Sowanua atau Bela
Sowanua
yang berarti makhluk halus yang berdiam di atas pohon-pohon raksasa
lebih dikenal oleh masyarakat di Nias Selatan khususnya Telukdalam
hingga kini. Di Nias Utara, tengah dan Barat menyebut makhluk halus
tersebut Bela atau Ono Mbela (anak Bela). Namun Sowanua dalam pengertian
penduduk asli, secara umum dipahami di seluruh pulau Nias.
Banyak
sekali catatan hitam mengenai Sowanua atau Bela dalam kaitannya dengan
makhluk halus. Diceritakan bahwa mereka ini tinggal di atas pohon-pohon
raksasa seperti pohon beringin (Eho, Ewo, Eo, Awöni) atau pohon Böwö.
Jadi boleh di katakan bahwa di mana ada hutan lebat, di situlah habitat
Sowanua atau Bela berkembang. Kebiasaan mereka untuk tinggal di atas
pohon, bisa jadi ada hubungannya dengan nama-nama kampung tua seperti
Tetegewo, Sisobamböwö, Hiligeho atau nama kerajaan Teteholi Ana’a.
Masih
dipercayai juga oleh masyarakat Nias dulu bahwa Sowanua atau Bela
merupakan pemilik atau penguasa segala marga satwa (Sokhö utu ndru’u),
misalnya: babi hutan, kijang, rusa kancil, landak, tenggiling, berbagai
unggas dan lain-lain). Babi hutan merupakan babi piaraan mereka. Oleh
karenanya para pemburu satwa (Sialu/si möi malu), sebelum melakukan
perburuan, mereka harus minta izin dari Sowanua sebagai pemilik segala
marga satwa tersebut. Kepada mereka diberi persembahan
(Be’elö/fasömbata) agar mereka dapat mengizinkan para pemburu untuk
mengambil atau memburu satwa piaraannya.
Persembahan
dilakukan dalam bentuk ritus dengan menyembelih seokor babi. Juga
diberikan telur atau ayam, sirih dan lempengan-lempengan kuningan atau
logam, pengganti emas sebagai penghormatan bagi mereka yang tinggal di
atas pohon (sumange zi so ba hogu geu). Sowanua dikategorikan sebagai
dewa hutan yang bertakhta di atas pohon (salawa hogu geu). Mereka juga
kadang dilukiskan sebagai leluhur orang jahat (uwu gafökha).
Juga
diceritakan bahwa Sowanua berkulit putih dan mulus. Mereka
cantik-cantik dan memiliki pengetahuan membuat api dari kayu (fuyu) atau
dari batu api (batu alitö). Dari mereka sumber keahlian pembuatan api.
Cerita-cerita
yang lebih seram lagi mengenai Sowanua atau Bela adalah ketika
perempuan tinggal seorang diri di hutan atau di kebun yang sepi, bisa
saja secara tiba-tiba dan tak sadar disembunyikan atau dibawa lari oleh
Sowanua. Menurut cerita, orang yang dibawa oleh Sowanua, tiba-tiba
hilang kesadarannya. Ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan Sowanua
yang menculiknya, namun tidak dapat berkomunikasi dengan manusia biasa.
Orang yang diculik oleh Sowanua masih bisa pulang dan kembali menjadi
manusia normal.
Karena itu ada beberapa larangan dari
orang-orangtua di Nias, misalnya: dilarang duduk atau tidur di bawah
pohon besar, supaya tidak kena air kencing dari Bela (Sowanua) yang
menimbulkan rasa gatal pada kulit. Anak-anak kecil atau bayi tidak boleh
ditinggal sendirian di tempat yang sunyi, supaya tidak diculik oleh
Bela. Anak-anak tidak boleh bermain sembunyi-sembunyi pada malam hari.
Perempuan tidak boleh tidur sendirian di kebun atau di hutan yang sepi
dan kalau terpaksa tidur, tidak boleh terlentang, katanya bisa
disetubuhi oleh Sowanua.
Di desa-desa di pedalaman di Nias
kita mendengar ceritera mengenai orang-orang yang pernah diculik oleh
Sowanua, namun mereka kemudian kembali karena orang banyak (keluarga)
mencarinya di hutan dengan cara memberi sesajen kepada Bela dan
melakukan upacara ritual.
Konon ceritanya, jika
bersama-sama dengan Sowanua, kita bisa berjalan ke mana saja dengan
cepat bagaikan dibawa oleh angin. Kita tidak dapat dilihat oleh manusia
biasa padahal kita dapat melihat dan mendengar suara mereka. Jika mereka
memanggil-manggil nama kita, kita mendengarnya dan kita juga menjawab
dengan teriakkan namun manusia biasa tidak dapat mendengarnya. Kita
bagaikan berada dalam alam mimpi.
Setelah diberikan
persembahan untuk meminta kepada Sowanua agar mengembalikan orang yang
telah diculiknya kita baru mulai sadar, bisa didengar dan dilihat oleh
orang lain yang sedang mencari kita.
Arti kata Sowanua dan Bela
Sowanua
berasal dari dua kata yaitu So dan Banua (wanua). Ada dua arti so
yaitu: ada dan pemilik atau penguasa. Banua (wanua) juga mempunyai dua
arti yaitu: desa (kampung) dan langit (angkasa). Jadi Sowanua bisa
berarti penduduk asli atau tuan rumah yaitu orang yang sudah kian ada
pada suatu tempat sebelum orang lain datang.
Di Nias
Selatan (Telukdalam) ‘Bela‘ berarti kawan atau sebutan yang menunjukkan
tali persahabatan atau perkawanan. Tujuan penyebutan itu adalah untuk
menjalin keakraban dan menghindari permusuhan. Sedangkan di wilayah Nias
yang lain Bela berarti makhluk halus yang bertempat tinggal di atas
pohon.
Cerita yang lebih menarik lagi adalah bahwa Sowanua
atau Bela memiliki keturunan. Tapi tidak begitu ditonjolkan dalam
penuturan sejarah asal usul masyarakat Nias. Kalau diselidiki pasti
masih terdapat keturunan Sowanua atau Bela di Nias. Hanya kesulitannya
adalah tidak ada yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan Sowanua.
Apalagi karena telah terjadi pembauran terutama melalui perkawinan di
antara grup-grup etnis yang berbeda beda di Nias sejak zaman dulu ketika
Bela masih dominan. Pasti masih ada juga orang yang bisa menceritakan
eksistensi Sowanua dan siapa saja yang termasuk dalam keturunannya, akan
tetapi tidak berani menceritakannya karena bisa merusak kerukunan antar
etnis. Mereka menjaga rasa sensitivitas. Tidak mau membuat orang lain
tersinggung atau direndahkan karena asal-usul, sehingga lama-kelamaan
pula, perbedaan etnis itu sangat sulit diidentifikasi.
Sowanua dan Manusia Purba
Dari
cerita di atas kita boleh menyimpulkan bahwa Sowanua bisa jadi bukanlah
makhluk halus atau setan, tetapi merupakan sisa-sisa manusia purba yang
sangat primitif dan masih menyatu dengan alam. Kemudian oleh etnis yang
datang berikutnya menyebut mereka Sowanua atau Bela. Dari nama itu,
kita bisa menyimpulkan lagi bahwa mereka adalah manusia yang telah
duluan ada di pulau Nias jauh sebelum etnis berikutnya datang.
Sebutan
Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan dan penghormatan
pendatang bagi manusia-manusia primitif tersebut. Lama-kelamaan, zaman
dan manusia semakin maju, lalu manusia primitif yang kalah bersaing
dengan para pendatang baru yang memiliki berbagai keahlian dan
pengetahuan, tidak berkembang lagi. Mereka semakin terdesak dan
termarjinalkan sehingga mereka pun dianggap sebagai makhluk halus atau
setan.
Jika kita menerima bahwa Sowanua atau Bela
merupakan grup manusia yang telah mendiami pulau Nias sebelum datangnya
etnis-etnis lain yang menamakan dirinya sebagai manusia tulen “Niha”
atau ‘Ono Niha” (anak manusia) dengan membawa pengetahuan dan keahlian
dari negeri asalnya di seberang sehingga mereka membawa pembaharuan dan
kemajuan di Nias sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes (2001:
210), maka kita bisa menyimpulkan bahwa Sowanua atau Bela merupakan
salah satu grup manusia purba yang sangat primitif di Nias dan merupakan
salah satu grup leluhur masyarakat Nias.
(bersambung)
sumber:
http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/Last
edited by MNGKRT; 23-04-2010 at 02:31 AM.. Reason: APDETMNGKRT is
offline QUOTEMNGKRTView Public ProfileFind More Posts by
MNGKRTUnread 22-04-2010, 09:50 PM #4MNGKRTkaskuser MNGKRT's
Avatar UserID: 447227Join Date: Apr 2008Posts: 314MNGKRT tidak memiliki
reputasi (sambungan)
Menurut informasi dari para
informant Pastor Johannes (2001:50) bahwa terdapat 3 grup etnis yang
berbeda di Nias, yaitu: (1) Niha Sebua Gazuzu, yaitu manusia yang
memiliki kepala besar dan merupakan cirikhas manusia purba ribuan tahun
yang lalu serta hidup di dalam gua sehingga mereka disebut manusia dari
bawah tanah (soroi tou); (2) Niha Safusi yaitu grup manusia yang
berkulit putih dan cantik yang berhabitat di atas pohon-pohon; (3) Lani
Ewöna (sindruhu niha) yaitu manusia tulen yang datang dari seberang
dengan keahlian dan pengetahuan yang memadai sehingga mereka memiliki
pengaruh besar dan membawa perubahan di Nias. Grup etnis inilah yang
kemudian dianggap sebagai leluhur masyarakat Nias dan menyebut diri
sendiri sebagai Niha (manusia tulen) atau Ono Niha (anak manusia).
Nadaoya
Salah
satu makhluk yang mungkin telah hidup bersamaan zaman dengan Sowanua
sebagaimana dikemukakan di atas adalah manusia yang memiliki kepala
besar yang tinggal di bawah tanah (barö danö) dalam pengertian di dalam
gua. Berdasarkan ilmu arkeologi, sosiologi atau antropologi, manusia
purba tinggal di dalam gua. Gua menjadi rumah mereka dan hidup sesuai
dengan kondisi alam.
Dalam kepercayaan dan tradisi lisan
Nias, sering diceritakan mengenai Nadaoya sebagai makhluk jahat atau
setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali dan hanya satu-satu.
Kalau mereka lewat dan bersentuhan dengan manusia, mereka langsung
memangsanya dan manusia tersebut mati. Dikatakan juga bahwa Nadaoya
tinggal di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai
yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua.
Mereka
sungguh-sungguh jahat. Karena itu masyarakat Nias sangat takut menyebut
nama Nadaoya apalagi kalau penyebutan itu karena hendak mengutuk
seseorang dengan mengatakan: ya mu’a ö Nadaoya/ya mana ndraugö Nadaoya
(Semoga Nadaoya mamangsa engkau). Ini ungkapan keras dan ditakuti orang.
Kalau
kita mengkaji asal-usul masyarakat Nias, lalu kita menghubungkannya
dengan bukti-bukti material dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di
atas, maka pantas diduga dan membuka kemungkinan bahwa Nadaoya
merupakan grup manusia purba yang berhabitat di dalam gua dengan ciri
khas kepala besar, primitif dan menganut hukum rimba. Mereka juga sudah
hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian,
mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan
tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak
oleh manusia yang memiliki pengetahuan.
Tulisan-tulisan
lama dan otentik mengenai masyarakat Nias seperti ditulis oleh Pastor
Johannes (2001:13-19) lebih banyak menguraikan munusia yang berkulit
putih dan cantik-cantik yang berhabitat di atas pohon atau di
puncak-puncak gunung. Juga dijelaskan kebiasaan berburu kepala manusia
oleh penduduk setempat. Tetapi mengenai manusia yang tinggal di dalam
gua-gua kurang disentuh.
Kepunahan Manusia Purba
Ada beberapa penyebab mengapa manusia purba di Nias menjadi punah, misalnya:
1. Hukum rimba
Manusia
purba menganut hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang yang hidup dan
berkembang. Ketika etnik lain sebagai pendatang baru di Nias dengan
berbagai pengetahuan dan keahlian datang, mereka jelas jauh lebih kuat
dari para penghuni pulau Nias yang terdahulu. Sebab, mereka tidak hanya
mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup,
tetapi juga otak. Hukum rimba ini terlihat dari kebiasaan mereka berburu
kepala manusia, sehingga kelompok yang lemah menjadi habis (punah).
Selain berburu kepala manusia (mangai högö), permusuhan dan peperangan
antar kelompok (kampung) sering terjadi, sehingga yang kuat bertahan
hidup dan yang lemah menjadi punah.
Sisanya mengasingkan
diri dan termajinalkan karena kalah bersaing dalam pembangunan dan
pengembangan hidup. Mereka hanya mengadalkan alam yaitu hutan sebagai
sumber kehidupan mereka. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Permusahan dan peperangan
itu bisa juga terjadi karena perbedaan etnik.
2. Hutan habis
Berhubung
karena manusia purba seperti kelompok Sowanua dan Nadaoya bergantung
pada alam, ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, maka
habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan
untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang.
3. Pembauran melalui perkawinan
Di
antara kelompok manusia yang telah kian ada dengan pendatang baru,
pasti telah terjadi perkawinan. Apa lagi seperti dijelaskan sebelumnya
bahwa kelompok Sowanua itu cantik-cantik. Sudah barang tentu mereka
dikawini secara suka atau tidak suka oleh pendatang yang lebih pintar.
Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi
incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang.
Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai grup Sowanua/Bela atau
Nadaoya, akan tetapi mengikuti garis keturunan kelompok manusia yang
lebih berpengaruh dan berkuasa.
Darimanakah asalnya Sowanua dan Nadaoya?
Jika
Sowanua dan Nadaoya adalah penghuni terdahulu pulau Nias, itu berarti
bahwa keturunan mereka pasti masih ada sampai sekarang, walaupun mereka
tidak lagi murni sebagai keturunan itu karena telah terjadi percampuran
melalui proses perkawinan dengan etnis lain sejak ratusan tahun yang
lalu. Untuk menyelidiki asal usul masyarakat Nias, maka harus ditelusuri
dari mana asal Sowanua dan Nadaoya. Karena mereka-lah kelompok terbesar
dan terdahulu yang menghuni pulau Nias. Hal inilah yang belum dilakukan
oleh para peneliti. Mungkin bisa dijejaki melalui studi comparative
linguistics atau penelitian DNA terhadap kelompok yang diduga sebagai
asal-usul mereka dari luar negeri (Suku Belah di Sumatera, Suku Naga di
India, dll) sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes.
Penelitian di Gua Tögi Ndrawa
Penelitian
Museum Pusaka Nias bekerjasama dengan Drs. Yusuf Ernawan, M.Hum, ahli
prasejarah dari Universitas Airlangga Surabaya di gua Tögi Ndrawa, desa
Lelewönu Niko’otanö, kecamatan Gunungsitoli membuktikan bahwa gua
tersebut telah dihuni oleh manusia purba sekitar 9000 tahun yang lalu,
persis dari tahun 7570 ke 7145 SM (Lingua Nias, Media Warisan Edisi 39
hal 5).
Penelitian melalui ekskavasi dilanjutkan lagi oleh
Badan Arkeologi Medan yang telah tiga kali melakukan ekskavasi sedalam
283 cm pada gua yang sama. Hasil dating penelitian ini masih ditunggu.
Namun para ahli berasumsi bahwa gua tersebut telah dihuni sekitar 15.000
tahun yang lalu pada zaman Hoa Binh.
Penutup
Tradisi
lisan Nias yang didukung oleh hasil penelitian tersebut dapat dijadikan
sebagai indikasi dan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa ada beberapa
etnis yang berbeda di Nias. Yang terdahulu di antara mereka adalah
kelompok Sowanua yang berhabitat di atas pohon dan grup Nadaoya dll
(Laturedanö, Tuhanaröfa, Lowalani, Zihi, Sihambula) yang tinggal di
dalam gua (arö danö). Sementara kelompok yang datang kemudian adalah
etnis Cina dan etnis lain yang memulai perubahan dan perkembangan di
pulau Nias karena pengetahuan dan keahlian yang telah mereka miliki dari
negeri asalnya. Jadi anggapan bahwa Nadaoya dan Sowanua atau Bela
adalah setan merupakan pemahaman manusia modern yang dangkal terhadap
manusia purba yang hidupnya sangat primitif.
Penulis: Nata’alui Duha, S.Pd.
Wakil Direktur Museum Pusaka Nais