Pendidikan Karakter Berperspektif Budaya Nias Tanoniha
Oleh : P. Johannes M. Hämmerle, OFMCap.
Berarti sekarang kita hendak merenungkan bersama Pendidikan Karakter, watak, akhlak, budi pekerti atau sifat-sifat kejiwaan berperspektif Budaya Lokal untuk menghadapi Tantangan Masa Depan. Bagaimana seharusnya diorganisir pendidikan karakter atau watak orang Nias, sehingga dapat mengatasi tantangan masa depan? Terdapat juga perbedaan dari segi sejarah Kristianisasi. Di Nias Utara dan khususnya dalam Rapatgebied masuk agama dan pendidikan sejak tahun 1865. Sedangkan di Nias Selatan masuk agama dan pendidikan sejak tahun 1915, dan lebih lambat lagi masuk agama ke daerah pedalaman seperti Aramö dan Ulu Neho.
Kemudian perlu diperhatikan: Tidak semua orang Nias sama. Setiap orang dan setiap kampung atau wilayah selalu menunjukkan perbedaan. Banyak perbedaan dari satu daerah ke daerah lain atau perbedaan karakter antara berbagai suku.
Seterusnya saya mohon maaf seandainya ada sesuatu yang diuraikan disini yang mungkin menyinggung perasaan kita. Semoga uraian ini dapat berguna bagi kita sama seperti di RS nasehat seorang dokter diterima dengan baik demi kesehatan pasien itu. Mohon maaf juga, uraian ini tidak boleh akademis saja, tetapi terkadang menjadi seperti khotbah.
Si sambua mo’ama
Salah satu pokok dalam tradisi lisan Nias adalah berita tentang awal mula manusia di Pulau Nias ini, dalam bahasa Nias disebut Böröta Gotari Gotara. Semuanya ini dapat kita sebutretrospektif karena bertopik pada permulaan manusia di pulau Nias, artinya melihat ke belakang, ke masa yang lampau. Dalam hal ini tidak dipikirkan tantangan masa depan melainkan kita melihat satu rumpun yang mungkin terdiri dari beberapa marga dan yang semua berasal dari seorang leluhur, maka disebut si sambua mo’ama. Di situ pendidikan kita harus mulai dengan meningkatkan istilah ini. Sebagai orang yang beragama yang sadar akan pengaruh globalisasi sekarang, bersama dengan semua orang yang beragama di dunia melihat lebih jauh lagi ke belakang. Kita mengimani Böröta Gotari Gotara yang sebenarnya, böröta, me tungö waöhö lö niha, bahwa Allah Pencipta langit dan bumi telah menciptakan segala yang ada dalam SabdaNya. Dan Allah melihat bahwa semuanya baik adanya, bukan hanya Nias melainkan dunia seluruhnya. Menghadapi tantangan masa depan kini harus mempunyai satu dasar yang kokoh dan kuat, ialah SI SAMBUA MO’AMA di dalam Allah Pencipta.
Kalau dasar ini diterima, sebagai lanjutan ini harus juga diterima bahwa semua manusia sama, bersaudara dan merdeka. Revolusi di Perancis menyebutnya dulu begini: égalité, fraternité, liberté. Hal ini meliputi toleransi dan hormat terhadap orang lain, bahkan hormat terhadap segala makhluk dengan implikasi Ekologi, artinya kita bertanggung jawab untuk memelihara dunia kita.
Jelas, persaudaraan harus dilihat dalam lingkup mondial, bersaudara dengan berbagai orang atau dengan siapa saja, (lihat Sinfoni Nr. 9 dari Beethoven). Persaudaraan jangan lagi dilihat eksklusiv, hanya dengan mereka yang punya hubungan darah: si fa-tali-fusö (yang punya tali dari pusar yang sama).
Böwö
Pokok-pokok lain adalah adat, hada nono niha, yang meliputi böwö dan huku, hukum. Saya hendak menantang para hadirin yang terhormat dengan suatu singkatan drastis yang mugkin dapat membantu kita pada pendidikan untuk menghadapi tantangan masa depan. Rumusan singkat ini begini: Di mana ada böwö yang sungguh, di situ tidak perlu hukum (hukuman). Dan seandainya dulu hukum tidak dilanggar, pasti tidak perlu fondrakö. Istilah ini agak negatif karena mengandung kutuk: si no la-rakö si siwa mo’ama. Kesembilan leluhur sudah melemparkan satu anjing dengan kaki terikat dalam lobang yang berisi bara api atau mereka sudah memutar leher ayam. Beginilah akan terjadi bagi orang yang melanggar hukum. Tentu perlu peraturan dan hukum. Tetapi kita hanya hendak mengarahkan pandangan kita pada pendidikan dasar yang dimulai di dalam setiap keluarga melalui kasih. Pokok dan inti dariböwö ialah kasih. Dan inti böwö adalah böwö ba wangowalu. Maka dalam adat perkawinan harus diutamakan böwö sebagai kasih, bukan sebagai mas kawin. Dan kasih itu harus diamalkan oleh orangtua kepada anak-anak mereka. Dan kasih itu harus dibina seterusnya di semua jenjang-jenjang pendidikan dan diekspresikan dalam hubungan masyarakat. Jadi tujuan pendidikan kita ialah seorang manusia yang dapat diberi gelar: OBÖWÖ. Seorang manusia yang bersifat oböwö memiliki kasih dan suka memberi. Keramah-tamahan yang khas Nias dan fa’atalifusöta harus berakar di situ.
Uskup Agustinus yang hidup 1.500 tahun yang lalu di Afrika Utara pernah mengatakan: Cintailah, dan buatlah sesuka hatimu. Artinya: Cintakasih adalah kesempurnaan hukum. Kalau böwö sungguh merupakan kasih, dan inilah böwö yang benar, kemudian kamu tidak akan mempersulit sesamamu. Böwö itu yang belum dicemari dengan liku-liku manusia,Böwö yang belum kerasukan pikiran materialistis, Böwö itu ada kaitannya dengan Allah sendiri. Allah adalah kasih, dan manusia dijadikanNya sesuai dengan citraNya sendiri.
Contoh:
- Pengalaman P. Hadrian sewaktu jalan kaki dari Tögizita ke Idanögawo. Terjadilah hujan lebat dan banjir di sungai sehingga tidak bisa lewat. Ada yang memanggil dia ke rumah, ada seorang yang membawa satu botol Vigour, orang lain membawa satu ayam, seorang lain lagi membawa satu lampu petromax dan seorang lain lagi membawa satu kelambu untuk malam. Tak seorangpun meminta balasan. Kecuali seorang ibu yang tua ingin mendengar lagi ke-7 Sabda Yesus di salib.
- Atau waktu sangkut dengan mobil dalam lumpur. Ada orang yang hendak sorong mobil keluar, tidak bisa. Mereka kemudian mencari satu derek, tidak bisa. Akhirnya mereka memanggil satu truk, baru bisa keluar. Dan tiada orang yang mau menerima sesuatu.
Menarik melihat budaya lokal di kecamatan Lölöwa’u dalam hal ukuran panjang satu depa seperti dipakai oleh tukang kayu pada pembangunan rumah. Pada ukuran depa itu dua lengan terentang dan satu tangan diulurkan, sedangkan tangan lain mengepal. Artinya: satu tangan diulurkan untuk memberi, dan satu tangan mengepal supaya tidak habis seluruh harta-benda. Orang yang mengepal kedua tangannya adalah seorang kikir.
Böwö afasi dan böwö lagara
Artinya: Adat yang seperti kapas (afasi niha) dan adat yang seperti liana (wewe lagara). Disitu sudah terungkap suatu pernilaian yang dapat dipegang dalam pendidikan. Adat kita jangan kasar dan keras seperti lagara, tumbuh-tumbuhan yang merambat pada pohon. Semoga adat kita putih murni, lunak dan halus seperti kapas (afasi niha). Disitu kelihatan juga kesinambungan. Setiap hari kita bisa meneruskan memintal dan menyambung tali kapas. Lain dengan liana lagara. Kalau lagara satu kali dipotong tidak dapat disambung lagi. Putus total.
Mosöfu, mobawa, osilöyaŵa, fayaŵasa, fa’aniha, fakhögusa
Ada istilah-istilah dan sifat yang kurang tepat dengan sifat oböwö. Perlu kita memahami tanda-tanda zaman. Dunia semakin menyatu di bawah bimbingan teknologi dan setiap orang semakin memperhatikan dirinya. Sifat yang disebut di atas ini bertentangan juga dengan apa yang disebut oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Efesus (Ef 4,3): ”Bersikaplah rendah hati, lemah lembut dan sabar, serta saling membantu dalam cintakasih. Berusahalah selalu memelihara kesatuan roh dalam ikatan damai. “Kalau kalian tidak menjadi seperti anak kecil, kamu tidak mungkin masuk ke dalam kerajaan surga.” (Mt 18,3)
Syukurlah kita menemukan sifat ini pada leluhur Luomewöna. Dia tidak rakus sperti ke-8 saudaranya, dan dia tidak langsung mau merebut warisan itu di Teteholi Ana’a, melainkan dia berpamitan dulu pada orang tua dan kepada semua orang lainnya, juga berpamitan dengan segala mahluk. Dalam lagu hoho tentang leluhur Sirao dan kesembilan putranya diberikan kepada kita satu pelajaran yang khas Nias tentang kerendahan hati.
Perkawinan
Istilah-istilah negatif yang menyangkut perkawinan:
owöliwa di NU mempelai perempuan disebut owöliwa (yang dibeli)
sowöli di NU mempelai laki-laki disebut sowöli (yang membeli)
fangowalu di Gomo, Nias Tengah dibuat 8 (walu) bagian mas kawin yang harus diserahkan oleh sangowalu kepada pihak ni’owalu.
falöwa pencabutan mempelai perempuan dari suku ayahnya (ada pohon tertentu dimana ranting-ranting tidak patah melainkan tercabut pada batang pohon itu).
famara’u tanga laki-laki menangkap pergelangangan tangan dari mempelai perempuan seolah-olah merebut dia dengan kekerasan.
möi ba danga gari kedua mempelai harus memegang pedang perang yang disebutgari.
Perkembangan negatif ditemukan juga pada acara perkawinan
Hampir setiap pesta perkawinan mengabaikan musik tradisional. Harus ada keyboard. Dan volume dari laodspeaker harus begitu besar, sehingga para tamu tidak bisa bicara satu sama lain: apalagi merusakkan telinga.
Mas kawin yang tinggi
Budaya lokal pertama di kec. Lahusa dan Gomo tidak mengenal mas kawin yang tinggi. Asal ada kasih, kemudian hanya dibutuhkan sara batu dan sageu bawi (kalau ada).
Pada zaman Controleur Schröder ditetapkan sara batu dan tölu nga’eu bawi.
Mantan bupati Nias Selatan membayar mas kawin menantunya lima ratus juta Rupiah.
Ada yang mengatakan: Malu kita kalau mas kawin kecil. Asu si pade no sara batu mbölinia göi.
Istilah-istilah negatif yang lain
si 9 lau Lahömi Rupanya satu kata lau itu punya 9 arti, tergantung dari tekanan suara. Atau lebih jelas: Jangan percaya langsung kepada setiap ungkapan orang lain. Berpikirlah dengan baik-baik, apa artinya. Alam pikiran manusia bisa berliku-liku.
boroe si dua lela Biawak yang lidahnya bercabang dua sudah menjadi simbol yang terkenal di Nias. Dulu sering diukir di depan atau di dalam rumah adat. Kita harus hati-hati. Boleh jadi satu ungkapan punya dua arti yang berbeda. Di luar itu biawak masih punya ekor panjang. Ekor panjang berarti: Awas, saya punya banyak pengikut. Dan ekor panjang dengan banyak takik (nitekhe) melukiskan bahwa adat atau böwö akan berlangsung terus tanpa berhenti (tekhe-tekhe böwö). Siapa yang menikah dengan seorang putri dari rumah ini akan terikat seumur hidup dengan mertuanya melalui böwö ba wangowalu atau adat perkawinan itu.
latibo’ö Perbedaan dalam hal menghormati orang yang meninggal:
Di Telukdalam sampai sekarang dipakai istilah latibo’ö, artinya mereka membuang mayat itu.
Di Nias Utara sering dikehendaki, supaya kuburan orang tua atau sanak saudara di dekat rumah mereka.
Hoho ba zi mate
Lawaondröna[1]
Suatu analisis dari misionaris Eduard Fries
Teks asli dalam bahasa Jerman, dialih bahasa oleh penulis
Sebagian tradisi lisan Nias yang berkisar tentang kematian manusia, u.p. hoho Laewendröna. Kita akan sekarang mengikuti analisis dari Pendeta Eduard Fries yang pada tahun 1905 membuka satu pusat Zending di pedalaman Nias, di desa Sifaoro’asi, öri Huruna. Genap 90 tahun sesudah itu, pada tahun 1995 Mbak Tutut, putri mantan presiden Soeharto, dengan Helikopter berkunjung ke desa Sifaoro’asi itu. Pada tahun 1907, misionaris Fries sudah menulis di Sifaoro’asi tentang karakter orang Nias yang pada waktu itu mayoritas belum beragama. Dengan meneliti isi dari lagu-lagu hoho Fries menarik kesimpulan, bahwa orang Nias sangat materialistis. Yang paling diutamakan ialah emas. Uang biasa dan uang Belanda (firö) pada waktu itu belum ada. Di bawah ini kita mengikuti tulisan Fries yang sudah dialih bahasakan oleh kami:
”Dikatakan: orang Nias pada umumnya riang gembira. Penilaian itu benar. Mereka bernyanyi, melompat dan kelakar, biar utangnya menumpuk. Mereka seolah-olah tidak menghiraukan penyakit dan kemiskinan, sehingga kita hanya dapat menggelengkan kepala melihat mereka tertawa dan bermain. Tiada keseriusan dalam pembicaraan, pada pekerjaan dan dalam berhubungan dengan orang lain. Karena itu kita sungguh-sungguh harus mencari kejujuran (Wahrhaftigkeit), rasa tanggung jawab (Pflichtgefühl) dan kesetiaan (Treue); apalagi istilah-istilah ini tidak ditemukan dalam bahasa Nias.
Dikatakan: orang Nias hidup santai-santai saja (ein leichtlebiges Geschlecht). Dan ungkapan itu benar juga. Mereka tidak memikirkan keesokan harinya. Sikap mereka yang tidak peduli seringkali sungguh merupakan suatu kesembronan menurut pengertian kami.
Kerajinan ketekunan dan ketabahan (Fleiß, Stetigkeit und Ausdauer) tidak ditemukan. Lepas dari kekafiran, watak rakyat ini mempunyai kekurangan-kekurangan yang paling mempersulit pekerjaan kami di bidang sekolah dan di bidang pastoral, karena orang Nias tidak dapat dipercayai.
Namun penilaian kita ini dangkal, seandainya kita akan menarik kesimpulan dari semuanya itu dan berkata: Orang Nias tidak mempunyai perasaan dan gerakan hati (Regungen des Herzens) yang mendalam. Karena itu mereka tidak terbuka untuk pemikiran yang lebih tinggi. - Gaya hidup mereka yang begitu riang dan kesembronan mereka hanya menutupi keinginan hati yang besar. Sudah barang tentu, telinga kita harus terlatih untuk mendengar denyutan jantung rakyat itu yang terungkap di dalam lagu-lagu mereka. Telinga kita harus terlatih kalau kita hendak mendengar seruan yang haus akan keselamatan, namun tertindas, seruan dari generasi-generasi terdahulu dan sampai sekarang.“
Pada tempat ini Fries menulis dalam bahasa Jerman Hoho ba zi mate. Pada tahun 1908 teks asli Nias hoho ini dicatat oleh misionaris Lagemann dan pada tahun 1923 diterbitkan oleh Adolf Pieper dalam buku sekolah yang disebut Realienboek. Di dalam lagu hoho ini diuraikan kisah tokoh utama, ialah Lawaondröna.
Menurut Fries, Lawaondröna merindukan dan mencari hidup yang kekal. Tetapi istrinya sendiri tidak terbuka untuk itu. Dia dan semua orang lain menunjukan sikap acuh tak acuh. Dan dimana-mana Lawaondröna mencari jalan supaya tetap hidup, namun tidak menemukannya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke bulan, karena di dunia ini tidak ditemukan tempat supaya bisa tetap hidup.
Menurut Fries tiada jalan lain yang lebih tepat untuk mengenali watak rakyat Nias selain lagu-lagu Nias (hoho). Di samping itu Fries mengakui, bahwa lagu-lagu Nias tidak begitu berisi, katanya: ”... Seringkali lagu-lagu itu sangat dangkal atau menurut ungkapan orang Niasbunga wehede manö.“ Sebagai contoh untuk itu disebut oleh Fries hoho Sirao. Dalam tulisan misionaris Lagemann hoho ini meliputi 63 halaman cetak. Tetapi yang sungguh merupakan isi hoho itu dapat ditulis di atas dua halaman saja. Fries berkata: ”Perhatian utama terletak pada emas dan pada kandang babi. Bagi kita hal ini membosankan, tetapi orang Nias sangat tertarik dengan hal semacam itu. Kalau kita mulai untuk menaruh perhatian pada mentalitas yang didokumentasikan dalam lagu-lagu itu, kemudian segala kekurangan yang kita melihat didalamnya menjadi sangat relevan bagi kita. ...”
Dan Fries lanjutkan: ”Apakah saya boleh mengungkapkan beberapa hal? Orang Nias tidak mau capek untuk memikirkan sesuatu. Segala kesimpulan logis (seperti biasa di negara Barat) asing bagi mereka. Segala hal yang sekurangnya tidak tiga kali dikatakan kepadanya, tidak melekat padanya, sama seperti air hujan di atas daun pisang. Tetapi duduk bersama dengan teman-teman, ... berkelakar, bercakap-cakap atau omong-omong, disitu mereka hidup. Karena itu kita harus coba menyesuaikan diri: tinggalkan semua keterangan abstrak, abaikan urutan pikiran yang logis dan segala pikiran yang mendalam. Kita harus korbankan alam pikiran sendiri. Kita harus bercerita dengan sederhana, supaya mudah dimengerti, bicara seperti anak-anak. Makin hari, saya makin yakin, bahwa khotbah kita pada hari minggu hampir selalu tidak mendarat.”
Fries lanjutkan: ”Perasaan hati tidak banyak ditemukan di dalam lagu-lagu (tradisional) itu. Begitu pula cintakasih, belaskasihan, kesetiaan atau gerakan hati yang lain yang menandai suatu hati yang mendalam sulit ditemukan. (Kerinduan gerakan hati dalam kegersangan yang diselimuti oleh dua istilah: ana’a dan bawi. Penulis) Inilah satu defisit yang pelan-pelan harus ditutupi dalam pendidikan. ...Kendatipun setiap hari diberi contoh dengan mengobati orang-orang sakit, namun kita lihat seolah-olah tiada orang yang mau memperhatikan orang lain, meskipun kata tödö (jantung, hati) begitu menonjol dalam bahasa dan psikologi Nias.
Lagu-lagu (seperti lagu Sirao) dengan sangat jelas menerangkan kekurangan mental dan batin. Setiap orang begitu mengutamakan diri sendiri (egoisme), sehingga tiada lagi tempat dalam hatinya untuk memperhatikan sesama. Kalau sikap gila hormat menguasai segala kegiatan, maka segala hal yang lain harus ditindas. Kalau usaha untuk memilikki emas merupakan keinginan tunggal, perasaan halus tidak dapat tempat lagi. Dan di mana kecerdikan merupakan keutamaan, kesetiaan, kejujuran dan kebenaran tidak begitu laku lagi. Menjadi cukup berat (bagi kami) dan acapkali harus menyangkal diri dalam pergaulan dengan orang Nias yang masih kafir, harus belajar untuk melepaskan dulu kebenaran, kesetiaan, persahabatan dan sikap untuk berterima kasih, supaya tidak terus menerus dikecewakan. Biar orang Nias yang masih kafir berusaha untuk menyembunyikan watak mereka yang sebenarnya dan berbohong, namun di dalam lagu-lagu watak yang negatif itu dengan terus terang diagung-agungkan dalam nyanyian.” ...
”Lagu-lagu itu mengandung seluruh tradisi rakyat Nias. ... Segala milik mental/spiritual orang Nias ditemukan dalam tradisi lisan yang puitis itu.”
Komentar
Terserah sama kita, sejauh mana kita mau membenarkan analisis-analisis dari Fries. Bagi saya sendiri analisis tentang lagu Sirao berbeda sedikit. Lagu itu bagi saya adalah satu ajaran untuk tidak mengikuti contoh 8 putra Sirao itu yang begitu rakus dan berambisi untuk memiliki warisan ayah mereka. Dalam lagu ini diagungkan sikap Luomewöna yang tahu berterima kasih, yang merendahkan diri dan berpamitan sama semua orang dan mahluk, dan baru kemudian memanjat tombak dan berhasil berdiri di ujung tombak itu.
Tetapi Fries benar juga. Dia bertemu dengan banyak orang keturunan dari 8 putra Sirao yang rakus itu. Mereka pada waktu itu belum menjadi orang Kristen. Tinggal satu pertanyaan bagi kita: 105 tahun sesudah Fries melukiskan watak orang Nias itu, apakah watak orang Nias, yang sudah sejak beberapa keturunan menganut agama Kristen, sudah berubah? Atau malah lebih buruk dari pengamatan Fries? Ungkapan seorang turis dapat kita merenungkan: ”The island Nias is wonderfull. But the man!” Pulau Nias adalah indah sekali. Tetapi manusia itu, aduh!
Keteladanan Luomewöna
Keteladanan Luomewöna seharusnya menjadi teladan bagi generasi muda untuk memelihara etika sehingga menjadi modal pembentukkan karakternya yang: tidak sombong/congkak, tidak serakah harta dan kekuasaan, tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kuasa dan harta, tidak menyakiti hati dan iri pada orang lain, tidak suka menipu, melainkan mengutamakan kesantunan, kerendahan hati, kejujuran, ketulusan menghormati semua orang terutama orangtuanya, menghormati lingkungannya dan semua yang ada di alam raya. Karena karakternya yang demikian, dia menjadi agung dan berhak atas tahta dan harta warisan ayahnya di kerajaan Teteholi Ana’a.[2]
Karakter Nias dalam Internet pada tahun 2011/2012
Kita tinggalkan sekarang analisis Fries, kita melewati 105 tahun dan membuka Website di Internet: www.lonelyplanet.com dengan judul Lonely Planet Guide. Di situ kita dapat membaca petunjuk-petunjuk (guide) tentang semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Dan disitu kita klik dan membuka Nias Island .
What’s the vibe at Nias?[3]
25 Mei 2012
.
1. I’ve read a lot of different opinions about Nias. Some imply it’s not a friendly place to travel and with a bit of petty crime targeting travelers.
(petty: picik, remeh; crime: kejahatan, kesalahan; para wisatawan menjadi sasaran; penulis).
3. It’s true, Nias is not the friendliest place in Indonesia. The people are innately warlike. (innate: yang berpembawaan halus; 2. pembawaan lahir; penulis).
4. It only get’s ugly when they turn Christian
(ugly: (1) jelek, buruk; (2) berbahaya, parah; (3) tak pantas, kurangajar, kasar; penulis).
Nias, North Sumatra
16 Mei 2011
Well Benny, I was on my way to Nias two years ago when I met a guy who had traveled obsessively for almost forty years. He loved Indonesia but said: “Stay away from Nias. They are the verry nastiest people I have ever met anywhere.” He said he was never so happy to leave a place in his life and would tell anybody to stay away.
(guy: orang; obsessively: nekad; nasty: (1) buruk; (2) sangat tidak menyenangkan; (3) mesum; (4) keji; penulis)
Gettilng to Nias (sic.)
8 Februari 2010
4). … I have read about bad experiences of others who had been there. I recall that the guesthouse owners give you a bad time, if you don’t eat in the restaurant where you stay and that the locals are not that friendly.
6). … the people of Nias can sometimes appear highly strung, so perhaps you need to be a little thick skinned. (high-strung: berperasaan halus, lekas gugup; penulis).
14). Yes, some of the people of Nias can come across as not too friendly towards tourists, but this may be because their pride, geographic isolation and the fear of their culture being swallowed by globalization.
(come across: menemukan, menjumpai; pride: (1) kebanggaan; (2) rasa harga diri; kegagahan; swallowed: disampingkan; penulis).
Komentar dari penulis
Besar kemungkinan bahwa penilaian di atas ini dalam Lonely Planet Guide berasal dari para Surfer yang kebanyakan berasal dari Australia. Rute mereka di Nias pada umumnya sederhana saja: tiba di Binaka dan langsung berangkat ke Lagundri atau Sorake Beach. Maka penilaian mereka tidak tepat untuk seluruh masyarakat Nias.
Tetapi masyarakat dan pemerintah setempat harus memperhatikan itu. Karena Website itu dapat dibuka di seluruh dunia dan penilaian mereka tentang Nias dapat dibaca dimana-mana saja
Beberapa Butir tentang Karakter Nias
Watak agresif
Kalau sekarang masih ditemukan watak agresif di tengah orang-orang Nias, hal ini dapat kita mengerti karena sejak dulu mereka selalu hidup dalam suasana perang. Siasat perang dan ketangkasan sudah menjadi warisan mereka turun temurun. Sudah lebih 1.000 tahun yang lalu orang harus berhasil mengayau, baru bisa kawin. Karena banyaknya musuh, maka selalu harus waspada dan siap untuk melawan musuh.
Seterusnya watak agresif dapat lebih menonjol di daerah tertentu, u.p. di daerah tertinggal di mana masyarakat lama sekali harus hidup tanpa Infrastruktur (jalan, listrik, air, sekolah, puskesmas dll).
Iraono Lase dan Iraono Huna
Pada akhir abad ke-19, Iraono Lase dan Iraono Huna yang paling ditakuti. Iraono Lase di Nias pantai timur di sebelah selatan dari Bawalia (Idanögawo), sedangkan Iraono Huna di wilayah kecamatan Lölöwa’u di sebelah selatan dari daerah Lahömi.
Watak dari suku Iraono Huna u.p. disebut liar sekali, galak dan biadab. Mereka biasanya dipanggil dan dibayar oleh bangsawan tertentu untuk membunuh lawan mereka. Mereka bisa memusnahkan desa-desa dan menjual masyarakat sebagai budak kepada orang-orang Aceh yang bermukim di pantai barat.[4] Sewaktu Tohöna Wanaetu Halawa dari Soliga, öri Huruna, datang ke Nias Selatan, dia membantu marga Ono Takhi di Hili’amaigila untuk membunuh seluruh musuh mereka. Hanya seorang yang dapat melarikan diri ke Hinako. Kemudian Tohöna Wanaetu menjadi bangsawan baru di Hilisimaetanö dengan memakai nama marga Dakhi.
Supaya misionaris Krumm jangan masuk ke wilayah Iraono Huna, para bangsawan mereka berkumpul dan mengadakan suatu upacara kutuk di depan patung-patung (adu) nenek moyang mereka untuk mengutuk misionaris itu. Supaya kutuk itu lebih kuat, mereka melempar seekor anjing dengan kaki terikat ke dalam lubang yang berisi bara api.
Kesulitan yang dialami Palang Merah Belanda
Tahun 2006/2007, sesudah gempa bumi, waktu orang di kecamatan Gomo oleh Palang Merah Belanda tidak diberi pekerjaan seperti mereka kehendaki, mereka mengancam dengan melempari batu. Berikut mereka mengancam sambil berkata: Kami akan memotong ban mobilmu. Memang mereka laksanakan itu. Dan untuk ketiga kalinya mereka mengancam sambil berkata: Kami akan memotong lehermu. Kemudian Staf Palang Merah Belanda panik dan meminta perlindungan di kantor pusat United Nations di Gunungsitoli.
Desa Bawölowalani
Di dekat teluk Luaha Wara (Telukdalam) adalah desa Bawölowalani. Sekitar tahun 1880, desa ini bermusuhan dengan semua desa lain di sekitarnya. Kemudian pada tahun 1886, kedua misionaris Thomas dan Fehr harus mengungsi dari Nias Selatan karena kelakuan desa Bawölowalani. Batal misi Zending di Nias Selatan dan baru dilanjutkan lagi pada tahun 1915. Dengan ini terhalang agama, pendidikan, kesehatan dan kemajuan di Nias Selatan selama 30 tahun.
Pada tahun 1886 sewaktu Modigliani, antropolog Italia, tinggal di rumah bangsawan Faösi’aro Sarumaha, bangsawan desa Bawölowalani, sebagian dari barangnya dicuri.[5] Para penduduk desa itu tidak berusaha untuk membangun rumah adat mereka dengan baik karena takut, desa mereka akan diserang dan dibakar. Karena bermusuhan dengan semua desa lainnya, maka masyarakat desa Bawölowalani dibagi tiga: sepertiga tetap berjaga-jaga lengkap dengan senjata; sepertiga ke ladang yang dekat dan sepertiga di rumah. Sewaktu Modigliani kemudian sudah pindah ke teluk Lagundri, pada suatu malam dia masih dapat menyaksikan dari sana kebakaran desa Bawölowalani.
Pada tahun sekitar 1965 masyarakat desa itu pindah agama dari BNKP masuk Katolik. Rasanya seperti tukar nama saja. Sekitar tahun 1985, sewaktu saya menghadiri pelantikan Kades Bawölowalani, Camat Ama Nurani memberi nasehat kepada Kades itu supaya berusaha, jangan membiarkan orang desa itu mabuk-mabuk. Tertawa semua hadirin, karena Kades itu sendiri peminum. Dan kemudian Camat Ama Nurani mengatakan lagi, kalau saya tanya sama Pastor Johannes, berapa orang dari desa Bawölowalani masuk gereja pada hari minggu, pasti tidak lebih dari sepertiga. - Mengubah watak tidak begitu gampang.
Merusak Alam
Kita heran, betapa para seniman dulu melihat keindahan tanaman dan bentuk estetisnya dalam ornamen. Juga dalam hoho kita melihat betapa kaya metafer dari alam semesta. Tetapi kenyataan sekarang seolah-olah tidak dilihat lagi keindahan alam, dan orang tidak segan untuk merusakannya atau mengetorinya.
- Air sungai sudah rusak. Akibat tuwa, air mas dan pestisida yang dipakai di sawah, tiada lagi ikan dalam sungai. Udang di laut yang memakan bahan kimia itu yang dihanyutkan di sungai atau dibuang ke laut. Kemudian manusia makan udang itu dan termasuk juga bahan kimia itu.
- Laowö Maru, Km 7 di jalan propinsi, yang sebenarnya suatu tempat pariwisata sering dijadikan tempat pembuangan sampah. Sesudah kapal laut berlabuh, anak kapal membuang isi tong sampah ke laut. Waktu pes babi ada juga babi yang mati dibuang ke laut dan terdampar di museum. Begitu pula penompang atau sopir mobil membuang sampah di jalan atau di lapangan parkir.
- Banyak jenis warga satwa sudah punah: Beo Nias, Gogowaya, Keke dll. Seolah-olah ada kewajiban untuk membunuh burung hantu, fofo zugöu dll. Orang takut, nanti ada yang meninggal. Binatang-binatang lain tidak menemukan lagi habitat dan pelan-pelan punah.
- Flora Nias yang dulu kaya-raya sudah agak miskin. Dulu bunga anggrek di Lölömatua. Sejak masa nilam hal itu sudah jauh berbeda.
Untuk menghadapi tantangan masa depan sangat penting pendidikan, sebelum alam rusak total.
Sifat negatif terhadap alam mungkin disebabkan karena dulu salah satu tugas pokok untuk laki-laki ialah memburu. Sedangkan kaum wanita tidak terbuka untuk keindahan alam karena tenggelam di dalam pekerjaan.
Seorang turis pernah berkata sama saya: Keluarga yang memelihara bunga di pekarangan rumah, mereka juga ramah tamah terhadap sesama manusia.
Persaudaraan diabaikan karena iri hati atau ketamakan
- Seorang saudara dari Si’ulu Hili’amaetaniha pada malam hari membakar desanya karena merasa dirugikan pada pembagian warisan. Kemudian melarikan diri dan mendirikan desa baru Botohilitanö.
- Dulu desa-desa besar selalu menyerang desa kecil untuk memperbesar dan memperkayakan diri.
- Pada malam Paskah 1981, seorang dari pondok yang terletak jauh dari desa memotong tali listrik di desa Tögizita, karena pondoknya tidak diberi jaringan listrik.
- Begitu pula sudah sering terjadi pertalian pipa air dipotong karena secara teknis seorang tidak dapat diberi aliran air bersih.
Perbudakan
Laku Niha. 200 tahun yang lalu kedengaran di seluruh Nias: laku niha! (manusia dapat dijual). Dengan licik atau dengan siasat perang orang diculik dan dijual sebagai budak ke seberang. Terdapat 3 pelabuhan utama dimana dijual-belikan para budak: Gunungsitoli/Iraonogeba, Tjehe di Nias Barat dan Tuhegeo/Söma-söma di pantai timur.
Gerombolan 05
Sekitar tahun 2000, pada peralihan Millenium, beberapa tahun lamannya seluruh masyarakat di kecamatan Gidö, Lölöfitu Moi dan Ma’u diliputi ketakutan karena gerombolan-gerombolan yang membunuh, merampas dan membakar. Gerakan itu disebut Kosong Lima. Asal mereka biasanya dari daerah terasing dan tertinggal yang tidak cukup diberi perhatian.
Membunuh dengan racun
Dulu racun sangat ditakuti. Hal ini dirasakan begitu relevan, sehingga 100 tahun yang lalu para misionaris Zending memilih kata racun itu sebagai tema utama pada konferensi tahunan. Ceramahnya masih ada, tetapi dalam bahasa Jerman. Sampai sekarang cukup banyak orang dari seberang masih takut untuk tinggal di Nias karena racun.
Namun saya berpendapat, seringkali seorang meninggal karena salah suatu penyakit yang tidak diketahui penyebabnya, lantas disiarkan saja isu bahwa orang lain sudah meracuni dia. Bahasa Nias: laböbögö si lö duhu.
Belaskasihan? Tolong-menolong?
Belaskasihan tidak dikenali. Kata fa’ahakhö dödö melukiskan kerugian yang saya alami, kalau saya membantu orang lain. Bahkan di antara sanak saudara jarang terdapat kesediaan untuk saling menolong. Sering dikatakan kepada para misionaris: Bö’ö khömi, bö’ö khöma.
Contoh-contoh:
- Satu keluarga dari Kotamadya Gunungsitoli punya 2 anak mahasiswa/i di Jakarta yang punya IP 3,5. Orang tua sangat susah untuk membiayai mereka. Padahal ada famili mereka yang kaya di Jakarta, punya 2 mobil dan rumah, tetapi tidak bersedia untuk menolong, sehingga 2 mahasiswa itu harus cari tempat in-de-kost.
- Seorang mahasiswa Batak, adik dari Br. Laurentius Sitanggang, Laverna, meninggal di Surabaya dalam celaka lalulintas. Kemudian keluarga Batak di Surabaya, bukan sanak saudara, mengurus segala-galanya untuk dia sampai jenazah diterima kembali di Barus.
- Pada suatu ketika satu gadis yang buta dari Bawögosali yang sudah beberapa tahun di panti tunanetra di Medan, diizinkan oleh Suster berkunjung ke kampung halamannya. Dia berangkat dengan 3 stel pakaian dan koper dan perlengkapan. Tetapi waktu dia pulang ke Medan, hanya pakaian yang dia kenakan yang masih ada sama dia. Yang lain semuanya diambil dari dia dengan berkata: Oh inilah kenangan bagi saya.
- Di Fadorohili janda muda dipaksa untuk kawin lagi, walaupun dia tidak mau dan minta supaya ditunda waktu sampai dia sudah membesarkan kedua anaknya yang masih kecil. Permintaannya tidak dikabulkan, dia dipisahkan dari 2 anaknya yang harus tinggal di rumah saudara suaminya. Mas kawin dituntut 32 batu dan tambahan lagi 2 batu böli we zusu, karena ibu itu masih sedang menyusui anaknya yang kedua. Ibu itu sendiri menceritakannya kepada saya, dan anaknya nomor dua itu, Moni-moni, menjadi pembantu kami dulu di Pastoran Tögizita.
Dongeng tentang Gotong Royong
- Gotong royong hampir tidak ada. Hanya amaedola yang terkenal itu, folulu ba halöwö, memberi kesan seolah-olah orang Nias hebat bergotong royong. Pada hal tidak.
Sistim-sistim yang ada sejak dulu sbb.:
- Seorang bangsawan atau si’ulu memotong babi dan menjamu rakyatnya. Kemudian semua yang sudah makan dari babi itu wajib bekerja. Hal ini dapat menguntungkan masyarakat, kalau bangsawan itu seorang baik yang memikirkan kesejahteraan para penduduk desa itu. (Contoh: membatui jalan desa, membuat kamar mandi (hele); Si’ulu Nitou’ö, ayah dari mantan kepala desa di Hilifalagö, setiap pagi keliling dalam desa dan memanggil orang supaya rajin bekerja. Atau si’ulu Ama Waigi di Onohondrö memaksa setiap keluarga untuk memelihara babi; orang yang tidak memelihara babi dicap pencuri.
- Sistim memperbudak: para budak dipaksa untuk bekerja.
- Sistim so’i-so’i: semua putri dari satu keluarga atau saudari-saudari yang sudah kawin di desa lain (para menantu) dipanggil, dijamu dan diberi tugas untuk menyokong Owasa pada hari H.
- Para menantu selalu harus stand by untuk membantu mertuanya.
- Sistim kerja paksa (Rodi) pada zaman kolonial; siapa yang tidak memenuhi kewajibannya didenda untuk membayar uang perak Belanda.
- Sistim kerja paksa (Romusa) pada masa Jepang;
- Cash for Work sesudah Merdeka. Masyarakat tidak bersedia lagi melakukan kerja paksa.
- Masyarakat tidak bersedia bergotong royong karena melihat korupsi di pihak pemerintah atau pemborong.
- Sistim Pemerintah pada proyek-proyek makin merusakkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada setiap proyek otomatis sudah hilang minim 10 sampai 20% untuk mendapatkan proyek. Dan seorang pemborong tentu tidak mau rugi juga. Kemudian sudah hebat kalau 60 % masuk dalam proyek itu.
Contoh:
Gotong Royong / Marsipature Hutanabe
Terjadilah rapat di Hilisimaetanö. Disepakati gotong royong. Kemudian bangsawan berdiri dan berkata: Saya sudah kenal bagaimana kesungguhan di desa ini. Sekarang semua berulang kali menjawab E-e-e-h dan menyetujui segala keputusan kita bersama,. Tetapi besok pagi tak seorangpun hadir.
Tenaga Kerja di Nias tidak terjamin
Sesudah gempa bumi (2005) banyak organisasi yang datang ke Nias tidak menemukan tenaga ahli di Nias. Dan terjadilah suatu paradoks: orang ahli didatangkan dari Sumatra, Jawa dan Sulawesi, datang ke Nias dan menerima gaji yang lumayan. Sedangkan orang Nias pergi ke seberang dan melakukan pekerjaan kasar di perkebunan atau di pabrik dengan upah minim.
Biasanya seorang kontraktor yang menerima suatu proyek di Nias langsung mendatangkan semua tukang dan tenaga kerja dari seberang, seringkali dari Jawa. Alasannya: orang Nias sering berhalangan, entah seorang dari keluarganya sakit, atau ada urusannya di kampung, atau ada pesta nikah dll. Inilah suatu kendala.
Namun kita harus melihat hasil pekerjaan dalam jangka waktu panjang. Pekerjaan orang Nias tidak selalu kalah bersaing. Yang dibutuhkan ialah pendidikan dan keahlian di bidang teknik dan konstruksi pembangunan.
Contoh-contoh:
- Sesudah gempa bumi rumah yatim piatu Monako dibangun oleh seorang pemborong dari Medan. Memang cepat selesai. Tetapi karena kwalitas begitu buruk, rumah itu sudah harus dibongkar kembali.
- Aula St. Yakobus di Laverna dibangun oleh seorang pemborong asal Nias dengan tenaga kerja dari Jawa. Memang cepat selesai. Tetapi kini sudah nampak banyak kerusakan.
- Gedung Museum Pusaka Nias, ke-4 Paviliun itu, dibangun oleh tukang-tukang sederhana dari Nias yang hampir semuanya hanya beberapa tahun di SD. Pekerjaan memang butuh waktu lebih lama dari pada gedung-gedung 3 tingkat di pasar. Tetapi sewaktu terjadi gempa bumi gedung itu tidak mengalami kerusakan.
Pada masa depan pertanian harus diberi perhatian khusus.
Pengertian tentang makanan sehat harus ditingkatkan.
Kesehatan
- Budaya lokal tidak menjunjung tinggi sayur-mayuran dan buah-buahan.
- Kesehatan masyarakat kurang didukung dengan makanan yang sehat.
- Dulu budaya lokal di bidang makanan mendukung kesehatan: padi ditumpuk dan kulit halus yang mengandung Vitamin kita makan; kini Vitamin ini menjadi makanan babi.
- Dulu kita makan banyak umbi-umbian; kini indomie dan beras putih, ikan kering yang mengandung banyak garam dan telur import.
- Tradisi lisan mengatakan bahwa dulu manusia kuat. Kini kita mengetahui dari Labor RS bahwa banyak orang Nias menderita Diabetes, Hypertensi dan Asam Urat. Apakah itu dapat disebut budaya baru, kalau satu desa seluruhnya menderita diabetes yang dipengaruhi juga dari kebiasaan kita di bidang makanan?
- Berbagai Kearifan diabaikan, misalnya Obat Tradisional. Banyak orang sangat mengharapkan jadi sembuh dengan suntik. Bahkan pemain Volley minta disuntik dulu. Dalam Seminar tentang Obat Tradisional yang diadakan di Museum Pusaka Nias, Prof. Aznan Lelo dari USU Medan mengatakan kepada saya: He Pastor, di Nias begitu banyak tumbuhan obat. Buatlah saja suatu RS disini dengan obat tradisional.
Ekonomi
- Keadaan sekarang tidak sehat. Masyarakat Nias sangat tergantung pada import bahan makanan.
- Banyak orang Nias lebih suka bekerja sebagai kuli atau tukang becak di seberang, dari pada hidup dari pertanian di Nias. Banyak orang Nias dari Lahusa-Gomo mencangkul tanah di Berastagi dengan gaji Rp. 50.000,- per hari. Kalau mereka sakit atau tua, mereka akan pulang ke kampung asal dan akan mengemis.
- Sekitar tahun 1990, Universitas Salatiga telah mengadakan suatu penelitian di Nias yang menyangkut pertanian. Ditemukan suatu paradoks. Para petani di Jawa pergi ke kota untuk menjual hasil pertanian mereka. Di Nias justru terbalik. Para petani pergi ke kota untuk membeli bahan makanan.
Tidak sungguh berusaha
Dilihat dari segi budaya lokal, rupanya tidak ada pengalaman atau pendidikan untuk berdagang atau berusaha. Dulu masyarakat Nias tidak mengenal uang. Karena itu sekitar tahun 1905 Schröder, Controleur Belanda yang juga digelari Sila’uma, memasukan lebih dari seratus ribu Gulden perak Belanda, firö, sebagai alat uang untuk perdagangan. Sebelumnya orang Nias bisa saja memotong-motong suatu hiasan emas dan menjadikannya uang pecahan. Namun ide dari Schröder tidak sungguh-sungguh tercapai, karena orang Nias menjadikan firö itu benda-benda budaya. firö itu dijadikan hiasan atau dipakai sebagai mas kawin dan dalam urusan adat lainnya.
- Di satu pihak orang Nias murah hati untuk memberi. Di pihak lain mereka harus dikatakan tidak menghargai uang pecahan, uang kecil; langsung menghendaki uang besar. Dulu uang logam masih lama berlaku di seberang dan di Jakarta, tetapi di Nias tidak mau dipakai lagi. Harga barang kemudian dinaikkan dari Rp. 75,- atau Rp. 200,- menjadi langsung Rp. 500,- atau Rp. 1.000,-
- Orang Nias pada umumnya tidak mau mulai berdagang secara sederhana. Langsung diharapkan modal besar, baru akan mulai (foko mena’ö). Pikirannya, nanti hanya tinggal memutar uang itu.
- Tidak mau hemat dan menyimpan dulu uang secukupnya, melainkan pinjam dulu atau menerima kredit, baru kemudian mencicil dengan membayar bunga juga.
- Kini banyak orang tergiur dengan sistim angsuran, u.p. mendapat suatu sepeda motor dengan membayar uang muka saja dari 10 s/d 20 cicilan. Acapkali kereta Honda itu harus dijual lagi karena perencanaan uang tidak pas, atau ada yang jatuh sakit di keluarga atau ada celaka lalulintas atau halangan lainnya.
Budaya lain dalam kaitannya dengan uang
- Budaya yang lain diambil dari pemeliharaan babi. Istilah Nias kalau induk babi beranak adalah mo-ono. Istilah ini kemudian dipakai untuk bunga deposito atau bunga pinjaman), artinya uang harus ber-anak. Pada pinjaman uang selalu dikaitkan suatu harapan besar. Maka ada orang yang bersedia memberi pinjaman di kampung dengan bunga 10 % per bulan. Perhitungan gampang. Sebagai jaminan (boreh) diberi satu bidang kebun. Sudah ditargetkan, bahwa pinjaman tidak dapat dikembalikan lagi. Maka kebun itu menjadi milik orang yang telah memberi pinjaman itu.
- Sistim lain yang berkaitan dengan uang atau berdagang: Saya memberi, supaya kamu juga memberi. Sistim ini diambil dari pesta besar, owasa. Berapa banyak daging babi (hie bawi) yang saya pernah berikan kepadamu pada pestamu, begitu banyak kamu harus kembalikan kepada saya kalau saya berpesta. Timbangan untuk daging babi itu disebut hie bawi. Timbangan itu adalah simbol untuk pikiran itu yang dalam bahasa Latin disebut: do ut des, saya memberi, supaya kamu juga memberi.
Tidak malu
- Seorang yang maju mengalami banyak tantangan: orang lain iri hati atau datang membeli barang di tokonya tanpa membayar, atau mau meminjam uangnya dan tidak mengembalikannya. Malahan orang berada diejek lagi kalau dia menagih utang atau kalau dia tidak kasih pinjaman.
- Sebaliknya orang-orang yang punya harta di Nias tidak mau membantu orang lain, tetapi justru mencari jalan supaya orang lain itu semakin tergantung dan miskin.
- Atau orang melihat hasil di kebun orang lain dan mencurinya. Atau terus menerus datang untuk meminjam hasil kebun itu dan tidak mau capek untuk menanam sendiri. Atau anak-anak selalu mengambil buah-buahan di kebun orang lain, sehingga orang itu tidak mau menanam lagi pohon buah-buahan karena hasilnya toh selalu diambil oleh orang lain.
- Sulit untuk maju. Kalau seorang membuka toko, para penduduk datang mengambil barangnya. Nanti bayar, katanya. Pinjam dulu dst. Kalau pemilik toko tidak mengizinkan, dia diejek: He, orang kaya itu.
Agama
- Kalau dalam kolekte di gereja ditemukan uang busuk, hal ini sesuai dengan persembahan yang dulu diberikan kepada Bela, yang berdiam di atas pohon, ialah pecahan periuk tanah (tugalawu) dan buah kelapa yang jatuh sebelum jadi (walö-walö).
- Doa seorang Ere pura-pura berlarut-larut karena dia tidak puas dengan besarnya babi yang dipersembahkan kepadanya: ”ambö!”
- Sesudah gempa bumi (2005), pada suatu pertemuan di kec. Tuhemberua, banyak orang dari desa di sekitarnya dikatakan: ”mempersembahkan racun dan buku gelemu di meja.” (P.H.)
- Kutuk (fangelifi, fanaetu)dari paman sangat ditakuti.
- Di Nias Utara ukiran-ukiran kayu dari rumah adat yang ambruk tidak boleh diambil atau dijual. Para pemilik rumah itu takut kena kutuk nenek moyang, kalau mereka menjual atau memberikan ukiran itu.
- Ketakutan terhadap kutuk nenek moyang masih lebih kuat dari pada iman orang Kristen. Ketakutan terhadap roh-roh orang yang sudah meninggal (bekhu zi mate) sangat besar.
- Sebaliknya ada yang tidak menghiraukan kebenaran dan dengan gampang mau bersumpah (möi ba hölu; he na labe khögu tuna wato).
Pendidikan
Anak-anak dibiarkan saja menjadi besar tanpa pendidikan dini. Kata misionaris Sundermann: ”dibiarkan tumbuh besar seperti rumput.” Mereka boleh mengambil buah-buahan di kebun orang lain. Dan orang tua mengatakan: iraono na sa (masih anak). Pendidikan nanti, diluruskan nanti kalau sudah kawin (Lafagamöi dania na no mangowalu).
Orangtua menghadapi banyak tantangan. Anak-anak mereka digodai dengan berbagai jenis roti, gula-gula, Es, minuman dan permainan yang dapat dibeli. Dan yang tidak punya uang mau mencuri.
Famoni
Pada zaman dulu terkenal istilah famoni, pantang artinya. Dalam era globalisasi pendidikan famoni sangat penting di segala bidang, bukan di agama saja.
- Kesehatan menuntut famoni (diabetes, hypertensi, asam urat dlsb.)
- Olahraga atau studi atau pekerjaan dll. selalu menuntut famoni.
- famoni perlu di setiap keluarga, pantang sendiri dan memperhatikan yang lain.
- famoni sebagai pendidikan dini bagi anak-anak sangat berguna supaya anak-anak kita tidak menjadi rakus seperti ke-8 putra Sirao.
- famoni terkenal dulu bagi wanita yang hamil. Tentu banyak pantangan bagi wanita yang hamil harus dilihat kini dengan ilmu pengetahuan modern.
- Tetapi keyakinan yang mereka punya dulu tentang famoni, bahwa ada hubungan dan pengaruh di antara famoni dan hidup manusia, hal ini kita sangat butuhkan pada zaman modern dan di era globalisasi.
Moral
Pendeta Hahn yang dulu di Hilihati, pernah bercerita sama saya tentang tanggapan para anggota kursus perihal moral. Ada seorang pemilik kebun yang menangkap basah seorang yang sedang mencuri buah-buah kelapa. Buah-buah kelapa sudah diturunkan dari pohon, tetapi belum sempat diangkat. Waktu Pendeta Hahn bertanya kepada para anggota kursus, apakah orang itu mencuri, mereka menjawab: tidak! Mengapa tidak? Karena dia belum sempat mengangkat buah-buah kelapa itu.
Di salah satu desa pernah dihidangkan sama saya air putih, katanya: He Pastor, bologö dödöu, lö kofi. 5 menit sesudah itu ada seorang penduduk desa datang ke rumah itu, mengulurkan uang dan membeli satu bungkus kofi.
Memalukan dalam arti memaksa
Seorang yang tidak mau melakukan pesta (owasa) dipermalukan. Saya kenal seorang bernama Agustinus. Sebelum kawin, dia itu dinasihati oleh kakaknya, katanya: Jangan mengadakan pesta. Namun para penduduk desa mendesak si Agustinus: Kalau kau tidak melakukan pesta kau tidak laku dalam desa dan tidak punya hak. Iraono na sa! Baik, Agustinus mengalah, meminjam uang, menggadaikan kebun karetnya, mengadakan pesta dan menyembelih 13 ekor babi. Sesudah itu dia jatuh miskin karena tidak bisa lagi menderes karet di kebunnya. Dia menjual rumahnya, pergi ke seberang, bekerja di kebun kelapa sawit dan kini sudah meninggal.
Suatu paradoks budaya: sombong dan rendah hati
Dulu hal ini secara rutin terjadi pada pesta owasa. Sowatö, tuan rumah yang mengadakan pesta, dalam tradisi famaola merendahkan diri: kami miskin, babi kami kurus, panen rusak dlsb. Tetapi kerendahan hati hanya di bibir. Sebaliknya dia bisa sungguh sombong karena babi yang disembelihnya begitu banyak. Sedangkan tome atau soroi tou, para tamu yang datang, tidak peduli dengan kerendahan hati yang hanya di bibir dan mengatakan: Bagaimanapun, kami akan menghabiskan babi dan milikmu.
Turis & hospitalitas
Di tempat publik seperti di pelabuhan, di terminal dan di jalan publik, para turis atau tamu yang tidak punya guide seringkali merasa seperti diserang, diperas atau diganggu. Hal itu sudah mulai kalau kapal Ferri bersandar di pelabuhan Gunungsitoli. Dilanjutkan lagi oleh kenek mobil angkutan. Akhirnnya seorang turis dari Inggris berlindung sama kami di museum. Dia itu seperti kena trauma. Pagi hari dia tiba di Nias dan langsung pada malam hari itu dia berangkat lagi.
Kapal pesiar dari Hapag Loyd, Hamburg, berlabuh di Gunungsitoli sekitar 5 tahun yang lalu. Pelabuhan kotor, bau karet dan rombongan tukang becak menyerang para turis dengan meminta Dollar sebagai ongkos becak yang tidak-tidak. Karena tidak mau ditipu atau diperas, para turis itu kemudian jalan kaki ke kota Gunungsitoli. Mereka menderita sedikit di samping lalulintas kota itu, apalagi diejek karena tidak mau bayar ongkos becak. Para turis cepat merasakan kalau mereka tidak diperlakukan dengan baik. Karena pengalaman pahit itu, lain kali kapal pesiar itu tidak akan datang lagi. Para turis akan bercerita dimana-mana tentang penyambutan yang tidak ramah itu. Kata para turis: cukup kita ke Jawa dan Bali saja. Di sana kita diterima dengan sopan dan kita bisa menikmati alam raya tanpa diganggu terus.
Melarikan mempelai wanita
Kira-kira 20 Oktober 2012, pada malam hari satu gerombolan laki-laki dari desa Atualuo dan desa Hilimbaruzö II telah menyerang rumah seorang mempelai perempuan di desa Sifaoro’asi tepat satu hari sebelum hendak dilangsungkan pesta nikah. Dengan ancaman dan secara paksaan mereka melarikan mempelai perempuan itu. Kemudian dia dijadikan istri dari salah seorang dari gerombolan itu. Sebelum polisi masuk, mereka sudah melarikan diri. Menurut berita, pemimpin dari gerombolan itu adalah seorang guru atau guru honor.
Kesimpulan
Jangan kita lupakan keutamaan positif yang kita temukan di Pulau Nias. Keramah-tamahan dan kekeluargaan. Perasaan persaudaraan (si fatalifusö dan si sambua mo’ama) yang telah dibangun oleh keempat leluhur (Hia, Gözö, Daeli dan Hulu) dengan mengakui bahwa mereka adalah anak dari Sirao. Mereka melakukan rekonsiliasi dan perdamaian sehingga pertengkaran dan permusuhan dapat berakhir. Keutamaan yang asli ini yang secara alamiah ada di sosok orang Nias harus diselamatkan, dilestarikan dan dikembangkan.Terdapat juga banyak kesenian di Nias. Kesenian di bidang arsitektur, pengukiran dan pemahatan, kesenian di bidang musik dan tradisi lisan. Kadang-kadang ada juga yang mengatakan, orang Nias lebih religius dari pada orang Batak. Mereka juga dengan murah hati memberi persembahan atau intensi. Orang Nias juga berbakat untuk menata ornamen dan pakaian, berbakat untuk mengatur suatu upacara dan berpidato, berbakat juga untuk melihat dan menghargai nilai-nilai yang benar. Semuanya yang baik itu tentu tidak boleh diabaikan.
Tetapi dengan melihat pula banyak hal yang negatif, akhirnya kita harus bertanya: Apa yang kita teruskan untuk membentuk karakter anak-anak kita? Semuanya itu harus ditampi dulu. Tentu ajaran dari Luomewöna sangat penting.
Dengan melihat begitu banyak hal yang negatif tentang karakter orang Nias, sebagai langkah pertama perlu kita pikirkan apa penyebabnya terjadinya begitu. Dan sebagai langkah kedua kita harus memikirkan cara untuk memperbaikinya:
- di dalam keluarga
- di dalam pendidikan sekolah
- di lingkungan masyarakat atau pemerintah
Akar semuanya itu mungkin dapat ditemukan dalam hal-hal berikut:
- Feodalisme (sehingga orang menjadi malas, mulai mencuri dan menjadi agresif)
- Kemiskinan (secara material dan secara mental dan religius)
- Keterisoliran (sehingga tidak kenal dunia selain dirinya; lantas selalu awas, menjadi agresif dan bermusuhan dengan orang lain.
Dan sebagai puncak dari segala usaha untuk memperbaiki karakter orang Nias kita harus melihat agama. Agama memiliki potensi dan modal yang sangat besar. Karena manusia diciptakan sebagai citra Allah sendiri, maka manusia mempunyai martabat yang tidak dapat digugat.
Begitu juga alam raya sebagai penciptaan Allah. Maka alam raya harus dilihat sebagai pantulan kemuliaan dan kebijaksanaan dan kekuatan-Nya
Persaudaraan dibenarkan oleh agama, bahkan permusuhan tidak lagi diberi tempat.
Persaudaraan juga mendorong untuk saling menolong dan bukan untuk mengeksploitasikan sesama.
Berarti: agama adalah afore baru untuk kebudayaan kita.
Nasehat dari Hawa di Mazinö (Nias Selatan)[6]
Kita juga mendengarkan kembali nasehat dari salah seorang leluhur bernama, Hawa di Mazinö (Nias Selatan) yang berseru:
“Wahai engkau, semua yang ada di sini, dengarkanlah perkataan ini dengan baik dan camkanlah:
Jangan bersaing dengan cara curang dan melecehkan orang lain (böi falaŵa fahöwö),
itu tidak kekal (löna fa'anau gölö).
Ada emas yang kuning berkilauan (so gana'a sa'usö),
ialah pikiran dan hati (ya'ia gera-era dödö).
Ada emas yang lebih besar (so gana'a sebua),
ialah menghormati sesama manusia (famosumane awöda niha).
Lebih besar dari berlian (ebua ya ba mbalaki),
lebih besar dari emas (ebua ya ba gana'a),
tingkah laku yang disukai semua orang (mböwö somasi niha),
tindakan yang kita senangi (amuata nitehe dödöda).”
Nasehat Hawa dalam mitos ini mengajarkan kepada kita nilai-nilai kemanuasiaan yang sebaiknya kita lakukan dalam hidup kemasyarakatan. Kesombongan merupakan awal dari kehancuran.
Santo Fransiskus dari Asisi, Italia
(1182-1226)
Salah satu Doa St. Fransiskus menyebut berbagai keutamaan Allah. Dan manusia yang diciptakan menurut citra Allah dipanggil untuk mewudjudkan juga keutamaan-keutamaan itu dalam hidupnya. Fransiskus berdoa:
Engkaulah Tuhan Yang Kudus, Allah satu-satunya,
yang melakukan keajaiban-keajaiban.
Engkaulah cinta kasih,
Engkaulah kebijaksanaan,
Engkaulah kesabaran,
Engkaulah keindahan,
Engkaulah kelembutan hati,
Engkaulah keamanan,
Engkaulah ketenteraman,
Engkaulah kegembiraan,
Engkau pengharapan dan sukacita kami,
Engkaulah keadilan,
Engkaulah keugaharian,
Engkaulah segala kekayaan kami yang melimpah. Amin
[1] Fries, Eduard. 1907, Niassische Totenklage. Rundbrief Nr. 1, tahun ke-5. Hlm 1 -7.
[3] Vibe: singkatan dari kata vibration/vibrate. Vibrasi biasanya digunakan dalam dunia tarik suara, yaitu suara yang bergetar.
[4] Kriele, Pastor. 1906. Der Siegeslauf des Evangeliums auf Nias. hlm 24-40. Dalam seri: Geschichten und Bilder aus der Mission. Nr. 24, tahun 1906; diterbitkan oleh Prof. D.Dr. W. Fries.
[5] Modigliani, Ellio. 1890.. Un viaggio a Nias. 195 grafik, 26 foto, 4 peta. Milano. Penerbit Fratelli Treves.
Howdy! I just would like to offer you a huge thumbs up for the great info you've got here on this post. I'll be
BalasHapuscoming back to your site for more soon.
Look into my blog post - budget hotels