. 2.2.2 Masa Perluasan/Penyebaran (1890-1914) Masuknya Injil di Nias
bagian Tengah dan Nias Bagian Barat. Pada tahun 1896, Dr. W.H. Sundermann
membuka pos pelayanan di Lõlõwua (17 km dari kota Gunungsitoli). Di Lõlõwua ini
Sundermann berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias, dan dengan
Katekhismus Luther yang disebut “Lala Wangorifi”. Masuknya Injil di Pantai
bagian Timur sampai di Nias bagian Selatan.
Usaha pekabaran injil di Nias
bagian Selatan baru dapat dibuka pada tahun 1908, yaitu setelah pemerintah
Hindia Belanda berhasil menduduki Nias Selatan. Sehingga Pendeta H. Rabeneck
berhasil membuka pos pekabaran Injil pertama kali di Nias Selatan di Sa'ua Ori To'ene pada tahun 1909 dengan dibantu
oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogõ di Hiligeho dan Fangaro Zebua. Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1912 (bukan 1916).
Yang pertama-tama dibaptis oleh Tuan Rabenneck pada tahun 1912 (bukan 1916) ada 8 keluarga (bukan 87 orang).
Pelopor Pendidikan dan Pendiri Gereja di Desa Hilisatarõ, Gereja Pertama di Nias Selatan yang diasuh oleh Tuan H.Rabenneck adalah:
1. Amada Soluzu
2. Amada Fasulõ
3. Amada Goba'itaõgõ
4. Amada Pdt.Wkl.Hata Laia
Menyusul kemudian
5. Amada Wano'e
6. Amada Mehõnõ
7. Amada Sai'õtõ.
Masuknya
Injil di Nias bagian Utara. Pada tahun 1903 Pendeta Noll membuka Pos Pekabaran
Injil di Bo’usõ. Orang-orang yang datang dan pergi melalui Bo’usõ ini
mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan penduduk di Nias Bagian Utara,
sehingga pada tahun 1910 Tuhenõri Ama De’ali yang bergelar Samasiniha dari
Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang meminta kepada Pendeta Noll agar
membuka pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Masuknya Injil di Pulau-Pulau Batu.
Masuknya injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha
Luthersche Zending Genotschap dari Negeri Belanda. Yang membawa berita Injil di
sana adalah Johannes Kersten yang tiba di Pulau Tello pada tanggal 25 Februari
1889. Seperti halnya di daratan Pulau Nias, Pendeta Johannes Kersten di sana
juga menghadapi wabah penyakit dan permusuhan antar kelompok penduduk. Pada
akhir tahun itu datang pula Pendeta C.W. Frickenshmit, dan tidak lama kemudian
menyusul P. Landwer yang berhasil membuka pos pekabaran injil di Pulau Sigata
pada tahun 1896. 3.
Masa Pertobatan Massal (Fangesa Dödö Sebua) Perkembangan
dan pertumbuhan kekristenan di Nias mencapai puncaknya pada tahun 1916 dengan
apa yang disebut Fangesa Dödö Sebua (Pertobatan Hati Massal) semacam Gerakan
Kebangunan Rohani Besar/ Massal. Peristiwa ini bermula di Humene (± 10 km dari
Gunungsitoli) ketika seorang “guru bantu” di sekolah Zending bernama Filemo
pada bulan April 1916. Pada saat itu sedang ada berlangsung kebaktian Paskah
sekaligus Perjamuan Kudus dengan misionaris Ruderrsdorf sebagai pelayannya.
Setelah mendengar Firman Tuhan tiba-tiba Filemo menangis dan menjerit sambil
berkat “Horögu! Horögu!” (Dosaku! Dosaku!). Orang banyak mengira dia “gila”
atau “sakit”, tetapi Ruderrsdorf yang berlatar belakang Pietis memahami kondisi
ini. Dia mengatakan bahwa Filemo tidak sakit, melainkan dia menyesal akan
dosa-dosanya. Ruderrsdorf menuntun Filemo untuk mengakui dosa dihadapan Tuhan
dan meminta maaf terhadap setiap orang yang merasa dia bersalah. Dia melakukan
itu semua dan setelahnya Filemo merasa damai dan tenang. Anehnya kepada setiap
orang Filemo meminta maaf, orang tersebut juga menangis dan menyesali dosanya
sehingga pergi meminta maaf kepada yang lain. Peristiwa ini cepat menyebar ke seluruh
wilayah daerah pelayanan para misionaris, sehingga banyak orang yang menyesali
dosanya dan kembali ke jalan Tuhan. Dampak positif dari gerakan ini nampak pada
pertumbuhan kuantitas dan kualitas iman warga jemaat. Segi kuantitas terjadi
pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan. Pada tahun 1915 jumlah
orang Kristen di Nias tercatat 20.000 jiwa (hasil pelayanan 50 tahun). Pada
tahun 1929 menjadi 85.000 jiwa. Bertambah 65.000 jiwa hanya dalam kurun waktu
14 tahun saja. Juga dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Nias yang telah
menjadi Kristen, benar-benar menunjukkan dirinya sebagai orang yang percaya
kepada Yesus. Banyak yang membuang “Adu”, hidup dalam perskutuan-persekutuan
dan kejahatan seperti perkelahian, pencurian, perampokan mulai berkurang.
Pada
saat ini kerinduan orang mendengar Firman Tuhan sungguh besar. Sehingga
dimana-mana bermunculan persekutuan doa yang disebut dengan Sekola Wanusugi
Dödö atau Sekolah Niha Keriso. Pada saat ini banyak tercipta lagu-lagu rohani
yang berisi pertobatan dan perubahan hati. Sayang sekali, kemudian hari seiring
dengan putusnya hubungan antara BNKP dengan RMG akibat Perang Dunia II pada
tahun 1940-1953 dan Jepang menguasai Indonesia, gejolak di dalam gereja mulai
timbul. Salah satunya muncul Fangesa Dödö Solaya (Pertobatan Hati Dengan
Menari) yang sudah “campur dengan ilmu hitam” dan menjadi “sesat” oleh gereja.
Gerakan ini mulai timbul di Nias Barat. Pada saat itu yang muncul adalah
penekanan pada karunia rohani dan sikap menantikan akhir zaman. Pada saat ini
juga muncul para pengajar “sesat” yang mengandalkan mimpi-mimpi, muzijat dan
memakai nama-nama Allah dalam bahasa Ibrani (seperti Yahweh, El Roy, El Elyom,
dan lain-lain) sebagai satu kekuatan 4 Terbentuknya BNKP (1936 – Sampai
Sekarang) Dampak lain dari munculnya Gerakan Pertobatan Masal adalah timbulnya
kerinduan dari para missionaris yang didukung oleh pelayan lokal dalam hal
penataan organisasi.
Hal ini berbuah pada pelaksanaan Sidang Sinode I pada
tanggal 08–11 November 1936 di Gunungsitoli. Sidang ini menghasilkan beberapa
keputusan penting antara lain:
Pertama, membentuk satu wadah yang menyatukan
seluruh gereja di Nias yang disebut Banua Niha Keriso Protestan Ba Danö Niha
(BNKP di Nias).
Kedua, memilih Pdt. A. Luck (misionaris Jerman) sebagai Vorzitter
(Ephorus) yang pertama dan para zendeling lainnya sebagai Praeses (Pendeta
Resort) di 7 Ressort.
Ketiga, menerima dan mengesahkan Tata Gereja yang
kemudian pada tahun 1938 mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda.
Sehubungan
dengan peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada Jepang pada tahun
1940, maka seluruh Pendeta atau misionaris dari RMG diminta meninggalkan pulau
Nias. Ini adalah ujian berat bagi BNKP di Nias karena kehilangan tenaga dan
sumber dana dari RMG, tetapi menjadi berita sukacita karena orang Nias memimpin
gerejanya sendiri.
Dari sinilah mulai kemandirian dalam bidang organisasi di
BNKP dengan Pdt. Atoföna Harefa, menjadi Ephorus pertama dari kalangan orang
Nias. Melihat perjalanan masuknya berita Injil di Nias sampai berdirinya BNKP
adalah salah satu anugerah dan rencana Tuhan yang luar biasa bagi seluruh
masyarakat Nias. Mengenai arti BNKP sendiri tertuang dalam TG 2007, BAB I,
Pasal 1:1 dan penjelasannya: “Banua Niha Keriso Protestan yang disingkat BNKP
merupakan persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang berasal
dari suku Nias dan suku-suku lainnya di dunia”
SUSUNAN
LITURGI GEREJA BNKP
Liturgi
yang kontekstual adalah liturgi yang diharapkan oleh setiap para pemuka/
pemimpin keagamaan. “Diharapkan,” terkandung pengertian tahap/ proses yang
harus dilalui. Jadi, kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan
sejak gereja mula-mula beribadah baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja
dilakukan penyesuaian. Kesimpulan logisnya adalah “tidak sah jika ada Gereja
yang mengklaim bahwa liturgi asli sejak zaman para Rasul.” Keberbagaian liturgi
tersebut menyangkut hal-hal kebiasaan, bahasa, tata liturgi, dsb. Ada beberapa
metode penyesuaian, misalnya: adaptasi, inkulturasi, penerjemahan, dan
lain-lain. Ketika Gereja mengadakan evaluasi, atau mengkritisi, atau menggumuli
bahwa liturginya perlu diperbaiki, maka di situ telah terjadi proses
kontekstualisasi (sekalipun masih dalam bentuk yang paling awal). Karena
gerakan liturgis yang terjadi sejak hampir seabad lalu (marak setelah Perang
Dunia II) telah memacu dan memotivasi setiap denominasi Gereja untuk terus
membarui liturginya. Luther membuat buku tentang tata ibadah dengan judul
“Tentang Tata Tertib Ibadah Jemaat,” sedangkan Calvin yang berkarya dan
melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strasburg (Perancis) juga
menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 yang berjudul: “‘La Forme des
Prieres et Chantz ecclesiastiques, auec la maniere d’administrer les Sacramens,
et consacrer le Mariage: selon la coustume de l’Eglise ancienne” (Artinya:
Bentuk doa-doa dan lagu-lagu gerejawi dengan cara melayankan sakramen-sakramen
dan meneguhkan pernikahan menurut kebiasaan gereja kuno) kedua bukunya juga
tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Penggunaan
liturgi dari perpaduan dua liturgi ini telah digunakan di BNKP sejak Sidang
Sinode I (1936) sampai sekarang. Liturgi tersebut memang mengalami perubahan
pada: perbaikan redaksi (berupa penambahan/ pengurangan), nyanyian-nyanyian
dalam liturgi dan penempatan dalam susunan tentang persembahan. Perubahan tidak
dilakukan pada jiwa liturgi itu sendiri. Dengan bergabungnya BNKP jadi anggota
Lutheran World Federation (LWF) yang bertepatan pada Sidang LWF yang
dilaksanakan pada tanggal 12-19 Juni 2001, maka konsekuensinya adalah BNKP
harus menentukan liturginya sendiri atau menyesuaikan secara murni dengan
liturgi Lutheran. Menurut Tim Penyusun Liturgi BNKP, perubahan itu juga
mencakup: “bentuk gereja, keadaan dalam ruang ibadah (seperti: letak mimbar,
meja, altar, dll).” 1) Pertimbangan untuk Liturgi BNKP yang Kontekstual
Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa liturgi BNKP adalah gabungan dari
unsur liturgi Lutheran dan liturgi Calvinis, di bagian ini akan diperlihatkan
liturgi tersebut. Ibadah Umum i. Nyanyian pembukaan. ii. Votum. iii. Pembacaan
Hukum Taurat. iv. Nyanyi. v. Pengakuan Dosa dan Pemberitaan Anugrah. vi. Nyanyi.
vii. Pembacaan Firman Tuhan (Epistel). viii. Paduan Suara/ Koor. ix. Pengakuan
Iman. x. Nyanyian dan Persembahan. xi. Khotbah. xii. Nyanyi. xiii. Warta
Jemaat. xiv. Nyanyian dan Persembahan. xv. Nyanyi, Doa Syafaat dan Berkat. xvi.
Nyanyian Penutup. xvii. Salam Pembubaran. Paparan berikut hanya berupa usulan
untuk dipertimbangkan oleh para petinggi jemaat kita di aras Sinode dan lebih
spesifik kepada Tim Penyusun Liturgi BNKP. Usulan ini bertolak dari usaha untuk
mempertahankan unsur liturgi BNKP (kekhasannya) dengan memperhatikan
nilai-nilai kebudayaan setempat, kebudayaan dimana Lutheranisme hadir.
Memperhatikan nilai-nilai budaya setempat adalah unsur lutheranisme yang kuat,
tidak boleh diabaikan. G. Riemer menuliskan bahwa: “Luther menekankan penggunaan
bahasa umum dalam keseluruhan ibadah berdasarkan keyakinannya, bahwa manusia
diselamatkan karena mendengar Firman yang harus diterima dan dipahami
sebaik-baiknya. Dalam suratnya kepada seorang ahli teologi, ia memohon bantuan
‘untuk mengikuti contoh nabi-nabi dan bapak-bapak apostolic, yang menukil
mazmur-mazmur ke dalam syair bahasa Negara, agar Firman Allah diketahui secara
umum melalui kidung-kidung ini.” Itu menandakan bahwa, budaya lokal, di mana
lutheranisme hadir tidak dinilai sebagai hal negatif, atau menganggap unsur
lutheranisme yang keEropan bernuansa sorgawi. Penilaian Luther terhadap hal ini
didasarkan pada karya Allah dalam catatan Alkitab (Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru) yang berbicara melalui budaya setempat, unsur-unsur kebudayaan
jadi sarana dalam mengkomunikasikan Injil. Luther dengan tegas menyatakan
bahwa: “kebaktian sedapat mungkin harus diselenggarakan dalam bahasa lokal.”
Dalam hal ini kita di BNKP selaku lutheranisme telah mempraktekkannya dengan
tepat.
TATA
GEREJA BANUA NIHA KERISO PROTESTAN (BNKP)
1. Hakikat Dan Wujud Allah
memanggil umat-Nya di dalam Yesus Kristus untuk mewujudkan kerajaan-Nya. Umat
Allah itu adalah Gereja yang Am, Tubuh Kristus yang berada di segala tempat dan
di segala zaman dan BNKP termasuk didalamnya. BNKP hidup dari penyataan Allah
di dalam Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat, yang disaksikan di dalam
Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; sehingga BNKP percaya bahwa
hanya melalui Tuhan Yesus Kristus, gereja beroleh keselamatan dan pedoman
hidupnya. Tuhan Yesus Kristus menuntun dan menggembalakan gereja-Nya dengan
firman dan sakramen melalui kuasa Roh Kudus. BNKP adalah persekutuan
orang-orang kudus yang telah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak-Nya Yesus
Kristus dan Roh Kudus, sebagai wujud nyata dari tubuh Kristus di dunia. BNKP
adalah gereja Tuhan Yesus Kristus yang saat ini mewujud sebagai jemaat-jemaat,
resort-resort dan sinode di Indonesia, yang melaksanakan misi Allah di tengah
dunia. Jemaat, resort dan sinode BNKP, masing-masing dan bersama-sama merupakan
perwujudan gereja Tuhan sebagai suatu gereja yang lengkap dan utuh. 2.
Pengakuan Iman BNKP mengaku bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi serta
segala isinya. Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia, raja damai,
kepala semua pemerintahan, kepala gereja, dan sumber segala berkat. Roh Kudus
adalah, Roh Allah yang hadir untuk membimbing, menghibur umat-Nya, seperti yang
disaksikan di dalam Alkitab. BNKP mengaku bahwa Alkitab adalah firman Allah
yang diwahyukan melalui para nabi dan rasul-rasul-Nya, berguna sebagai norma
dasar bagi kehidupan gereja dan masyarakat. BNKP mengaku bahwa,
manusia pribadi lepas pribadi: laki-laki, perempuan, anak-anak, orangtua,
adalah ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah, karena itu, diakui bahwa
setiap manusia, memiliki nilai, harkat dan martabat yang sama di dalam gereja,
di dalam masyarakat dan juga di hadapan Tuhan. BNKP mengakui bahwa gereja
adalah persekutuan orang-orang beriman dan percaya kepada Yesus Kristus, yang
dibimbing dan diarahkan oleh kuasa Roh Kudus. Karena itu, gereja bukanlah milik
seseorang, milik kampung atau milik wilayah tertentu. Gereja adalah milik Yesus
Kristus, dan berfungsi untuk menyatakan kehendak-Nya kepada dunia ini. Berkat
pertolongan dan bimbingan Roh Kudus, BNKP menerima Pengakuan Iman Rasuli dan
Pengakuan Nicea-Konstantinopel menurut penjelasan dari gereja-gereja reformasi,
terutama Katekhismus Martin Luther dan Katekhismus Heidelberg. BNKP mengakui
bahwa, keselamatan telah disediakan oleh Yesus Kristus untuk seluruh makhluk,
dan terutama bagi mereka yang beriman dan hidup di dalam kasih-Nya. 3. Tujuan
Gereja BNKP BNKP bertujuan menyaksikan Injil Yesus Kristus kepada segala
makhluk melalui persekutuan, kesaksian dan pelayanan seutuhnya.” 4. Tugas
Panggilan a) Pelaksanaan Kebaktian BNKP mewujudkan persekutuan di dalam Tuhan
Yesus Kristus untuk memenuhi tugas panggilan gereja. BNKP terpanggil untuk
menyaksikan dan memberitakan penyelamatan Allah yang berpusat di dalam diri
Yesus Kristus, demi keselamatan umat manusia dan segala makhluk. Kesaksian dan
pelayanan dalam rangka menyatakan penyelamatan Allah dilaksanakan melalui
pemberitaan dan perbuatan nyata, baik perorangan maupun sebagai persekutuan
jemaat, resort, sinodal, dan persekutuan oikumenis. Kebaktian adalah aktifitas
orang percaya dalam suatu waktu dan termpat tertentu yang mencerminkan
persekutuan, pelayanan dan kesaksian yang terjadi dalam perjumpaan dengan
Allah. BNKP menyelenggarakan kebaktian minggu dan hari-hari besar gerejani,
Penelaahan Alkitab, persekutuan doa, Kebaktian Kebangunan Rohani, dan berbagai
ibadah lainnya, seperti peneguhan sidi, peneguhan pernikahan, penguburan orang
mati, peneguhan/penahbisan pelayan gereja, dan sebagainya. b) Pelaksanaan
Sakramen Sakramen adalah tanda dan meterai karunia Allah dengan umat-Nya, yang
dilaksanakan oleh gereja berdasarkan amanat Tuhan Yesus. BNKP melaksanakan dua
sakramen yaitu: Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Baptisan Kudus adalah
sakramen yang menunjuk kepada pengampunan dosa dan keterhisapan seseorang dalam
gereja, serta tanda panggilan Tuhan ke dalam kerajaan-Nya. Yang menerima
baptisan ialah: Orang dewasa dengan menyaksikan sendiri pengakuan imannya. Anak
dalam keluarga Kristen yang dibaptis pada masa kecil dan orangtuanya bertanggungjawab
penuh, sehingga ia dapat menyaksikan sendiri pengakuan imannya pada waktu ia
disidikan. Baptisan dalam nama Allah Bapa, Anak-Nya Yesus Kristus dan Roh Kudus
yang diakui sah. Baptisan dilaksanakan oleh BNKP dengan cara percik.
Pembaptisan ulang tidak dibenarkan dan tidak diterima oleh BNKP. Perjamuan
Kudus adalah sakramen yang menunjuk kepada persekutuan hidup orang percaya yang
dibangun berdasarkan pengorbanan Yesus menuju kesempurnaannya pada saat
kedatangan-Nya yang kedua kali. Sakramen Perjamuan Kudus dianugerahkan kepada
jemaat supaya perjanjian Tuhan diwujudkan di dalam iman, kasih dan pengharapan.
Perjamuan Kudus hanya dibenarkan diikuti oleh anggota jemaat yang sudah
disidikan atau yang telah dibaptis dewasa yang tidak dalam keadaan dikenakan tertib
gereja. Penggembalaan adalah upaya yang dilakukan gereja untuk menyembuhkan,
membimbing, memelihara dan membebaskan, serta membangun anggota jemaat dalam
hal ajaran dan perbuatan yang benar sesuai dengan penggilannya selaku anggota
jemaat. Penggembalaan khusus adalah upaya yang dilakukan gereja untuk menolong
anggota-anggota jemaatnya yang menghadapi berbagai masalah dalam hidup mereka.
BNKP berkewajiban membina dan membimbing para anggotanya dan tenaga pelayan
agar tetap sedia dan setia dalam melayani Tuhan menurut tugas dan panggilannya
masing-masing. Pembinaan dan pengajaran dilaksanakan oleh gereja sebagai tugas
panggilannya, antara lain: a) Sekolah Minggu b) Katekisasi Sidi c) Katekisasi
orang dewasa d) Pembinaan dan pendidikan di sekolah-sekolah e) Pembinaan dan
pendidikan para pelayan f) Pembinaan warga gereja g) Pembinaan kategorial
KESIMPULAN
Gereja sebagai persekutuan
orang kudus adalah milik Tuhan Yesus Kristus, (Yohanes 17:9), yang telah
ditebus-Nya dengan mahal, yaitu dengan darah-Nya sendiri, (I Petrus 1:19).
Tuhan sendiri yang mendirikan gereja, mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi
saksinya, dengan kuat kuasa Roh Kudus, bagi kemuliaan Allah dan keselamatan
ciptaan-Nya (Matius 16:18, 28:18-20; Lukas 2:14). Sebagai raja dan kepala
gereja, Tuhan memerintah dan memimpin gereja-Nya melalui firman dan Roh Kudus,
oleh karena itu gereja terpanggil untuk senantiasa di bawah bimbingan Roh
Kudus, secara tekun berupaya menelaah, menghayati, dan mengamalkan firman Tuhan
sebagaimana disaksikan oleh Alkitab Percaya akan pimpinan Tuhan, maka BNKP
tidak melupakan sarana dan saluran yang telah dipergunakan Tuhan untuk
mendatangkan berita Injil, sampai ke Pulau Nias dan pulau-pulau sekitarnya; hal
ini tidak hanya tercermin dengan pencantuman nama-nama badan pekabar Injil
tersebut dalam pendahuluan ini, melainkan juga dalam penghayatan warisan
gerejani yaitu dengan sadar BNKP tidak mengikatkan gereja yang lahir dan
bertumbuh dari pelayanan pekabarannya kepada salah satu konfensi yang ada,
sehingga gereja itu terhindar dari konfensionalisme, yang menghambat gereja
untuk bernafaskan kebebasan injili dan oikumenis. Warisan ini jugalah yang
membuat mulus penyatuan BNKP yang lahir dari usaha pekabaran Injil yang
berlatar belakang Lutheran di Pulau-pulau Batu dengan BNKP tahun 1960.
Potret Pdt.(wk). Hatazaro Laia (1886-1971)
Batu Nisan Pdt.(wk). Hatazaro Laia Disamping Gereja BNKP Hilisatarö
1912 Dibaptis oleh Tuan Rabineck bersama ibunya Somilaowo
1918 Menjadi Guru (Hulponderwys),
1930-1950 Menjadi Guru Jemaat BNKP (Sinenge),
1951-1952 Menjadi Wk.Pendeta BNKP Telokdalam dan Sa'ua,
1953-1971 Menjadi Guru Agama Kristen di SR Sa'ua, Bawöganöwö dan Hilisatarö,
1 Juli 1971 Pensiun PNS,
28 Desember 1971 Wafat.
Fasöndrata si söchi andrö, ba no ulau, ba töröwa andrö, ba no u'o'ozui, Lö niböhöligu famati andrö.(II Tim. 4:7)
1918 Menjadi Guru (Hulponderwys),
1930-1950 Menjadi Guru Jemaat BNKP (Sinenge),
1951-1952 Menjadi Wk.Pendeta BNKP Telokdalam dan Sa'ua,
1953-1971 Menjadi Guru Agama Kristen di SR Sa'ua, Bawöganöwö dan Hilisatarö,
1 Juli 1971 Pensiun PNS,
28 Desember 1971 Wafat.
Fasöndrata si söchi andrö, ba no ulau, ba töröwa andrö, ba no u'o'ozui, Lö niböhöligu famati andrö.(II Tim. 4:7)