Sabtu, 05 Februari 2022

PRAKARSA SPENER: COLLEGIA PIETATIS

 


MUNCULNYA PIETISME

Sekitar tahun 1677 di Darmstadt, istilah Pietisme muncul dan menjadi populer di kalangan gereja-gereja Lutheran. Kata pietisme dipergunakan sebagai ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis), yang pada waktu itu tumbuh menjamur dalam gereja-gereja Lutheran. Menurut penilaian pada waktu itu, kesalehan mereka terlalu berlebihan dan dituduh farisi oleh masyarakat. Tetapi lama kelamaan konotasi negatif dari kata itu mulai hilang, bahkan Pietisme lalu menjadi tanda pengenal atau nama aliran itu.

Kelompok-kelompok orang yang hidup saleh atau collegia pietatis sebenarnya bukan kelompok-kelompok yang terlalu eksklusif. Sejak tahun 1669, kelompok ini untuk pertama kali didirikan oleh Spener, dalam rangka memberi arti dan memanfaatkan kehidupan orang-orang Kristen. Spener mengatakan: "Daripada dalam seminggu anggota-anggota Jemaat hanya menghabiskan waktu mereka untuk bermabuk-mabukan, berjudi atau bermain kartu, maka lebih baik mereka memanfaatkan waktu itu untuk hal-hal yang membangun." Misalnya dengan cara berkumpul bersama-sama, membahas dan membaca buku-buku tentang kesalehan. Kegiatan Collegia Pietatis kemudian berkembang. Mereka tidak saja berdiskusi tentang kesalehan, tetapi diskusi itu juga diikuti oleh petunjuk-petunjuk praktis, sesuai dengan kekhasan Peitisme di kemudian hari. Untuk itulah Spener menulis karyanya yang terkenal Pia Desideria, yang memberikan dasar bagi semua

kegiatan-kegiatan praktis itu. Prakarsa Spener untuk membentuk kelompok-kelompok saleh (Collegia Pietatis) pada waktu itu dirasakan sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak, sebab Jerman sedang dilanda kemerosotan moral yang dahsyat, akibat perang 30 tahun (1618 - 1648). Perang ini merupakan perang antara penganut-penganut Katolik Roma dan Reformasi. Inilah sebuah perang dengan latar belakang agama, tetapi ternyata menghancurkan semua nilai-nilai agama. Budaya manusia hancur, moral merosot, dan banyak gedung gereja yang ditutup. Perang ini diakhiri dengan Perjanjian Münster pada tahun 1648, tetapi akibat perang itu dalam semua bidang kehidupan ternyata sangat fatal. Banyak desa-desa yang musnah, rumah-rumah dan kebun dibakar. Penyakit merajalela, uang kehilangan nilainya, sadisme ditemukan di mana-mana, mabukmabukan dan pelacuran adalah hal yang biasa.

Halle sebagai salah satu pusat Pietisme Jerman, juga mengalami kemelaratan seperti ini. Ketika Francke tiba di Halle, dari 200 rumah yang ada, 37 di antaranya adalah rumah pelacuran. Rekreasi yang paling disenangi adalah bermabuk-mabukan. Anak-anak yang miskin tinggal buta huruf dan tidak berpendidikan. Tempat bermain mereka adalah selokan-selokan kotor dan timbunan-timbunan sampah. Dalam keadaan seperti inilah Pietisme lahir dan berusaha menjawab keadaan. Misalnya di Halle, Pietisme lebih peka dan tanggap, dibandingkan dengan Gereja Lutheran Orthodoks, ketika mereka mulai bergerak di bidang pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan seterusnya. 

Sejajar dengan kemelaratan yang melanda masyarakat, dampak negatif dari peperangan yang dahsyat itu mulai terasa di dalam gereja. Gereja-gereja Lutheran pada waktu itu sangat bergantung pada raja yang berkuasa, Pejabat-pejabat gereja ditunjuk oleh raja. Harta milik gereja diatur oleh pemerintah. Disiplin gereja dijalankan tetapi tidak berlaku untuk tokoh-tokoh pemerintah. Dengan perkataan lain, gereja pada waktu itu telah diperalat oleh pemerintah. Apa lagi raja-raja di kalangan Lutheran umumnya tidak bisa dibanggakan. Mereka tidak segan-segan mempergunakan pedang atau kekerasan dengan alasan kepentingan Tuhan. Tidak sedikit raja-raja Lutheran yang dikenal sebagai raja yang sadis, kasar, tamak dan pemabuk. Tetapi raja-raja itu selalu diberi gelar seperti: Yohanes yang Setia, Ernest yang Saleh, Agustinus yang Perkasa dan seterusnya.

Standar kehidupan pendeta sangat rendah, jauh berada di bawah pegawai-pegawai pemerintah, bahkan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan para petani yang berhasil. Pendapatan pendeta hanya diperoleh lewat perpuluhan atau kolekte yang dikumpulkan dengan susah payah. Oleh sebab itu banyak pendeta yang harus menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu untuk menghidupi keluarganya. Mereka bersedia diperalat oleh pemerintah, mimbar-mimbar gereja pada waktu itu adalah alat yang sangat baik untuk menyampaikan peraturan-peraturan atau dekrit pemerintah. Tidak jarang pendeta bertindak sebagai pegawai pemerintah atau polisi rahasia.

Oleh sebab itu gereja sebagai alat untuk memerangi akibat bencana peperangan, tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dari latar belakang ini bisa dimengerti kalau Pia Desideria karya Spener, berisi kecamankecaman yang cukup pedas terhadap pendeta-pendeta dan raja-raja yang salah mempergunakan jabatannya."

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan: kelompok-kelompok saleh atau Collegia Pietatis adalah perwujudan usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan gereja.

Sebenarnya tempat-tempat yang lain selain Jerman, ada juga perang agama dan kemelaratan akibat perang. Tetapi tempat-tempat di mana Calvinisme dominan, kesalehan itu tidak pernah muncul sebagai suatu aliran yang menentang gereja resmi seperti Pietisme di Jerman. Sebaliknya keadaan di gereja-gereja Lutheran Jerman lebih memungkinkan kesalehan itu diangkat ke atas permukaan dan menjadi satu aliran yang menentang gereja resmi. Hal ini disebabkan karena gereja Lutheran Jerman dikuasai oleh raja-raja dan secara teologis keputusan akhir ada di dalam tangan Guru-guru besar di Universitas. Demikian juga dampak keputusan-keputusan teologis itu tidak menjangkau rakyat banyak, karena terlalu dogmatis dan rasional sifatnya. Ajaran Kristen tidak lebih dari sejumlah kebenaran yang harus diterima oleh gereja. Sedangkan apakah mereka hidup sesuai dengan ajaran itu sama sekali tidak diperhatikan. Khotbah-khotbah di gereja tidak lebih dari ceramah-ceramah dogmatis dan polemik terhadap ajaran-ajaran lain. Sedangkan unsur disiplin dan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari, sama sekali tidak diperhatikan.

Di tengah-tengah kemerosotan moral dan kemelaratan akibat Perang Tiga Puluh Tahun, gereja-gereja Lutheran tidak mempunyai sarana untuk mengisi atau mengatasi keadaan itu. Karena waktu mereka hanya dihabiskan untuk debat-debat dan polemik menyangkut agama, maka wajar kalau ada semacam kekosongan di kalangan umat, seperti kebutuhan untuk hidup saleh, bermoral, lahir baru, pertobatan dan lain-lain.

Di kalangan Calvinis, disiplin yang keras seperti yang ada pada Pietisme adalah hal yang biasa dipraktekkan. Konsep Predestinasi juga menimbulkan kesalehan yang khas Calvinis, di mana orang mulai memeriksa diri dan mencari tanda bahwa Allah telah memilih mereka dan menyelamatkan mereka. Tanda-tanda pemilihan itu antara lain adalah kesalehan dan kebajikan. Apalagi struktur gereja yang presbiterial lebih memungkinkan semua konsep-konsep teologia bisa menjangkau orang banyak dan tidak dimiliki oleh sekelompok elit orang-orang Kristen saja, seperti di kalangan guru besar pada gereja-gereja Lutheran. Itulah sebabnya Pietisme lebih gampang muncul di Jerman, sementara di tempattempat lain di mana aliran Calvinis dominan, kesalehan mendapatkan tempatnya dan tidak perlu dipertentangkan dengan gereja resmi, karena kesalehan itu sendiri telah diterima oleh umat dan segala golongan masyarakat.

Dengan demikian Jerman telah menjadi persemaian yang cukup subur untuk benih-benih Pietisme. Setelah Luther meninggal dunia, tidak lagi ditemukan tokoh-tokoh Lutheran yang setenar Luther atau Melanchthon. Secara umum bisa dikatakan, tidak ada lagi tokoh-tokoh yang mampu mempertahankan semangat dan jiwa Lutheran. Ajaran-ajaran Luther dipertahankan dan dijaga dengan baik, tetapi penekanan atau titik berat ajaran mulai bergeser. Tokoh-tokoh Lutheran pada waktu itu lebih menekankan hal yang formal dari ajaran Luther, dan debat-debat dogmatis yang tidak menyentuh kebutuhan praktis.

Selain terlalu formal dan dogmatis, reformasi Luther juga tidak disertai dengan persiapan-persiapan sarana yang memadai untuk memelihara dan mengembangkan gagasan-gagasan Reformasi, misalnya struktur yang tepat. Pada waktu itu orang-orang Lutheran terlalu bergantung kepada raja-raja, dalam arti raja yang mengatur segala-galanya, kecuali masalah teologis diserahkan kepada universitas. Akibatnya Lutheran sulit sekali berkembang, sebab pada umumnya raja-raja Lutheran pada waktu itu tidak mampu memelihara nilai-nilai Reformasi. Kenyataan ini dapat dimengerti, karena Luther pada mulanya tidak mau memisahkan diri dari Katolik Roma, sehingga sama sekali tidak terpikir untuk menciptakan sarana-sarana baru bagi gagasan Reformasi.

 Dalam kekuasaan raja-raja itu lama kelamaan mulai sulit dibedakan antara inti ajaran dan kulit yang membungkus ajaran itu. Rumusan-rumusan dogmatis dimutlakkan dan percaya berarti mengaminkan konfesi serta rumusan itu. Muncullah sekelompok orang-orang yang merasa yakin dapat menafsirkan ajaran Luther secara tepat, untuk mempertahankan ajaran Luther dari serangan orang-orang Katolik Roma, Calvinis atau sekte-sekte yang lain. Sejak saat itu mulailah era ortodoksi dalam tubuh Lutheran. Akal mendapatkan tempat utama dan perasaan disingkirkan. Dogma digarisbawahi dan disalahgunakan dengan menjuruskan dogma itu ke arah fanatisme. Walaupun di belakang sifat yang kaku dan fanatik itu ada motif yang baik, yaitu ingin melindungi kemurnian ajaran Reformasi. Tetapi kenyataannya jiwa dan semangat Reformasi itu sendiri dimasukkan ke dalam penjara status quo.

Sebenarnya sudah sejak Luther umat dihujani dengan debatdebat yang menyangkut doktrin. Misalnya perdebatan antara Luther dengan orang-orang Katolik Roma. Atau antara orangorang Lutheran dengan Calvinis menyangkut masalah Perjamuan Kudus. Bahkan di kalangan Lutheran sendiri ada pertentanganpertentangan menyangkut dogma yang tidak berkesudahan. Misalnya: Pertentangan dengan golongan Antinomian. Apakah hukumhukum dalam Perjanjian Lama masih tetap berlaku bagi orang Kristen yang hidup pada zaman Perjanjian Baru. Johanes Agricola seorang tokoh antinomian berpendapat: Hukum Taurat telah berakhir ketika Yesus datang di dalam dunia ini.!) Ada lagi pertentangan dengan golongan Adiaforis. Golongan ini berpendapat ada hal-hal tertentu dalam kehidupan gereja yang tidak terlalu penting untuk keselamatan. Misalnya liturgi, struktur gereja dst. Menurut mereka semua hal yang menyangkut pokokpokok itu, orang Reformasi bisa mengadakan kompromi dengan orang Katolik Roma. Tetapi orang-orang gnesio Lutheran (golongan keras Lutheran), menolak pandangan ini. Mereka berpendapat tidak ada kompromi dengan Katolik Roma

Ada lagi pertentangan dengan golongan Osiandrian. Andreas Osiander penganjur aliran ini berpendapat: Kebenaran yang berasal dari Kristus, dan mengubah hakikat manusia itu menjadi tidak bercela. Dengan demikian peranan Firman Allah sebagai alat menuntun orang ke arah keselamatan sudah tidak perlu lagi. Selain itu masih ada pertentangan dengan golongan Mayoris. Aliran ini berpendapat: Perbuatan baik perlu untuk keselamatan.

Demikian juga pertentangan dengan golongan Synergis, yang menyangkut pemeliharaan Allah dan kebebasan manusia. Orang synergis berpendapat ada kerja sama antara Allah dan kebebasan manusia. Sedangkan orang-orang gnesio Lutheran berpendapat: Manusia tidak lebih dari sepotong kayu dalam proses penyelamatan.

Belajar dari pertentangan-pertentangan ini, orang-orang gnesio Lutheran pada tahun 1477, merumuskan Formula Concordia untuk melindungi ajaran Lutheran. Dan sebenarnya juga untuk memperkuat kedudukan mereka sendiri. Dalam Formula Concordia terbaca warna ajaran-ajaran zaman itu. Namun akibat Formula Concordia, jurang antara Lutherisme dan Calvinisme semakin  dalam, sebab secara tidak langsung Formula itu memperdalam fanatisme.

Dari uraian tentang pertentangan di atas dapat dilihat bahwa dari pertentangan-pertentangan itu orang mulai berusaha untuk merumuskan rumusan-rumusan yang rasionalistis dan teliti. Atau dengan perkataan lain muncullah Scholastik Protestan dalam tubuh Lutheran. Pertentangan-pertentangan itu bahkan meluas sampai menyentuh tatacara ibadah di dalam Jemaat. Misalnya muncul perdebatan yang hebat ketika ada pendeta yang tidak berdoa mengusir setan sebelum upacara Baptisan dilaksanakan.

Di dalam Jemaat muncul semacam fanatisme yang sangat kuat. Misalnya pada tahun 1592, ada syair lagu-lagu gereja yang berbunyi: Bimbinglah orang kudus-Mu dengan Firman, ya Tuhan, tetapi hancurkanlah orang-orang Calvinis dengan pedang-Mu.")

Khotbah-khotbah pada waktu itu sama sekali tidak cocok dengan kebutuhan orang. Isi khotbah hanya merupakan serangan-serangan terhadap sekte-sekte. Kadang-kadang khotbah tidak lebih dari pidato yang berapi-api, pengulangan kata atau permain kata, pertanyaan-pertanyaan retoris yang dangkal dan yang dikumpulkan dari Alkitab. Misalnya kita dapat memperhatikan sebuah khotbah pada tahun 1605 yang berbicara tentang: "Semua rambut di atas kepalamu telah dihitung". Tema ini lalu dibagi atas 4 bagian yaitu: 

a. Asal- mula rambut. 

b. Pemeliharaan rambut yang benar. 

Č. Daya tarik atau keindahan rambut. 

d. Bagaimana merawat rambut sebagai seorang Kristen yang baik.

Kesan yang timbul dari khotbah seperti ini ialah: Khotbah ini sangat kering dan sama sekali tidak mendarat atau menjawab masalah Jemaat.

Pada pertengahan abad ke-17, suasana ini masih terasa. Fanatisme merajalela di kalangan orang-orang Ortodoks, dan dogma selalu mendapat penekanan utama. Misalnya seorang tokoh Ortodoks yang bernama Calavius selalu berdoa: "Penuhilah aku dengan kebencian yang dalam terhadap sekte-sekte, oh Tuhan". Dalam situasi seperti inilah muncul Pietatis. Ketika akal adalah alat utama yang dipergunakan dalam perdebatan, Pietisme malahan menekankan satu dimensi yang lain dari manusia yaitu perasaan. Bukan apa yang ada di dalam kepala manusia, tetapi yang paling penting adalah apa yang ada di dalam hati manusia. Ketika khotbah-khotbah pada waktu itu sama sekali tidak cocok dengan kebutuhan manusia, Pietisme lalu berbicara tentang khotbah praktis yang berbicara tentang pengalaman dan kehidupan manusia sehari-hari.

Singkatnya Pietisme adalah sebuah koreksi atau reaksi, yang berusaha keras mengisi sebuah kekosongan di dalam kehidupan Jemaat. aliran Pieteisme. Di tengah-tengah pertentangan dogma yang tidak berkesudahan, mereka lalu menekankan etika. Ketika ide atau gagasan digarisbawahi, orang-orang Pietisme lalu berbicara tentang Praksis.

SUMBER: : JUJUR TERHADAP PIETISME (Pdt. Leonard Hale, M.Th)

Wikipedia

Ket Gambar:  Philip Jacob Spener.

Di salin dan di sadur oleh : Waseng Makantar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hilisataro tempo doeloe

Hilisataro tempo doeloe