Oleh Rizal Ramli*)
Dalam pemilihan presiden kali ini, ada diskusi yang lebih substantif tentang arah dan strategi ekonomi, terutama soal neoliberalisme dan alternatif terhadap neoliberalisme. Meski agak teknis dan akademik, tapi rakyat bisa mulai memahami bahwa neoliberalisme identik dengan tidak prorakyat dan tidak pro-kepentingan nasional.
Secara sederhana, neoliberalisme adalah sistem pasar atau kapitalisme ugal-ugalan. Mereka percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan jika diserahkan kepada mekanisme pasar. Kalau di dalam agama ada fundamentalis agama, dalam bidang ekonomi ada fundamentalis pasar yang lebih banyak dogmanya daripada argumen-argumen empirik dan faktual. Garis kebijakan ini di kemudian hari dikenal dengan “Washington Consensus”, Jerat Washington.
Sekilas program Konsensus Washington tersebut sangat wajar dan netral, namun di balik program tersebut tersembunyi kepentingan negara-negara adikuasa. Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi untuk untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, usaha kecil dan menengah (UKM), dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang.
Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang. Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Tapi negara-negara maju malah melindungi sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, kebijakan anti-dumping, pembatasan ekspor, subsidi dan hambatan non-tarif.
Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam praktiknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah, sehingga sering terjadi program privatisasi yang identik rampokisasi, seperti diungkapkan Profesor Marshall I Goldman dari Harvard.
Negara dan Swasta
Menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun ekonom-ekonom neo-liberal (Mafia Berkeley) berkuasa selama 40 tahun? Hal ini terjadi karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh ekonom-ekonom neoliberal selalu menempatkan Indonesia sebagai sub-ordinasi dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Washington Konsensus.
Kemerosotan selama dua dekade di Amerika Latin (1980-2000) adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. Justru negara-negara yang menyimpang dari model Washington Konsensus, seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Tiongkok, dan lain-lain, berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan ekonominya.
Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal. Dua negara Asia, Indonesia dan Filipina yang patuh pada Washington Konsensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, ketimpangan pendapatan sangat mencolok, kemiskinan yang merajalela dan kerusakan lingkungan yang parah.
Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan undang-undang, strategi dan kebijakan ekonomi. Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi karena terpaku pada model generik Washington Konsensus.
Hasil tipikal dari model Washington Konsensus adalah siklus terus-menerus dari krisis ekonomi dan akumulasi utang, seperti yang terjadi di banyak negara Latin Amerika, Afrika dan Indonesia. Krisis ekonomi biasanya diselesaikan hanya dengan menambah beban utang yang kemudian akan kembali menjadi sumber krisis baru.
Ketergantungan terhadap utang juga memungkinkan kepentingan global ikut intervensi merumuskan undang-undang dan peraturan pemerintah, seperti undang-undang tentang privatisasi air, BUMN, migas, dan sebagainya.
Negara Gagal
Pada pertengahan 1960-an pendapatan per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Tiongkok nyaris sama, yaitu kurang dari US$100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, pendapatan per kapita negara-negara tersebut: Indonesia US$ 1.420, Malaysia US$ 5.620, Korea Selatan US$ 17.690, Thailand US$ 3.050, dan Tiongkok US$ 2.000 (Asian Development Bank, 2006).
Ternyata kekuasaan dan peranan ekonom-ekonom neoliberal selama 40 tahun tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan mewariskan potensi sebagai salah satu negara gagal (failed state) di Asia. Indonesia bukanlah The Next Korea, bahkan bukan The Next Malaysia. Setelah 40 tahun di bawah kendali para ekonom neoliberal, Indonesia justru berpotensi menjadi The New Filipina.
Ekonom-ekonom neoliberal telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung rezim otoriter selama 32 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia juga merupakan negara yang memilik distribusi pendapatan paling timpang, utang besar, serta landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.
Di bawah pengaruh dan kekuasaan ekonom-ekonom neoliberal, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.420 dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimum serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.
*) Penulis adalah pendiri Blok Perubahan, mantan Menko Perekonomian RI
Sumber: Investor Daily
Tidak ada komentar:
Posting Komentar