“He ama-inagu si’a haya’e duria ni’odöra ndra’amagu nomangawuli ira moroi khö ndra sibayagu” (‘Bapak-Ibu sulung ini makanan yang dibawa orangtuaku, mereka baru saja pulang bertamu dari pamanku’). Itulah salah satu kalimat jika seorang anak mengantarkan fanigero kepada tetangga, seperti kepada keluarga Bapak Sulung, atau kepada tetangga lainnya.
Fanigero berarti tindakan membagikan makanan kepada tetangga. Masyarakat Nias yang masih setia pada kearifan lokalnya, biasanya tidak akan menikmati sendiri makanannya. Misalnya, jika Keluarga Ama Melvin Gulö berhasil menangkap banyak ikan ketika memancing di sungai, maka setelah dimasak, Ama Melvin dengan sendirinya akan memberi fanigero kepada tetangganya. Demikian pula ketika Ama Melvin memanen padinya. Dalam tradisi Nias, mencicipi hasil panen padi yang pertama tidak dilakukan sembarangan. Ada ritual tertentu, yakni mengumpulkan semua anggota keluarga, lalu kaum perempuan bersama-sama menumbuk padi menjadi beras dan dimasak secara bersama-sama. Anak babi atau ayam akan disembelih sebagai lauk pauk. Sebelum santap bersama mereka berdoa syukur kepada Lowalangi ((Dewa Langit, yang dijadikan sebagai sebutan Tuhan/Allah dalam Kristianitas). Ama Melvin pun dengan kesadaran sendiri akan memberi fanigero kepada tetangganya, sekaligus memberitahukan kepada tetangganya bahwa mereka sudah memanen padinya.
Suatu saat, Ama Melvin bersama istrinya, misalnya, pergi mengunjungi mertuanya dan dalam kesempatan itu mertuanya menyambutnya dengan menyembelih anak babi untuk lauk-pauknya (diwo). Jika diwo Ama Melvin itu tidak habis, maka ketika Ama Melvin pulang ke rumahnya, mertuanya biasanya mengikutsertakan kepada Ama Melvin; diwo yang dibawa itu disebut ni’odöra (yang disisakan, yang dibawa pulang). Sesampainya di rumah, Ama Melvin memanggil saudaranya dan mereka bersama-sama membagi ni’odöra itu. Ama Melvinpun tetap memperhitungkan tetangganya dengan memberi fanigero kepada mereka.
Tradisi fanigero ini merupakan kearifan masyarakat Nias yang sangat dalam nilainya. Tradisi fanigero merupakan warisan nenek moyang orang Nias yang patut dipelihara. Dalam tradisi fanigero tersebut menunjukkan bahwa orang Nias tidak egois, tetapi sungguh murah hati (niha sebua fa’omasi, niha sebua böwö). Tradisi fanigero merupakan tradisi kemurahan hati masyarakat Nias. Melalui tradisi fanigero, masyarakat Nias menyatakan dirinya sebagai masyarakat yang membina relasi personal-komunal, memiliki ikatan batin satu sama lain. Masyarakat Nias tidak hanya membina persaudaraan hampa tetapi persaudaraan penuh tindakan nyata. Melalui tradisi fanigero, orang Nias menunjukkan bahwa mereka memiliki prinsip: “makananku makananmu dan makananmu makananku.”
Lebih jauh daripada itu, sebenarnya, dalam tradisi fanigero ini masyarakat Nias bertindak nyata untuk saling membagikan anugerah berkat (howu-howu) yang mereka terima sebagai rasa syukur mereka atas anugrah itu. Itu sebabnya, kalau Ama Melvin menyembelih anak babinya, maka ia memberi fanigero kepada tetangganya. Bagi Ama Melvin, anak babi itu adalah anugerah dari Lowalangi. Anugerah yang diterima tidak hanya dinikmati seorang diri saja, atau oleh satu keluarga saja.
Namun kita mesti akui, tradisi suatu masyarakat adat akan berubah seiring berubahnya zaman. Selain itu, perubahan kesadaran masyarakat pada makna tradisi akan membuat tradisi berubah pula. Demikian juga tradisi fanigero ini yang dari zaman ke zaman mengalami erosi. Tidak hanya itu, tradisi suatu suku bangsa akan semakin bernilai luhur jika disertai niat tulus. Tadinya, dalam tradisi fanigero disertai niat tulus, ungkapan kemurahan hati, akan tetapi kemudian disusupi oleh niat yang buruk. Tidak heran jika, sebut saja keluarga Ama Safaito membenci tetangganya Ama Sanaögö, lalu Ama Saifaito memberi fanigero kepada Ama Sanaögö, tetapi fanigero itu sudah “dibumbui” racun mematikan. Pada zaman dahulu, ada banyak masyarakat Nias yang meninggal karena diracun tetangganya sendiri melalui fanigero ini. Tentu saja kasus racun semacam inilah membuat tradisi fegero mengalami erosi. Kasus racun ini – yang merupakan tindakan segelintir orang – juga yang membuat keluarga tidak memakan begitu saja fanigero dari tetangga yang pernah konflik dengannya. Bisa saja fegero yang mereka terima itu dipotong dulu lalu diberi kepada anjing untuk melihat apakah anjing ini tidak mati, tidak sakit, setelah memakan fanigero tersebut. Jika anjing itu tidak sakit/mati, maka fanigero itu baru aman untuk dimakan. Karena kasus racun ini pula, maka ada tetangga yang tidak mau memakan sama sekali fegero dari keluarga tertentu yang pernah berkonflik dengannya; fegero yang ia terima pasti ia buang!
Dari paparan di atas, suatu tradisi akan terpelihara dengan baik, jika manusia pelaksana tradisi itu sungguh menghayati nilai di balik tindakan tradisi itu sendiri. Niat tulus semestinya selalu menyertai tradisi fegero. Sebab tradisi suatu suku bangsa akan semakin bernilai luhur jika disertai niat tulus (fa’ahele-hele dödö). (® Postinus Gulö, adalah lulusan S-1 Ilmu Filsafat dan S-2 Ilmu Teologi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Indahnya berbagi....
BalasHapusYaahowu ndra Talifuso ni fosumange!
Ama Kristin Laia