Jumat, 06 Mei 2011

Nias Tanöniha

Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok keturunan suku Birma dan Assam, tapi berbeda dengan asal usul orang Batak. Ada banyak teori tentang asal usul suku Nias dan belum ada yang dapat memastikan karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu grup etnik.

Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa grup etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari Arab yang bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun 851 SM.
Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal disana sejak 7000 tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung teori tersebut. Contohnya : banyak masyarakat tinggal di pohon-pohon yang dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang dipanggil Nadaoya, menurut kepercayaan masyarakat Nias 2 suku diatas tersebut adalah sejenis roh-roh, roh terakhir yang jahat.

Di daerah Hinako dan dipulau-pulau Wesi selatan telah ada selama 17-18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Orang aceh datang ke nias kira-kira 13-14 generasi yang lalu.

Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di Nias. Ketika orang Aceh pertama kali masuk ke desa Foa dengan menyebrangi sungai, masyarakat Nias memotong pohon besar dan menutup jalan keluar. Salah satu tujuan masyarakat Nias adalah untuk mempelajari tenaga-tenaga gaib dan cara berperang dari orang Aceh. Orang Aceh menguasai daerah itu. Ada 3 bentuk cara berperang di Nias, yaitu : simataha dari Aceh, starla dari Sumbar, dan trapedo yang merupakan gabungan dari keduanya.

Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di nias tahun 1855, kemudian pada tahun 1863. Nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.


Pulau paling terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu setidaknya yang terbesar dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari Nias hierarkis meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias "kelompok pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri" Nias, Sumatera Utara, 1920
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Perdagangan Budak

Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat menengah.

Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias. Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung perdagangan budak itu.

Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias utara telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke padang (sumbar) karena untuk melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia. Para Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun 1820. budak-budak ini menjadi kristen karena diberi kebebasan di Penang. Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.

sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php


Suku Nias


1954

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Kasta

Suku Nias mengenal sistem kasta(4 tingkatan Kasta) yaitu Si'Ulu (Balugu atau Bangsawan), Si'Ila (kaum Cendekiawan), Sa To (masyarakat biasa) dan Sawuyu (budak) Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Sejak masyarakat Nias menjadi Kristen maka kasta menjadi tidak berlaku lagi.

Asal Usul

Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Marga Nias

Daftar marga Nias

Amazihönö

Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago

Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawölö, Dohare, Dohöna, Duha

Fau, Farasi,

Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae

Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura

Laia, Lafau, Lahagu, Lahomi, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lö'i, Lömbu

Maduwu, Manaö, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa,Maruabaya

Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe

Saoiagö, Sarumaha, Sihura,

Tafönaö, Telaumbanua, Talunohi

Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö,warasi

Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

Khas Nias

Makanan

Tamböyö
Fache Nifalögu
Ndru'a Harita
Babae
Gowi Nitutu (Ubi tumbuk)
Gae Nisano
Godo-godo
köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
Ni'owuru

Minuman

Tuo Nifarö
badu-badu duo

Budaya Nias

Lompat Batu
Tari Perang
Maena
Mamahewa
Manoso (bikin bola nafo, tufo, baru)
Tari Moyo
Tari Mogaele
Sapaan Yaahowu

Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

Jalan sepanjang pantai Hilisatarö Nias, 1930
sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe