Bari Gana'a di Nias Tanoniha
Kemunculan beragam produk investasi memudahkan cara beternak uang. Simak saja produk investasi reksadana. Produk ini memang baru mengetop di Indonesia awal tahun 2000. Tapi, sekarang, peminatnya sungguh luar biasa.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), sampai dengan April 2010, nilai aktiva bersih atau aset reksadana di Indonesia telah mencapai Rp 118,22 triliun, tertinggi sepanjang sejarah. Tingginya minat masyarakat berinvestasi di reksadana ini sesungguhnya amat wajar. Selain proses makin mudah, batas minimal berinvestasi juga terjangkau kebanyakan orang.
Kenapa berinvestasi di reksadana murah? Reksadana merupakan instrumen yang dipakai manajer investasi untuk mengumpulkan dana masyarakat. Dengan kata lain, setiap investor tidak harus menyetorkan dana yang besar. Kumpulan dana itu lantas diinvestasikan ke berbagai produk investasi, seperti saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau kombinasi dari berbagai produk investasi.
Jadi, reksadana memungkinkan investor untuk menempatkan dana di berbagai instrumen investasi. Ini membuat risiko investasi menjadi berkurang. Inkawan D. Jusi, Senior Vice President Wealth Management Group Bank Mandiri, menjelaskan, periode waktu investasi reksadana juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan investasi dari tiap investor.
Berdasarkan portofolio investasinya, saat ini terdapat lima pilihan jenis reksadana.
Reksadana Pasar Uang
Dalam reksadana ini, dana investor diputar di berbagai efek pasar uang, mulai dari deposito, Sertifikat Bank Indonesia, hingga obligasi berjangka pendek. Tingkat risiko reksadana ini relatif rendah, mengimbangi imbal hasil yang hanya sekitar 7%–8% per tahun.
Dengan profil risiko seperti itu, Inkawan menyebut, reksadana jenis ini cocok untuk investasi jangka pendek. Investor yang menyimpan dana di instrumen ini tidak akan dikenai biaya pembelian dan penjualan kembali. Berbeda dengan reksadana lain, nilai aktiva bersih (NAB) reksadana pasar uang ini tetap, yakni Rp 1.000 per unit penyertaan.
Reksadana Pendapatan Tetap
Pada produk ini, sekitar 80% dana ditempatkan di efek utang jangka panjang. Beberapa manajer investasi juga memutar sebagian uangnya di saham. Maka, potensi risiko dan return reksadana ini lebih besar daripada tabungan, deposito, atau reksadana pasar uang.
Tahun lalu, beberapa produk pendapatan tetap bisa memberikan imbal hasil 20%. Hal itu terjadi berkat kenaikan harga obligasi dan saham di bursa. Produk ini cocok untuk investasi jangka menengah, atau kurang dari lima tahun. Yang menarik, beberapa reksadana membagikan keuntungan berupa dividen secara berkala.
Reksadana Saham
Inilah produk reksadana yang memiliki risiko paling tinggi. Soalnya, mayoritas dana investor diinvestasikan di saham. Sesuai dengan hukum besi investasi, high risk high return, produk reksadana ini memberikan imbal hasil paling tinggi dibanding dengan yang lain.
Di tahun 2009, beberapa reksadana saham mencetak imbal hasil lebih dari 100%. Contohnya reksadana Panin Dana Maksima yang memberi return hingga 160%, Panin Dana Prima (158%), Fortis Ekuitas (123%), dan return Batavia Dana Saham Agro sebanyak 133%.
Inkawan menilai, reksadana saham pas untuk mereka yang memiliki tujuan investasi berjangka panjang.
Reksadana Campuran
Pada reksadana ini, manajer investasi akan mengombinasikan penempatan dananya di saham dan pasar uang. Oleh karena itu, risiko dan imbal hasil reksadana campuran lebih rendah ketimbang reksadana saham. Tapi, jika dibandingkan dengan reksadana pasar uang atau reksadana pendapatan tetap, reksadana campuran menawarkan return lebih tinggi.
Produk campuran layak dipilih ketika bursa saham sudah mengalami titik jenuh beli dan harga saham sudah naik kelewat tinggi. Melalui penempatan di reksadana ini, risiko investor menipis. Sebab, ketika harga saham sudah kemahalan, manajer investasi biasanya mengalihkan sebagian dana ke instrumen surat utang yang harganya relatif lebih stabil.
Oh, ya, rata-rata imbal hasil reksadana campuran sekitar 20%–30% setahun.
Reksadana Terproteksi
Produk ini baru muncul di tahun 2006 menyusul keruntuhan industri reksadana di tahun 2005. Kenaikan harga bahan bakar saat itu menjatuhkan NAB reksadana, khususnya jenis pendapatan tetap. Kebanyakan investor lantas panik, dan mencairkan reksadananya (redemption). Imbasnya, aset reksadana yang sudah mencapai Rp 110 triliun, di awal 2005 itu, menyusut tersisa Rp 26 triliun.
Untuk mengatasi trauma itu, muncullah reksadana terproteksi. Reksadana yang nongol terakhir ini kini justru memiliki peminat terbanyak. Maklum, dana pokok investor dijamin tidak hilang, meski NAB reksadana jenis ini negatif. Beberapa manajer investasi bahkan menawarkan proteksi imbal hasil.
Sebagai ilustrasi, Anda menginvestasikan uang Rp 20 juta. Sampai reksadana itu bisa dicairkan, duit itu tetap utuh. Bila produk itu memberikan hasil, maka investor akan mendapat return. Tapi, jika manajer investasi gagal meningkatkan NAB, Anda hanya mendapatkan pokok investasi itu.
Itu sebabnya, reksadana terproteksi kerap diperbandingkan dengan deposito. Sebagian besar dana investor di reksadana terproteksi diinvestasikan pada instrumen obligasi tanpa bunga (zero coupon bond).
Blog dan artikelnya bagus, komentar juga ya di blog saya www.when-who-what.com
BalasHapus